"Kita bertemu di saat kita sama sekali belum memikirkan kapan kita akan menjadi dewasa"
Kata orang dewasa, cinta pertama adalah orang pertama yang membuat debar dan sesak dada, ia datang saat kita belum membutuhkannya. Siapa dia? Entah, dia tidak terduga. Kita juga bertemu saat kamu dan aku belum memikirkan akan jadi apa kita kelak. Iya, bukan? Ingat masa-masa itu? Lama sekali kita tidak menyadari kehadiran satu sama lain. Kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri hingga kita lupa bahwa sebenarnya kita ada di bawah langit yang sama. Kita banyak terkait satu sama lain tapi kita tetap belum mampu untuk menatap satu sama lain.
Lalu ketika perlahan-lahan sekelilingmu dan sekelilingku mulai sepi, barulah kita mulai dapat melihat keberadaan satu sama lain. Berawal dari saling curi-curi pandang dan saling titip salam dengan perantara teman. Tidak pernah sekelas tetapi selalu mencari-cari alasan hanya untuk bertemu, meminjam barang yang bahkan kamu pun punya sebenarnya.
Remeh sebenarnya, sangat remeh. Senyum khas anak remaja terlihat jelas di raut muka kita. Lucu ya? Kamu mudah ditebak, begitupun aku. Arah kita sama sebenarnya, hanya tujuan kita yang sepertinya memang tidak tertebak. Waktu itu di dunia ini hanya ada aku, kamu. Satu hal yang menurutku sangat lucu, tidak ada satupun orang di sekeliling kita yang menyadarinya! Menyadari tentang apa yang sebenarnya terjadi di antaranya.
Saat itu, kita adalah sepasang insan yang benar-benar tidak memperdulikan apa yang terjadi di luar kita. Kata orang dewasa kita terlalu berlebihan. Tapi memang seperti itu yang kita rasakan, para manusia yang bahkan masih membutuhkan orang lain untuk menemukan kaus kaki.
Seiring waktu berjalan debar dan sesak itu masih ada, walaupun tidak seperti saat dulu. Namun kenangan-kenangan kecil itu selalu manis kapanpun ia diingat. Tanpa disadari apa yang dulu tergenggam erat mulai lepas perlahan-lahan. Penghalang itu semakin kentara terlihat, kau tahu?
Tingkah-tingkah lucu khas anak remaja yang sedang dimabuk cinta, perlahan berubah menjadi rasa yang bahkan tidak ada yang bisa menjelaskan apa penyebabnya. Tidak ada satupun, bahkan kita. Mungkin karena kita masih belum mengerti apa-apa pada saat itu. Terlalu egois untuk menyalahkan diri sendiri dan tidak pernah duduk sekadar memikirkan apa kabar hari ini.
Seperti musim, yang selalu datang dan pergi. Kisah yang dimulai pun selalu menemui titik akhir. Entah dengan akhir bahagia ataupun sedih. Nyatanya kita sudah cukup dewasa ketika itu, mulai menyadari bahwa ternyata segala sesuatu bisa saja tidak terjadi sesuai dengan mau pelakunya.
Dan begitu saja, aku dan kamu. Tidak setragis kisah Widodo Suwardjo dan Widari Soewahyo tentu saja. Kisah ini lebih mendewasakan bagi tokoh-tokoh di dalamnya. Perpisahan yang tidak diawali dengan ucapan “hai” dan tidak pula diakhiri dengan “selamat tinggal”. Pertemuan dan perpisahan ini sangat mendewasakanku pada akhirnya. Bahwa semuanya memang tidak bisa dipaksakan. Bahwa cerita masa remajamu akan selalu menjadi memori paling indah yang ada di rentetan kisah kehidupan.
"Itulah cinta pertama. Terkadang cinta pertama akan gagal" kata mereka.
Mungkin. Tapi yang jelas, itu adalah memori masa remaja. Dimana kamu bisa dengan bebas tertawa, marah, dan menangis. Menangislah, marahlah, tertawalah, walau hanya untuk alasan yang remeh. Karena itu akan mendewasakanmu. Kamu akan tersenyum kapanpun cerita ini tiba-tiba muncul di fikiranmu.
"Kita bertemu di saat kita sama sekali belum memikirkan kapan kita akan menjadi dewasa. Lalu saat kita sudah dewasa…aku tersenyum mengingatnya"
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”