Mungkin tidak di setiap kampus punya program KKN bagi mahasiswanya. Sekali lagi bukan Korupsi, Kolusi, Nepotisme ya tapi Kuliah Kerja Nyata. Sekedar berbagi saja, KKN pada prinsipnya adalah mengirim mahasiswa di masa akhir perkuliahannya untuk berbakti dan menagbdi di suatu daerah tertentu, biasanya tempat terpencil atau di wilayah pedasaan yang memiliki wilayah potensial untuk dikembangkan.
Dulu saya ambil KKN di daerah kaki gunung Sindoro, mungkin lebih mengenalnya dengan kawasan dataran tinggi Dieng. Tepatnya di Wonosobo Jawa Tengah Desa Sendangsari dan Desa Gemblengan. Biasanya, sebuah tim KKN terdiri dari beberapa unsur mahasiswa yang di dalamnya mencakup berbagai macam fakultas. Ya ada Fakultas Ekonomi, Kedokteran, Hukum, Sospol, Sastra, Teknik, dan yang lainnya. Para mahasiswa ini sebelum pemberangkatan biasanya menyiapkan program kerja untuk agenda KKN biasanya dilakukan selama 45 hari atau 1,5 bulan lamanya mengabdi. Mulai dari dana, materi program, seleksi tim KKN, survey lokasi, harus dipersiapkan secara matang, hal ini ditujukan agar ketika program KKN berjalan, tim mampu menyiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Masalahnya……
Tidak semua mahasiswa menjalankan KKN dengan sepenuh hati, sebagian dari para mahasiswa ini menganggap KKN hanya sebatas kuliah xxx SKS saja, “yang penting KKN” sudah jadi slogan para mahasiswa ini. Bagi saya, “woy… KKN bukan Cuma sebatas itu aja kalik….”.
Justru selama ini kita kuliah lingkupnya hanya di kelas, diskusi, presentasi, atau ujian. Betul kita dapat ilmu tapi hanya kenyang di bagian Teori saja. Padahal, belajar itu butuh praktik, dan praktik bisa mengasah keterampilan kita dalam bekerja. Softskill contohnya.
Ya semakin kita belajar di lingkungan sekitar, semakin paham pula apa yang menjadi persoalan bagi masyarakat sekitar. Tidak ada ruginya kita ngobrol dengan pekerja kebun, atau peladang tembakau atau bapak petani yang setiap pagi sudah solat Subuh TANPA TELAT dan jam 6 pagi sudah ngantor ke sawah. Disiplin, menjadi kunci bagi siapapun yang ingin sukses. Pelajaran pertama yang saya dapatkan.
Alangkah ruginya mahasiswa yang melewati masa KKNnya hanya sebatas “formalitas”. Selama 1,5 bulan itu kita diberi kesempatan untuk dekat dengan warga secara langsung tujuannya agar kita sebagai mahasiswa tidak hanya berfikir secara teoritis saja, secara analitis kita dipaksa untuk mengobservasi apa yang terjadi di sebuah lingkaran kehidupan bermasyarakat.
Sudah sepatutnya kita belajar melihat kebawah, ya kalau melihat ke atas memang tidak akan ada habis habisnya. Namanya manusia, sulit untuk berpuas diri, kalau merasa kurang ya akan terus mendaki. Beda cerita kalau kita selalu melihat ke bawah, banyak saudara kita yang hidup pun pas pasan tapi bisa menikmati dan mensyukuri apa yang telah dikaruniakan.
Itu semua di dapat kalau kita bisa dekat dengan masyarakat. Melihat masyarakat yang bisa bekerja keras pagi, siang, sore bahkan tengah malam tanpa mengeluh sedikit pun. Mau hujan deras, panas terik, tidak digubris, yang penting anak istrinya bisa makan dan sekolah.
Menjadi maklum apabila kita tidak terlalu paham tentang hal tersebut, lha wong kita saja uang jajan masih dikasih, bayar sekolah pun masih ditanggung, belum kalau mau beli ini itu, orangtua masih sanggup mbayarin. Tapi apa mau seumur hidup kita bergantung dengan orang tua ? apa ndak mau kita hidup mandiri tanpa menggantungkan orang lain. Bayangan itu akan sulit kita rasakan kalau belum tervisualisasi secara praktik.
Dan semua saya rasakan ketika KKN. Paket komplit. Saya merasakan bagaimana menjadi seorang warga desa yang hidup pas pasan tapi tidak pernah mengeluh sama sekali. Saya diberikan mentoring bagaimana menjadi seseorang yang selalu bersyukur hidup di segala kondisi. Sedang banyak atau tidak rezeki yang kita dapatkan, poin terpenting adalah bersyukur Tuhan masih memberikan kita karunia. Ya karunia sehat secara jasmani dan rohani.
Begitu pula cara hidup, saya diajarkan bahwa menjalani hidup tidak perlu berlebih-lebihan karena yang lebih membutuhkan itu banyak sekali. Buat apa kita harus hidup bermewah – mewah tetapi secara financial kita tidak sanggup.
“Toh harta itu cuma titipan. Nanti kalau Tuhan pengin ngambil ya tinggal diambil”.
“Lha nanti kalau sudah diambil, apa mau Tuhan ngasih lagi ?”
“iya kalau mau, kalau ndak ?”
“ya nggembel…”
Saya terdiam, mbatin “ya ada benarnya juga….”
Selama saya menjalankan KKN, saya semakin senang membaur, minta diberikan wejangan mengenai permasalahan hidup. Dan faktanya “jarang” gagal dan kebanyakan berhasil. Tentu semua wejangan tidak boleh juga saya telan mentah – mentah. Ya diresapi dengan baik dan benar tentunya pakai hati dan akal sehat. Insha Allah manfaat.
Belum lagi mengenai wejangan hidup, saya juga diajari bagaimana mencintai budaya Indonesia. Di desa yang saya singgahi untuk KKN, kesenian menjadi ciri khas yang sangat dominan disana. Bahkan anak muda pun berlomba lomba untuk menjadi generasi penerus kesenian desanya. Beda dengan anak muda milenial yang hidup di kota, hidupnya yang susah untuk jauh dari gadget. Ya, Saya hanya bisa membela begini…………..
“Betul gadget adalah kebutuhan primer untuk saat ini, jika digunakan secara baik tentu manfaatnya banyak, tapi… kalau terlalu addict ? dan sulit untuk jauh dari gadget…. Apa tidak bahaya untuk mental ? apalagi dalam masa pertumbuhan lho…”
Sedangkan anak anak di desa yang saya singgahi lebih senang, bermain bola di lapangan, main catur dengan orang dewasa, belajar kesenian desa, ngaji setiap sore di langgar, dan pulang ke rumah setelah solat Isya karena harus tadarus di masjid. Luar biasa.
Hebat…. Sekali lagi lagi tertegun.
Ternyata masyarakat desa jauh jauh lebih visioner, kritis, serta cerdas, jauh jauh jauh dari yang saya perkirakan dari awal. Semua dipatahkan dan lagi lagi membuat saya harus standing applause untuk pemikiran dan planning beliau beliau ini.
Sayangnya, tidak semua mahasiswa yang mengikuti KKN akan merasakan hal yang sama. Terkadang mereka memilih tempat KKN hanya sekedar “agar bisa jalan jalan….”, saya sangat Kontra dengan hal tersebut. Lha kalau jalan jalan kenapa di waktu perkuliahan ? kenapa tidak di waktu liburan ? KKN itu kan sedang kuliah, kita sedang belajar, ya refreshing memang ada waktunya, tapi KKN ini kan ya bisa jadi sekali seumur hidup. Belum tentu kita akan KKN lagi. Jadi kalau tidak dimanfaatkan sebaik mungkin, ya berarti sampeyan melewatkan masa dimana diberikan pengalaman untuk belajar hidup lebih dalam lagi.
Sayang sekali.
Jadi, konklusi saya, ya terkadang proses belajar tidak hanya secara teoritis dan di kelas melulu, ada kalanya juga kita melihat bahwa di luar sana banyak pelajaran yang bisa kita dapat. Bukan hanya sekedar lulus dapat nilai A dan IPK > 3,5 tetapi ada yang lebih penting lagi, belajar untuk proses pendewasaan diri dengan cara membaur ke masyarakat di luar sana.
Di kampus kita tidak perlu ragu lagi, karena mentor kita sudah terjamin dengan gelar Profesor atau Doktor yang beliau sandang. Tapi di kehidupan bermasyarakat kita tidak perlu khawatir dan ragu lagi, di KKN akan terjawab semua.
Kalau di kampus kita punya Profesor, di desa kita punya para ahli dan tentor berpengalaman masalah menjalani hidup sebaik mungkin sudah banyak sekali. Dan jangan gengsi kalau pak petani, para peladang jagung atau bakau, atau pengelola jamur yang langsung menjadi tentor kita, poinnya adalah dalam belajar jangan segan segan untuk menerima dari mereka ya “mohon maaf” bukan dari kalangan pendidikan tinggi, bukan pula hanya sebatas profesi apa yang mereka sandang tetapi intinya adalah sebanyak apa pengalaman yang mereka dapatkan dalam menjalaninya.
Saya sangat bersyukur sekali pernah merasakan ditentori secara langsung oleh para ahli ini, mulai dari bagaimana hidup sederhana dan serba pas pasan tanpa mengeluh sedikit pun. Ternyata hidup sederhana dan tidak bermewah mewahan pun bisa bahagia juga lho.
Teruntuk mahasiswa yang akan dapat program KKN di semester selanjutnya, manfaatkanlah, ya eman eman juga kan kampus keluar biaya mahal kalau mahasiswa tidak bisa memanfaatkan masa KKNnya sebaik mungkin. Ya kapan lagi bisa dekat dengan masyarakat dan belajar filosofi hidup dari ahlinya langsung ?
Saya teringat wejangan dari induk semang saya, Pak Haji Sahadi, "Man, pengalaman kayak gini susah lagi diulang, nanti bisa kamu ceritakan ke anak istrimu, biar ngerti hidup, biar ngerti gimana sulitnya cari rezeki tapi hati dan pikiran bisa tetap tenang. Kuncinya adalah bersyukur…."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.