Ketika Ramadhan adalah Sebuah ‘Rutinitas Tahunan’. Dimana Letak Ibadahnya?

Banyak dara berpinggang merit
Dengan wajah legit
Rame-rame ngabuburit
Dengan busana yang serba irit

Pamer hasil perawatan kulit
Meski penuh selulit
Tak peduli resiko sakit
Tak peduli ulama menjerit

Dakwah muballig kian sulit
Ditengah resesi yang kian rumit
Tarif sembako kian melejit
ditengah hutang yang membelit

Isi amplop semakin sedikit
Ummat makin pelit
Hedonis kian menggigit
Ummat tak kuasa berkelit

Puisi diatas saya buat untuk mengkritisi tingkah pola kawula muda di Bulan Ramadhan. Saban sore “ngabuburit”, keliling kota bareng “muhrim haramnya”, dan berbusana ala kadarnya. Konon, busananya sangat dinamis dengan jaman yang serba krisis. Padahal dialah sebenarnya yang dilanda krisis moral.

Belum lagi T-shirt yang dipakainya dari bahan kaos tipis (khususnya perempuan), menampakkan lapisan dalam kaosnya serta pinggangnya yang merit meski sana-sini penuh dengan selulit.

Ramadhan selalu dinanti untuk menjalani rutinitas tahunan dimana masa wakuncar bisa lebih lama.
Habis ngabuburit, entah shalat magrib apa tidak? Pulang sejenak kerumah. Lalu janjian lagi untuk taraweh bersama, tentu saja dengan 'muhrim haramnya'. Belasan masjid dekat rumah dilewati. Sengaja memilih masjid yang lebih jauh. Alasannya, semakin jauh kaki melangkah ke masjid, semakin besar pahalanya. Padahal biar lebih lama boncengan bersama sang kekasih.

Giliran ceramah tiba, tak henti-hentinya mengumpat “akh ustazdnya gak asyik nih, ceramah kelamaan”. Rasanya pengen pulang cepat dan tak sabar menunggu ceramah. Saat pulang, jalan yang jauh pun sengaja dipilih. Jika ditanya ortu, alasannya tadi shalat tarawehnya 23 rakaat. Mukena dalam tas hanya bisa menggerutu,

"gue mah cuma jadi obat nyamuk".

Ramadhan sama dengan setan pembuka pintu korupsi.
Seorang ibu rumah tangga bersama sang pembantu, terlihat mondar-mandir didapur sehari menjelang puasa. Menelisik bumbu dan bahan masakan apa yang sudah habis. Targetnya, malam ini harus belanja sebanyak-banyaknya untuk persediaan hingga lebaran.

Dia tak peduli pada sang suami yang sibuk berpikir darimana gerangan sumber pemasukan untuk menutupi pengeluaran dibulan puasa ini. Sang nyonya tetap menuntut belanja banyak. Korupsi, mungkin itu solusinya.

Ramadhan berati menunggu kerja borongan sambil berharap sisa untuk mempercantik rumah yang sudah reot.
Sementara itu, di sudut dapur lain yang telah menghitam karena asap dari tungku berumur puluhan tahun. Seorang ibu duduk menatap jilatan-jilatan api pada cabikan lembar-lembar tripleks. Sang suami, dengan kuas dan kapur sisa hasil kerja borongan melabur gapura desa, asik melabur dinding depan rumahnya yang terbuat dari gedek bambu. Katanya kepada sang istri,

“Lumayan, sedikit berbenah untuk menyambut 66 tahun kemerdekaan negeri sekaligus menyambut bulan Ramadhan bu”.

Ramadhan adalah bulan kreatifas untuk permintaan maaf.
Dua hari menjelang puasa, seorang ABG sibuk mengutak-atik kata dan kalimat di fasilitas Message HP-nya. Setiap kata dan kalimat dipertimbangkan agar puitis dan Islami. Didalam SMS itu harus ada kata “Mohon Maaf Lahir Batin”, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, “Marhaban Ya Ramadhan”.

Adalagi yang sedikit kreatif memadukan nama-nama provider telekomunikasi seluler, ada pula yang mengusung kearifan lokal dengan untaian kalimat berbahasa daerah. Namun tak sedikit yang memilih menunggu kiriman dari teman-temannya, lalu dikirimkan kembali ke temannya yang lain. Aih, semua dosa, khilaf, alfa, dan kesalahan selama sebelas bulan dimintakan maaf melalui pesan-pesan indah diatas telepon seluler.

Ramadhan sama dengan membumikan ekonomi kapitalis dan hukum rimba.
Bagi para penjaja busana Muslim berikut perlengkapannya, juga bagi para penjaja makanan dan minuman buka puasa. Tak ketinggalan bagi para penjual paket parsel/bingkisan lebaran. Mereka berlomba-lomba mengejar Rupiah.

Sejajar dengan para konsumen yang seolah punya tenaga dan sumber dana ekstra dibulan puasa untuk berbelanja semaksimal mungkin. Seirama dengan ribuan orang dan instansi yang berebutan cari nama atau setidaknya setor muka kepada pimpinan dan atasan lewat kiriman parselnya.

Juga senada dengan para perantau, ya perantau kerja juga perantau Pelajar – Mahasiswa yang ingin dianggap sukses dan kaya. Tak segan memborong belanjaan atas nama oleh-oleh. Meski kadang biaya oleh-oleh lebih tinggi dari biaya transportasi buat mudik.

Mereka tak peduli pada orang-orang di jejeran rel kereta api di sudut kota. Berjubel manusia berjejer dengan asa yang tak pasti. Jangankan untuk beli oleh-oleh untuk sekedar mendapatkan tiket kelas ekonomipun susah. Kalaupun dapat, didalam gerbong kereta api hukum rimba telah menanti, para penjual tiket tidak pernah dan takkan pernah menjamin semua penumpang akan mendapatkan kursi/tempat duduk.

Ramadhan sama dengan THR.
Seorang manajer personalia sebuah perusahaan, asik mojok dengan manajer keuangan. Menghitung dan memilah lembaran rupiah demi Tunjangan Hari Raya (THR). Disisi ruang yang lain, sang karyawan sedang menulis status di aku facebooknya,

“Berapa ya THR tahun ini?”.

Ditulis dengan otak yang bekerja melebihi kecepatan Komputer dengan Processor Intel Pentium 2,8 GHz, mencoba mengkalkulasi akan diapakan uang THR tersebut. Ramadhan disambut gembira karena THRnya! Mereka tak pernah peduli, jika dibawah jembatan Sayidan Yogyakarta, seorang anak menunggu keikhlasan seekor lele untuk menyambar umpan dan kailnya, sekedar lauk buat buka puasa hari ini.

Ramadhan sama dengan ajang tega-tegaan dan pembantaian.
Seorang pejabat di negeri kaya nan cantik ini. Sibuk merancang acara open house saat lebaran nanti. Menu apa yang akan disajikan, berapa amplop yang akan dibagikan, siapa-siapa saja yang akan datang. Juga sibuk memeriksa lembar kerja asisten pribadinya, siapakah gerangan anak buahku, siapakah gerangan kepala dinas yang belum setor “upeti” untuk acara open house-nya.

Sang pejabat, pura-pura tidak menonton dan mendengar keluh kesah para wong cilik, para pemudik yang meregang nyawa di jalanan. Konon di Tahun 2011, 55 nyawa melayang tiap harinya selama 13 hari masa mudik. Tragis !!!.

Ramadhan berarti rating, vulgar dan kekerasan.
Hampir semua siaran televisi menampilkan acara sahur bareng dengan sentuhan hiburan yang penuh tawa. Para pelawak tak henti-hentinya melontarkan banyolan vulgar dan kekerasan. Bintang tamu pun dibayar mahal demi mengejar rating. Tak peduli jika para pesohor itu adalah sosok kontroversial, yang sabang hari berbusana minimalis dan mengumbar syahwat.

Dengan alasan profesionalisme, para pesohor itu berkenan menempelkan selendang diatas rambut mahalnya. Dengan alasan yang sama pula, tiga hari setelah lebaran, selendang tersebut dicampakkan lagi. Akh Ramadhan, dimanakah letak ibadahnya?

Ramadhan-ku sayang, Ramadhan-ku malang. Sebagai penutup, kita semua wajib menjawab pertanyaan berikut: Yang salah itu Ramadhan-nya, Ummat-nya atau justru penulis yang sok pintar menganalisa?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang Ayah yang mencintai Anak dan Bunda. Seorang Anak yang rindu akan belaian Ayah dan Ibunya, mempertemukan anaknya sendiri dengan kakek dan neneknya.