"Kerja ke mana lagi loe? Belum kapok?"
"Apa sih yang sebenernya loe cari?"
"Gaji loe gede setengah mati ya di sana? Kalo nggak mah ngapain jauh-jauh?"
Kira-kira begitulah reaksi teman-teman saya saat mengetahui saya akan pindah perantauan lagi untuk yang ketiga kalinya. Pertama kalinya saya merantau adalah ke Surabaya untuk kuliah, lalu selesai kuliah saya merantau ke Teluk Bintuni, Papua Barat selama 1 tahun 3 bulan dalam program PTT. Perantauan saya yang ketiga adalah ke Waingapu, Nusa Tenggara Timur selama 1 tahun, bekerja di salah satu RS swasta di sana.
Saat inilah orang-orang sekeliling saya mulai mempertanyakan kewarasan saya. Mereka sudah cukup bingung saat saya mau merantau ke Papua Barat; yang bagi mereka sudah luar biasa jauhnya. Mungkin dalam pikiran mereka lebih jauh dari Neverland. Sekarang nyatanya setelah selesai kontrak PTT di Teluk Bintuni, saya malah lanjut rantau ke Waingapu, sebuah kota yang belum pernah mereka dengar.
Jujur saja, saya sendiri belum pernah mendengar nama Teluk Bintuni dan Waingapu sebelum saya melamar kerja di sana. Tapi bagi saya, itulah keseruannya. Sensasi pergi ke suatu tempat yang belum saya ketahui selalu menggelitik saya dan membuat saya penasaran. Biasanya saya bahkan menolak mengecek di Google perihal tempat yang akan saya datangi supaya lebih seru.
Terlalu sulit bagi saya untuk menjelaskan perasaan seperti ini, juga mungkin terasa mustahil bagi teman-teman saya untuk melogika keputusan saya, terutama bagi mereka yang belum pernah merantau. Saya pribadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mengenali dan menelaah perasaan ini.
Saya melewati naik turun perasaan, mempertanyakan keputusan saya sendiri dan setelah melalui sekian banyak rantai doa, akhirnya saya sampai pada kesimpulan ini: inilah yang saya sukai, saya sangat menikmati hidup merantau dan saya tidak menyesali keputusan rantau saya dan tidak menyesali daerah rantau yang pernah saya tinggali.
Saat ini saya sudah berada di tempat rantau saya yang kelima, Sampit, Kalimantan Tengah. (Untuk informasi: tempat rantau saya yang keempat adalah Batu Kajang, Kalimantan Timur). Setiap saya berpindah tempat rantau, selalu ada hal yang berbeda, ada pengalaman yang berbeda, suasana dan karakter masyarakat yang berbeda, tetapi sensasi yang saya dapatkan selalu sama.
Selalu menarik bagi saya untuk melihat tempat baru, berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda suku dan budaya, mengetahui apa-apa saja yang ada di sana. Selalu ada perasaan enggan untuk membongkar koper dan kardus-kardus saya setelah saya pulang merantau karena hati ini rasanya ingin tidak repot packing lagi untuk berangkat ke tempat berikutnya.
Setiap melihat lowongan pekerjaan, selalu ada perasaan berbeda dalam hati ketika melihat lowongan pekerjaan di daerah yang belum pernah saya dengar namanya.
"Di mana lagi loe sekarang?"
"Di Sampit, Bang."
"Astaga ni anak. Hidup loe enak banget apa di perantauan sana?"
"Nggak juga sih, Bang."
"Terus loe ngapain? Loe itu cewek, bahaya kerja jauh-jauh kayak gitu!"
Saya tidak akan berbohong mengatakan semua pengalaman rantau saya mulus-mulus saja. Cukup banyak pengalaman di tanah rantau yang kadang membuat saya menangis sendirian, ingin bungkus baju-angkat koper-cari tiket pulang. Kenyataan bahwa saya adalah perempuan biasanya menjadi topik provokasi dari teman-teman dan keluarga saya di rumah untuk mengajak saya pulang ke rumah.
Mungkin bagi mereka, perempuan sebaiknya bekerja di dekat keluarganya. Saya sendiri belum memahami dasar dari pemikiran ini, mungkin sahabat-sahabat Hipwee pun ada yang berpikiran seperti ini. Tetapi setelah melewati semua pengalaman itu dengan tabah dan penuh syukur, saya menyadari bahwa masih lebih banyak nikmat yang saya dapatkan di tanah rantau. Saya yakin rekan-rekan seperjuangan saya, sesama anak rantau pasti menyetujui hal ini.
Mungkin cerita saya tidak jelas mendetil tetapi saya harap ini cukup untuk menjelaskan kepada sahabat-sahabat Hipwee yang sering bertanya-tanya; apa yang ada di dalam hati dan pikiran anak-anak rantau, juga kepada para orangtua yang masih ragu atau justru mati-matian melarang anak mereka merantau.
Pesan saya hanya satu: merantau tidak akan merugikan siapa-siapa, anak rantau akan selalu pulang berbeda dari saat berangkat. Tidak ada yang salah dengan hal itu, justru itu adalah keuntungan!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Gak ada yang wah dari artikel ini semua masih di batas wajar dan hal seperti itu sudah umum di lakukan banyak orang monoton
Yang wah adalah karena si penulis adalah perempuan yang biasanya lebih ditekankan untuk jangan jauh dari orangtua belum lagi yang dibilang susah jodoh kalo merantau #pengalaman #curcolsedikit
betul sekali Pak Dedek..saya merasa artikel saya yang ini biasa saja, saya juga kaget kenapa justru banyak sekali di share..artikel saya yang lain yang lebih bermutu malah sedikit sekali dishare..Terima kasih feedback nya ya Pak! Salam sejahtera.
Saya pun pertama kali merantau jauuhnya luar biasa, karena saya harus kuliah lagi di luarngeri tepatnya di China, Shanghai. Awalnya ortu menentang keras, karena namanya anak perempuan, dan pertama kalinya di keluarga besar kwdua belah pihak ortu yang merantau sampai luar negeri. tapi dengan merantau aku temukan jati diriku sebenarnya. aku banyak sekali teman dr seluruh dunia. bahkan suka menitikkan air mata saat bertemu dg orang2 sesama muslim, ahh rasanya susah diungkapkan dg kata2, seperti bertemu saudara yg jauh walaupun beda suku, beda warna kulit, beda bahasa dan beda bangsa, tapi semangat silaturahminya itu lho masyaallah
Luar biasa sekali Mbak Putri Aris..terima kasih y atas sharingnya..betul sekali dengan merantau kita jadi lebih banyak mengenal diri kita sendiri dan teman-teman di perantauan terasa lebih dekat daripada teman-teman lain yang sudah kenal bertahun-tahun, jadi seperti dapat keluarga baru..semangat dan sukses untuk Mbak Putri ya..
Woow ternyata ada juga temen seperjuangan merantau loncat sana loncat sini ke daerah satu ke daerah lain yaa. Luar biasa share pengalamannya mbak !! Dan tempat perantauannya pun kyk nya bukan kota yang udah punya banyak fasilitas maupun infrastruktur yg memadai. Tetep semangat mbak ! Klo udah namanya “cinta” sm merantau, pasti banyak kemudahan.
Aku masih lebih junior dr mbak. Baru sempet merantau ke Bali buat kuliah. Selesai kuliah ke Toraja ga sampe setengah tahun. Dan sekarang lg di Wakatobi jalan tahun ke 2 �
HaHhhaa..
Banyak plus minus yang gw dapat selama merantau kok, misal gue jadi lebih open minded terhadap segala sesuatu, lebih bisa memilah emosi dan tau kapan gue harus egois. Minusnya? Mungkin kalau lagi homesick atau tiba2 ada hal yang di luar prediksi, bawaannya ya sama “pengen cepet2 packing terus balik kandang” HaHhaa..
Merantaulah yang jauh agar kalian tahu rasanya pulang ?
Sama donk. Saya dari Bengkulu, sekarang di sampit juga 😀