Jangan Jadikan Media Sosial Sebagai Ring Tinju Perang Antar Agama. Kasihan Ibu Pertiwi

Bumi pertiwi sedang hamil tua. Di usianya yang sudah semakin renta, bukannya ia seharusnya menikmati setiap cahaya rembulan dengan senyuman, namun malah ia sendiri harus meneteskan air mata menangis setiap hari menyaksikan rakyat indonesia yang saling adu kebenaran akan agamnya masing-masing. Semua selalu merasa benar dan akan selamanya terus seperti itu.

Selamat datang di Indonesia. Negeri yang berasaskan pancasila. Negeri yang bersimbolkan burung garuda yang gagah dan berani, dengan dua bilah sayap yang mampu menggetarkan dunia hanya dengan sekali kibasan saja. Garuda yang kuat dan tatapan yang tajam, dengan semboyan negara yang ia sedang pertahankan agar tidak terjatuh, dan semoga saja tidak terjatuh, Bhinneka Tunggal Ika.

Mari berdoa bersama-sama, agar Sang Garuda tetap kuat memegang semboyan persatuan itu, karena sedikit saja cengkramannya lepas, jatuhlah semboyan persatuan itu berkeping-keping ke bawah tanah yang hina. Sehingga berkeping-kepinglah bangsa Indonesia. Awal dari sebuah kehancuran. Semoga negeri ini tak bernasib sama dengan negeri atlantis.

Indonesia. Bukannkah negeri ini tercipta dari jutaan darah manusia? Di bawah tanah Indonesia ini masih ada jutaan tulang-belulang para pahlawan bangsa yang dengan ikhlas dan gagah berani mempertaruhkan nyawa mereka demi menciptakan negeri ini. Tak tanggung-tanggung, nyawa yang mereka pertaruhkan demi bangsa ini.

Tak ada sedikitpun keraguan dari hati mereka untuk mempertaruhkan nyawa mereka, demi bhinneka tunggal ika. Mereka tidak sedang kesurupan atau dibawah alam sadar, namun sungguh dalam keadaan sadar mereka memilih mempertaruhkan nyawa sendiri untuk merebut bangsa dan mempertahankan martabat bangsa. Darah dan air mata sudah ibarat sungai, terlalu banyak yang mengalir, hingga akhirnya bendera sang saka merah putih dapat berkibar diatas langit dengan gagah berani, tanpa goyah sekalipun. Indonesia, negeriku yang indah. Pada saat itu.

Namun apa yang terjadi saat ini? Demonstrasi seolah-olah tak henti-hentinya mewarnai bumi pertiwi ini, padahal bumi pertiwi sendiri sedang hamil tua. Aksi demo yang tiada henti, sehingga psikologis ibu pertiwipun menjadi terganggu, ia lemas dan gemetar, hingga terjatuh tak tahannkan diri. Ia menangis melihat kenyataan yang terjadi saat ini.

Berkali-kali terjadi demonstrai dan aksi unjuk rasa, untuk menutut berbagai macam hal. Yang tak jarang diselipi dengan aksi-aksi yang seharunsya tak berada di sana. Ribuan aksi dan niat dalam kerumunan tersebut, hingga niat teselubungpun tak mampu untuk dideteksi.

Satu demo selesai, maka demo tandinganpun akan muncul. Apakah akan begitu seterusnya? Lama-lama negeri ini hanya akan menjadi ring tinju bagi masing-masing kelompok untuk menendang kelompok yang dianggap musuh. Sungguh tak seperti berada pada Indonesia yang sesungguhnya. Bukan Indonesia.

Tak berbeda jauh dengan dunia nyata, dunia maya juga sama. Malah lebih parah dari dunia nyata. Karena pengaruhnya merongrong hingga ke sudut-sudut nusantara, bahkan yang tak terjamahi sebelumnya. Dunia maya ibarat tsunami disertai gempa bumi dengan 10 skala richter, menyapu seluruh lapisan masyarakat, hingga terkena desiran ombak yang begitu menyakitkan.

Sosial media disuguhkan dengan aksi masing-masing orang yang tak ingin kalah untuk menebarkan pesona dari agamanya masing-masing. Agama kami benar dan agamu 100 persen salah. Hanya kami yang akan masuk surga, kamu sudah pasti kekal di dalam api neraka. Kalimat-kalimat ini ibarat pedang yang sangat tajam, tak bijak meggunakannya, maka ribuan nyawa bisa tertebas dalam waktu satu detik.

Negara indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam agama. Setiap agamanya memegang kitab sucinya masing-masing, yang sudah sangat tentu dipercayai. Agama adalah jiwa manusia, maka urusan agama tak boleh diinjak-injak oleh siapapun. Bahkan manusia akan rela meneteskan ribuan darah demi mempertahannkan kepercayaannya masing-masing. Dilema terjadi. Ketika semua kitab suci dari masing-masing agama menyatakan diri sebagai agama yang paling benar.

Sebagai pemeluk, tentunya kita akan mengatakan bahwa agama yang kita anut adalah agama yang paling benar, mengalahkan agama-agama lainnya. Itulah sebabnya kita bertahan memeluknya. Ketika semua sudah merasa yang paling benar, dan menyalahkan orang lain sebagai yang salah, maka urusan ini sudah mengarah kepada urusan yang sangat vital dan sensitif. Ibarat telur di ujung tanduk, awas jangan banyak bergerak, nanti telurnya bisa jatuh.

Ketika kita telah meyakini agama kita sebagai agama yang paling benar, lantas mengapa kita harus mengumbarnya? Mengumbar agama kita yang paling benar ditengah-tengah orang lain yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan kita ibarat menyulut api dalam jerami. Hal itu hanya akan menimbulkan kebakaran yang tak terhentikan. Ini sudah krusial, perang saudara bisa saja terjadi dalam sekejap.

Oleh sebab itu, sebelum kebakaran terjadi, mari kita sama-sama menjauhkan air bensin itu dari tumpukan jerami. Jangan sampai jerami itu terbakar. Kita sendiri, mapupun generasi penerus selanjutnya tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Akan tetap tertorehkan dalam catatan hitam kehidupan negeri ini.

Pentingkah mengumbar kebenaran agama kita? Saya rasa cukup saja sesama saudara seiman kita saja yang tahu. Tak perlu ramai-ramai mengunggahnya di sosial media. Hati-hati, dunia maya bisa lebih buas dari macan dan singa. Ia bisa dengan cepat merobek-robek daging manusia.

Kita harus mulai belajar untuk menjaga perasaan orang lain. Sebelum posting tentang agama, pikirkanlah matang-matang. Ketika satu orang memposting mengenai kebenarn akan agamanya, maka pihak seberangnya pun tidak akan tinggal diam, ia pun akan melakukan hal yang sama. Saling tersinggung, dan kemudian saling mencari celah kelemahan dari agama masing-masing. Sekali lagi, urusan agama itu sangat sensitif, sedikit saja terusik, ibarat menyulut jerami dengan air bensin. Sosial media bukanlah ring tinju untuk bertempur.

Agamaku adalah agamaku dan untukmu agamamu. Oleh karena itu, mari memegang teguh keyakinan masing-masing dan jangan mengusik keyakinan orang lain. Soekarno sudah berkorban banyak hal untuk negeri ini, jadi mohon untuk tetap dijaga agar sang garuda tetap kuat menahan semboyan bhinneka tunggal ika tersebut di kakinya. Ia tak boleh jatuh, namun ia harus tetap menempel.

Kawanku, saya bukanlah penganut agama yang menganggap diri suci. Saya masih jauh dari kesan suci. Saya juga bukan pendukung Ahok. Dan bukan berarti pembenci Islam atau Ahok. Saya hanyalah putra Bangsa Indonesia, yang hanya ingin kembali hidup damai seperti sedia kala. Sudah terlalu banyak darah yang bangsa kita telah jatuhkan untuk menjadi Indonesia, bangsa yang satu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist