Hai ini saya memutuskan untuk kembali menulis. Yaa, tidak sepenuhnya kembali sih. Karena sehari-hari pekerjaan tetap saya sekarang (dan beberapa tahun terakhir memang) adalah menulis. Ohya, saya juga mau mengumumkan kepada semesta, kalau saya sudah menikah. Dan akan segera menjadi seorang Ayah.
Jadi begini, kemarin, tepat kemarin, saya semi-ngabuburit ke Gramedia. Membeli beberaa buah buku dan satu loya pizza-tanpa-minyak. Di salah satu buku yang saya beli, yang kebetulan saya membukanya secara acak, tanpa tedeng aling-alin menampilkan sebuah halaman hitam. Halaman dengan sebuah siluet wajah berlatar hitam dengan satu kalimat menarik di bawahnya:
Ilmu itu ibarat hewan buruan, dan tulisan adalah ibarat tali pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat – Quraish Shihab
Entah apa yang sedang Tuhan dan semesta tengah rencanakan, saya membaca kutipan itu, lalu membuka halaman random berikutnya. Buku tentang biografi Bapak dari Najwa Shihab itu kembali berceritera, kurang lebi begini isinya:
… Fatimah, isteri Quraish lebih suka di luar rumah. Silaturahim ke rumah kerabat dan keluarga, karena kalau berdiam diri di rumah, lebih sering dicuekin sama Si Bapak. Quraish lebih sering duduk, membaca, dan menatap laptopnya …
Selanjutnya,
… jika dikalkulasikan, sejak SMP sampai sekarang, Quraish sudah menulis belasan judul buku, ribuan halaman artikel, dan sebagainya. Itu sama saja dengan ia menulis paling tidak satu seperempat halaman setiap harinya …
That is brilliant! Terlepas dari sosok beliau yang (well, di banyak pandangan orang-orang) cukup kontroversi dengan beberapa pendapat beliau mengenai ajaran Islam. Saya melihat hal lain yeng lebih postifi dan inspiratif dari seorang Quraish Shihab. Beliau pastilah orang yanng gigih dan istiqamah. Terbuka dengan banyak jenis dan cabang ilmu. Kaya akan referensi. Dan tentu saja bijak menanggapi masalah.
Dari situ, saya menukan satu ide tulisan. Nggak bisa dibilang sebagai ide juga sih. Ini lebih ke arah kegundahan dan kegelisahan pemikiran.
Jadi gini, lho …
Saya yakin setiap muslim di dunia ini sudah tahu tentang ajaran Islam, entah sedikit atau banyak. Mereka yang bahkan cuma salat dua kali dalam setahun pun paling tidak tahu kalau durhaka kepada orangtua adalah dosa. Saya yang lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan yang (cukup) relijius, Dem Tuhan, merasa sangat beruntung. Karena diajarkan untuk beribadah sejak dini.
Tentu saja saya tidak sama sekali berniat untuk berceramah di sini. Saya hanya ingin berbagi, mengutarakan apa yang saya pikirkan. Yang selanjutnya membuat saya (merasa) lebih beruntung adalah keberagaman ajaran Islam. Saya hidup di tengah lingkungan Nahdiyyin yang kental. Belajar, bersekolah, dan diberikan pemahaman tentang tata-cara beribadah ala Nahdhatul Ulama. Ahlussunnah Waljama'ah, mungkin itu istilah yang lebih populer.
Sementara itu, saya tinggal dan dibesarkan di keluarga yang dekat dengan (jika boleh disebut sebagai ajaran) ajaran-ajaran Muhammadiyah. Ayah saya, merupakan karyawan dan dosen yang setia di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saya, kakak, dan adik saya pun llulus dari almamater yang sama.
Di tengah masa kuliah, saya juga diperkenalkan dengan komunitas Muslim yang berbeda lagi. Saya tidak tahu harus menyebutnya dengan istilah apa. Teman-teman yang sangat gemar mendalami kajian, tadabbur Al-Quran, liqo, dan berjuang untuk Palestina. Jika tidak menyinggung, perkenankan saya menyebutnya dengan istilah Wahabi.
Tidak cukup sampai di situ, secara maya. Saya cukup lekat dengan tulisan-tulisan, pemikiran-pemikiran, dan pemahaman rekan-rekan yanng banyak dipanggil dengan nama Pluralis, Sekularis, dan Liberalis. Nama yang terakhir sih hanya sekadar tahu.
Bertukar pendapat dengan mereka yang tidak bertuhan kepadaNya juga sesekali saya lakukan. Menyenagkan rasanya bisa memahami sesuatu dari sisi yang berbeda. Seperti belajar dari sumber sejarah.
Apa ini membuat saya kaya?
Atau jusstru membuat saya bingung menempatkan diri?
Ah, rasanya biasa saja kok. Semuanya berjalans ebagaimana mestinya. Tuhan telah mengatur hidup saya (dan kalian semua) dengan sangat apik.
Nyatanya, saya smapai sekarang masih dengan bebas menjalankan apa yang saya tau, yakini, dan percayai adalah sebuah kebenaran. Masih dengan ringan menyembah kehadiranNya. Memberikan sesembahan berupa ibadah-ibadah sunnah, walau tidak bisa tidak jauh dari kemaksiatan.
Oke, mari kita ke inti curhatan saya kali ini.
Dalam segala bentuk dan macam keragaman yang (paling tidak) sudah saya lewati beberapa puluh tahun terakhir ini. Saya semakin mantap meyakini kekayaan Islam. Betapa Islam adalah agama yang paling sempurna, akomodatif, dan mengasihi semua. Istilah agamisnya, rahmatan lil 'alamin.
Saya tidak menemukan logika siapapun yang membeda-bedakan itu semua. Membuat pengeompokkan yang menurut saya tidak sesuai porsi. Saya pribadi nyatannya nyaman-nyaman saja berada di antara siapapun. Selama mereka masih salat dengan jumlah rakaat yang sama. Runut dan tuma'ninah. Sungguh tidak ada gunanya menyimpulkan siapa yang lebih benar. Merasa lebih eksklusif atau dominan di antara yang lain. Atau menafikan apa yang saudara kita lain lakukan. Those are low!
Sudah saatnya kita lebih nrimo. Toh, Nabi kita juga sudah memberikan clue tentang adanya berpuluh-puluh golongan yang akan hadir. Bisa jadi ini adalah masa-masa permulaannya. Membatasi diri dan menjadikan yang lain sebagai terdakwa adalah hal yang tidak masuk akal. Selain membuat kita semua (nampak) lebih lemah, percayalah, hal itu juga perlahan akan membuat lelah diri kita sendiri.
Pun tentang preferensi politik dan teladan.
Urusan politik adalah hal yang personal. Bukan berarti saya tidak membaginya dengan orang lain, termasuk orang terdekat, tetapi, kecenderungan politik adalah independensi yang mutlak. Siapapun boleh memilih siapapun. Adalah hal yang tidak pantas berargumen tentang hal yang satu ini. Bagi saya, itu sama saja dengan melecehkan intelejensi seseorang. Sama saja dengan mengatakan, "Dude, you are so wrong! That is a pity of you". Bukankah itu adalah hal yang kasar?
Begitupun dengan sosok yang diidolakan. Setiap orang pasti sempat, tengah, atau akan mengagumi orang lain. Karena alasan beragam. Karena kebutuhan yang juga beragam. Memaksakan dan mempertanyakan "mengapa" saya mengagumi siapa pun sama halnya dengan analogi preferensi politik di atas. Saya tidak ingin menjadi seoarng fanatik obsesif terhadap sebuah ajaran, paham, maupun seseorang. Namun, di usia kita saat ini (saya mengasumsikan pembaca blog saya adalah mereka yang berusia 22 – 50 tahun), masing-masing dari kita telah melalui jalan hidup yang berbeda. Merasakan apa yang tidak dirasakan oleh orang lain. Serta memahami hal-hal yang tidak dapat dipahami orang lain.
Itu yang perlu dipikirkan lebih lekat.
Ini adalah bukti, bahwa kita, manusia adalah makhluk yang miskin dan picik. Dan Islam, adalah yang paling kaya. Oh tidak, Sang Pemilik Islam lah yang paling kaya. Yang Maha Kaya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.