Masih berbekas dalam ingatan betapa larutnya Roni dalam kesenangan ketika mendengar lagu-lagu The Beatles serta beberapa lagu 'tua' saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) lima tahun silam. Padahal, musik-musik anak muda katakanlah seperti musisi Bruno Mars yang ngetop lewat topeng kera di video klip Lazy Song atau LMFAO yang hitsnya sampai dibuat jadi jingle iklan salah satu produk makanan ringan musiknya begitu digandrungi anak muda.
Bagi banyak orang, ikut mendengarkan lagu-lagu hits akan terdengar keren dan hebat. Tapi bagi Roni, mendengarkan lagu yang anti-mainstream jauh lebih elegan dan berkualitas. Dengar saja musisi seperti ABBA, Mr. Big, sampai yang paling ‘segar’ tapi nggak segar-segar amat, Jamie Cullum. Harmonisasi nada serta substansi liriknya menurut Roni lebih dalam dan bermakna ketimbang musik-musik anti-mainstream yang cenderung hanya menjual musiknya tanpa memerhatikan kedalaman kata tiap kata yang dibait dalam liriknya.
Menginjak Sekolah Menengah Atas (SMA), perlahan anggapan elegan dan berkualitas Roni terhadap musik-musik anti-mainstream mulai memudar seiring intensitasnya mendengarkan musik hits yang meninggi. Singkat cerita, dunia kuliah kembali memutar perspektif Roni terhadap musik anti-mainstream. Alasannya adalah musik indie. Semenjak hidup di kampus, semenjak itu pula Roni mengenali musik indie dari musisi seperti Sore, Danilla, Navicula, Bangku Taman, Stars & Rabbit dan mengenali lebih intim sistematika musik Efek Rumah Kaca.
Ketika Roni sempat berpindah haluan ke musik mainstream sekalipun, ia masih menganggap bahwa musik-musik anti-mainstream masih mendapat tempat bila dipandang dari sisi kekayaan nada dan liriknya. Walaupun musik mainstream harus diakui juga memiliki kekayaan di sisi ‘pasar’ musiknya yang membuat pendengar loyalnya menjadi ketagihan. Namun hal yang kemudian membuat Roni kembali berpangku ke musik anti-mainstream adalah stereotip yang diciptakan masing-masing orang terhadap jenis-jenis musik.
Terkhusus bagi musik indie, mungkin saya pribadi juga bisa dikatakan telah melakukan stereotip saat saya mengatakan bahwa musik ini memiliki sistematika nada dan substansi lirik yang mendalam. Tapi, satu hal yang bisa saya pastikan adalah bahwa musik indie lebih banyak bicara soal kreativitas. Musik indie lebih memiliki kebebasan karena tidak harus capek menciptakan musik yang laku untuk dijual di pasaran. Dengan minimnya intervensi dari pihak lain atas kebebasan tersebut, membuat kreativitas musisi indie tercurah dengan klimaks. Alhasil lirik dari lagu yang diciptakan pun bisa bermakna dan memiliki pesan yang dalam.
“Lebih punya kebebasan. Soal lirik, chord, durasi musik secara menit, tidak ditentukan,” kata pendiri label indie Demajors, David Karto dikutip dari situs CNN Indonesia.
Hal itu pulalah yang membuat saya harus berbicara musik indie tergolong ke dalam musik anti-mainstream karena pasarnya yang cenderung segmented; belum bisa dinikmati semua kalangan.
Mungkin, saat era dimana musik dangdut masih sering dilantunkan grup lawak legendaris Warkop DKI di film-filmnya, para mahasiswa sibuk dengan pesan kritikan khas yang disampaikan terhadap pemerintah. Kentalnya aroma pergerakan mahasiswa begitu terasa pada saat itu. Tidak seperti mahasiswa sekarang yang sering ngedumel via media sosial saja sudah dicap sebagai mahasiswa kritis dan skeptis.
Beda zaman, beda konteks. Mahasiswa zaman kini terlihat lebih mengeksistensi kreatifitas di bidangnya masing-masing. Bila kita boleh mengaitkan antara musik dan kreatifitas pada lingkungan kampus saat ini, tak afdal bila tidak menyebutkan radio kampus dari daftar. Untung saja, khalayak kampus sebagian besar masih menggandrungi musik indie. Sehingga radio-radio kampus yang ada masih berpakem pada segmentasi musik sidestream.
Sebut saja radio kampus populer yang sudah ada sejak 1963, 8EH Radio ITB. Radio tersebut menjadi cerminan kebanyakan radio kampus lain yang masih mengutamakan musik indie sebagai pakem mereka.
“Karena musik yang sudah populer dan biasa kita dengar sudah banyak diputar di radio lain. Kami mengutamakan edutainment dimana musik juga tak luput dari pengetahuan” ungkap eks GM 8EH Radio ITB 2016-2017, Silmi Sabila saat ditemui di Sekretariat 8EH Radio, ITB pada Jum’at (31/3/2017).
Kebebasan menjadi kunci utama musik indie. Sandy Sandhoro, Dewa Bujana, Indra Lesmana jadi contoh musisi yang pindah untuk berekspresi di bawah naungan label indie. Musisi indie, yang musiknya anti-mainstream kini sedang berusaha untuk terdengar mainstream. White Shoes and the Couples Company saja sudah melampaui lima benua untuk konser. Endah N Rhesa, sudah acap kali bertandang dan bersenandung di luar negeri. Burgerkill, Mocca, Goodnight Electric, dan Discus menjadi salah satu contoh band indie yang sudah mendapat pengakuan di internasional. Bahkan, label indie, Demajors yang sudah bertahan 14 tahun lebih sudah berurusan dengan sekitar 400 album dari ratusan musisi.
Meskipun harus diakui pasar musik indie memang tak sebesar musik mainstream, tapi kini musisi-musisinya sudah mulai menunjukkan taring di belantika musik Indonesia. Setiap kalender berganti tahun terus bermunculan grup-grup ataupun musisi solo yang memulai karirnya di dunia musik indie. Tinggal menunggu keberanian media-media massa mayor di Indonesia untuk bisa menentukan nasib musik indie ke depan, yakni me-mainstream-kan sesuatu yang sudah anti-mainstream. Tapi sih, rasanya lebih cocok kalau yang anti-mainstream terdengar seperti mainstream.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.