Dunia Baru Perempuan: Sarjana, Tanggung Jawab dan Rumah di Pundakku.

04 Desember 2017.

Tepatnya delapan bulan empat hari setelah gelar sarjana telah menempel di belakang namaku. Banyak yang mengatakan bahwa hari ini adalah hari yang sangat dinantikan oleh seluruh mahasiswa di dunia. Aku juga demikian, pada awalnya. Bulan pertama setelah kelulusan, aku masih disibukkan dengan kepergianku ke kampus untuk sekedar bertemu dengan teman-teman semasa kuliah dulu, atau bahkan berkumpul bersama dengan teman-teman terdekatku. Bulan kedua, jarak kami mulai terpagut. Masing-masing melebarkan pendidikan ke jenjang yang lebih serius. Tapi komunikasi kami masih normal, sangat lancar maksudku.

Bagaimana denganku?

Bulan kedua, setelah jarak antara aku dan teman-temanku, aku memilih menghabiskan waktu di rumah. Ralat, ini bukan pilihan tapi sudah seharusnya, karena aku tak melebarkan pendidikan seperti mereka. Bagiku, ini masih soal waktu dan kesempatan. Baiklah, bukankah lebih baik kuperkenalkan diri lebih dulu?

Hai, aku seorang gadis, tentunya. Aku tinggal di kota Ambon, ibukota pulau Raja-raja. Orangtuaku seorang PNS dan aku memiliki empat saudara. Seperti sudah disetel oleh Tuhan, setelah aku lulus dari universitas, kakakku yang kedua menemukan pekerjaan. Alhasil, tak ada lagi yang menemaniku di rumah. Aku sendirian. Kesendirian inilah, yang kusadari bahwa membentuk duniaku. Dunia yang kusetel sedemikian rupa, dunia yang terbentuk karena telah terbiasa, dan dunia inilah yang merenggut duniaku yang dulu. Kenapa semuanya soal dunia? Sulit terjawab, karena aku menulis pun karena rasa kesal yang memuncak di ujung kepala.

Dunia baruku. Dunia yang kutemukan setelah mengalami kesendirian. Setelah bulan kedua, bulan-bulan berikutnya hingga bulan kedelapan yang hari ini kutulis. Masih sama, masih menghabiskan waktu di rumah. Waktu yang kuhabiskan di rumah digunakan untuk menjadi wanita yang sesungguhnya. Sesungguhnya itulah, yang tak pernah diajarkan di sekolah, bahkan luput dari mata kuliah yang didaftarkan di kampus. Tentu saja, mengerjakan pekerjaan rumah sebagai wanita. Ya apalagi? Memasak, membersihkan enam bilik rumah (ruang tamu, ruang makan, tiga kamar, ruang tamu dan teras rumah), memelihara kehidupan tanaman yang dipelihara oleh orang tuaku dan masih banyak lagi yang enggan kusebutkan di sini. Sungguh, sesekali aku ingin sekali bepergian untuk mencari, menemukan dan merasakan duniaku yang dulu ketika tak sesendiri sekarang. Tapi rasanya, aku terjebak.

Rasa terjebak ini, karena rasa tanggung jawab yang selama delapan bulan ini terpupuk begitu saja. Well, rasa tanggung jawab itulah yang menciptakan dunia baru ini.


A: Ma, hari ini aku mau kumpul bareng teman-teman.



B: Ke mana lagi? Jadi rumah nanti kosong?


Percakapan ini memang sederhana, tapi mengusik diriku. Demikian, banyak kali kubatalkan janji yang sudah kukukuhkan pada teman-temanku. Omelan dan cercaan keluar dari bibir mulut mereka, cukup banyak menyentak batinku. Janji yang kubatalkan juga, hanya berselang dari dua jam waktu janjian kita untuk bertemu. Dan tak tahu, hari ini sudah kali ke berapa kubatalkan janji. Masih sama, rasa tanggung jawab itu yang mengikatku. Hari ini percakapan di atas juga terjadi di pagi hari, ketika ibuku mengenakan seragam berwarna cokelat saat sedang menyisir rambut pendeknya. Kali ini aku tak berusaha membatalkan janji, bukankah lebih baik kudiamkan saja teman-temanku?

Sekarang namaku, Si pejanji tak tertepati. Karena ulah, tanggung jawab yang kupikul. Tidak, bukan salah keluargaku. Salahku saja, untuk meletakkan tanggung jawab itu sehingga harus kuresapi dalam hidupku. Karena memang sekarang tak berhasil menyalahkan orang lain. Bukankah lebih baik menyalahkan diri sendiri? Setidaknya untuk refleksi diri atas apa yang terjadi. Tapi bolehkah rasa terjebak ini enyah saja? Sejatinya kebosanan telah merajalela pada diriku sekarang. Selama delapan bulan ini, setiap hari aku hanya melakukan hal yang sama. Ketika aku membuka halaman pertama buku yang hendak kubaca, namaku telah diteriakkan dari bilik lain di rumahku, untuk menanti kedatanganku.

Ya, sejatinya menjadi pengangguran memang sesulit ini sekarang. Belum lagi, jika kesalahan-kesalahan kecil yang kulakukan. Tak tahu lagi, ada berapa macam kesalahan yang kubuat menggema di dalam rumah. Awalnya, tertekan. Sudah pasti, aku sangat tertekan. Ketika rasa kantuk yang mulai melelapkan mata, terasa getaran ponsel yang membangunkan dengan ratusan permintaan dari seberang yang sedang menanti. Belum lagi, pandangan sebelah mata dari orang sekitar, karena telah terbiasa mendengar tugasku yang sekarang. Beberapa kali, kujaraki pendengaran yang sangat segar di kuping, tapi tak ada suara yang mampu kukeluarkan untuk menjawabnya. Berjuta peluh dan keluh kesah yang menemani hari.

Berkaca dari kisah Yesus, sang tokoh sentral dari agama Kristen, yang dalam perkataanNya dalam kitab suci: seseorang takkan dihormati di kampungnya. Sederhananya, perkataanNya memang mengarah demikian. Kampung itu, bukanlah kampong daerah asal kita, mungkin benar, tapi bukan sekarang. Kampung itu, ya rumah sendiri. Mau sekolah setinggi apapun, dalam keluarga status kamu cuma anak. Dan tradisi di sini, anak bisa diperlakukan apa saja oleh orangtua, ralat keluarganya pun punya hak.

Sejatinya, memang demikian. Delapan bulan ini, sudah mulai kunikmati. Tapi sesekali aku berontak dengan retorika yang juga menggema setiap hari sebagai tindakan melindungi diri, walaupun perlindungan ini tak kuat sama sekali. Sesekali bisa sangat kuat dan memenangi keadaan, tapi lebih banyak kali kalah dan runtuh seketika seiring keadaan mengizinkannya. Ya, sangat pedih.

Resah. Lebih tepatnya rasa ini yang melandai diriku. Terkesan kejam, tapi inilah keresahan yang sedang kualami dan telah dimulai untuk dinikmati. Sejatinya, rumah yang dulu menyenangkan sekarang mulai menampakkan rasa ketidaknyamanan. Aku tak bermaksud mengumbar apa yang kualami di sini, karena pengalaman ini ingin sekali kubagikan. Bagaimana dengan kalian, para sarjana yang betah di rumah? Sekali pun kalian tak bosan? Aku rasa, munafik sekali jika jawabannya ya. Tak apa jika jawabannya tidak. Sejatinya, memang ada banyak pandangan berdasarkan pengalaman yang kualami ini. Kedudukannya bisa positif bisa juga sebaliknya. Semuanya terpulang pada kita semua. Satu pertanyaan pengusik hati, inginkah kalian berlama-lama di sana?

Ya dan tidak. Jawaban dua sisi. Aku ingin tinggal karna kenyamanan yang tercipta. Sedang tidak karena aku ingin mencintai diriku dengan duniaku yang sudah lama melekat. Semua pengalaman selama berbulan-bulan di rumah, adalah keahlian yang sedang kulengkapi agar lebih peka pada rumah masa depanku, nanti. Tapi setidaknya, aku ingin memiliki ruang tanpa ada tanggung jawab yang mengikat. Jika tanggung jawab yang mengikat itu benar adanya, aku hanya ingin tak perlu diingatkan berkali-kali, bahkan tak ingin merenggut keinginanku yang lain.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pengkhayal tentang uniknya cinta. Temui aku disana, kamu. ellasermatang.wordpress.com