"Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca Hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim"
Mendengar kalimat dijodohkan adalah momok yang mengerikan bagi sebagian anak muda saat ini. Ibarat petir disiang bolong menyambar genteng rumah. Saya tertarik membahas hal ini sebab sekitar sebulan yang lalu, berawal dari obrolan dengan teman yang tidak mau dijodohkan. Yuk kita bahas satu per satu di bawah.
Dewasa ini kita dihadapkan adanya “democrazy” segalanya selalu diukur berbagai indikator, mencari masukkan dua arah, dan hak asasi manusia. Lain halnya dengan jaman orangtua dulu yang segalanya dengan anggukan kepala. Perintah apapun harus dituruti dan bersifat satu arah. Parahnya lagi jika berani menentang bisa tidak dianggap sebagai anak.
Jaman berubah begitu cepat dan berbalik. Sudut pandang yang awalnya hanya satu arah berubah menjadi bercabang. Anak muda saat ini lebih kritis, detail dan berwarna. Bagi mereka umur yang memasuki masa emas penilaian orangtua untuk menikah justru dianggap fase “menikmati hidup”. Masa emas disini adalah umur yang menjadi patokan orangtua jaman dahulu untuk segera menikah. Kita sebut saja laki-laki 25 tahun dan wanita 21 tahun.
Orangtua memandang, 25 tahun bagi laki-laki adalah umur yang tepat untuk memulai kehidupan baru. Umur yang tepat dalam mencapai kestabilan emosi, awal perjalanan karir dan kedewasaan dalam bertindak. Pun begitu dengan wanita, umur 21 tahun adalah usia kematangan umum dimana kedewasaan dalam menilai perkara, mengurus diri sendiri dan yang terpenting itu wanita sudah harus mempunyai ciri-ciri 3M (macak : berdandan, masak : memasak, manak : bisa punya anak banyak). Kalau manak disini baru akan terlihat ketika sudah berkeluarga namun bisa dilihat dari keluarga besarnya.
Lalu apa jadinya jika tanpa melihat faktor diatas dan harus sah menjadi suami istri? Tentu tidak akan bisa dibayangkan sama sekali. Baru ketemu sekali langsung sah, sah dan SAH! Tidak akan ada cerita dimalam minggu sambil menunggu hujan kenangan merindukan pujaan hati.
Beberapa artikel yang saya baca, peristiwa dijodohkan mempunyai kisah tersendiri. Ada yang dijodohkan karena faktor finansial, keturunan hingga relasi bisnis. Kita takkan bisa menyangkal terutama faktor keturunan pasti lebih dikontrol, sebab misal; keturunan raja tidak akan sembarangan memilih jodoh untuk anaknya. Mereka akan mati-matian mengurus dari hal yang besar hingga kecil bahkan cenderung detail.
Suatu kehormatan bisa menjadi bagian dari keluarga kerajaan dimana secara pangkat dan derajat akan naik. Pertanyaannya adalah, apakah semua anak muda berpikir mengenai ini? Berpikir bahwa keuntungan dijodohkan itu mempersingkat masa tunggu yang tidak pasti dengan siapa hati akan bertaut.
Sepertinya tidak. Masa muda bagi saya sendiri adalah hal yang terlalu sayang untuk dilewatkan sebagai kenangan indah. Apapun itu pendapat kamu tentang dijodohkan, kamu bisa komen di bawah artikel ini.
Jodoh pasti bertemu, jika tidak berarti ada yang menikungmu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Mungkin lebih senang jika sudah terjamin dengan bukti jodohnya adalah seorang yang menjabat posisi tertentu hehe
Penulis artikel ini – Nofa Riyanto Nurhuda
Silakan 🙂
kok lucu ya, “proyek orang tua”, wkwkw
persenannya dapet cucu *eh
Udh gk jamannya pakai jodoh2an selagi diri sendiri masih bisa mencari pasangan
Syedih akh…dia dijodohin ???
Hhhmm, idk gw emg trlalu tradisional atw apapun tpi personally gw slalu mikir, saran ortu selalu benar. Insha Alloh ortu slalu mau yg trbaik lah bwt anaknya.Proyek? Jahat banget. Gboleh bgtu sama orang tua.
Apapun itu semua punya pendapat karena hidup adalah pilihan mbak ?