Libur lebaran telah usai, saatnya kita kembali bergelut dengan rutinitas. Menyingsikan lengan baju, mengumpulkan pundi-pundi penghasilan untuk berjuang hidup. Tetapi, selalu ada sebersit cerita setiap lebaran. Dan ini cerita lebaranku tahun ini.
Bekerja di ujung utara pulau Sulawesi membuat aku terbatas pilihan untuk pulang ke kampung halaman, Kota Batu. Tiket pesawat sudah aku genggam lima bulan sebelum keberangkatan, yang bertepatan dengan awal cuti bersama. SKB tiga menteri yang mendadak merubah berbagai rencana. Senang karena ada tambahan libur, kesal karena kenapa tidak ditentukan di awal tahun. Ada tambahan pengeluaran untuk merubah jadwal pesawat, dan untuk aku ini tidaklah murah. Hari H kepulangan berjalan sesuai rencana. Iya, aku memang merencanakan akan terkena dampak macet dari Juanda menuju Kota Batu, dan menurut aku wajar karena hari itu arus mudik di mulai.
Libur minggu terakhir bulan Ramadan aku sempatkan untuk berkunjung ke Dino Park, salah satu wahana wisata bermain terbaru di Kota Batu. Lokasi wisata tepat di depan rumah orangtua, sehingga dari rumah kami selalu terdengar pengumuman di lokasi wisata tersebut dari mulai beroperasi sampai selesai beroperasi yaitu jam sembilan malam. Debu-debu efek pembangunan juga bertebaran ke mana-mana, yang mengharuskan rumah dibersihkan secara menyeluruh hampir setiap hari.
Akses jalan kampung saat itu juga rusak, dikarenakan mobil-mobil memuat material lewat kampung kami menuju pintu belakang lokasi wisata tersebut. Lebaran kami lewati dengan lancar. Jalanan lumayan lancar, berburu angkutan online juga lancar dikarenakan ada bonus berlipat untuk para driver bila menerima penumpang.
Bersyukur aku, ada operator angkutan online yang membantu kami. Puas bagi kami, menyenangkan bagi para driver. Malamnya kami sekeluarga ke alun-alun kota Batu untuk melihat pemandangan malam. Iya, pemandangan lautan parkir motor yang semrawut, pemandangan lautan penjual kaki lima di trotoar, dan dan pemandangan lautan manusia yang berusaha menghibur diri.
Hari keempat waktunya aku harus keluar kota, dan di sinilah kejengkelan aku meluap. Jadwal kereta jam 16.05 WIB, aku pesan transportasi online pukul 12.00 WIB dan baru dapat pengemudi pukul 12.30 WIB. Beliau datang setengah jam kemudian, aku sudah memaklumi karena sejak di hari kedua kotaku mulai kebanjiran orang untuk berwisata. Begitu keluar gang menuju jalan raya akhirnya aku tahu penyebabnya. Banyak mobil parkir untuk berwisata di lokasi di depan rumah aku berada di pinggir jalan.
Bayangkan, jalan raya di kota Batu itu tidak besar, di "makan" mobil untuk parkir, ya mobil yang jalan harus melambat. Seharusnya lokasi wisata juga menyediakan parkir bertingkat untuk mobil-mobil pribadi, agar tidak parkir liar dan menganggu pengguna jalan yang lain. Pasti mikirnya yang punya mobil, "Kita udah bayar parkir kok, kita juga wisata ke kota ini, berarti kita yang hidupin mereka, mereka harusnya memaklumi kondisi ini."
Bukan seperti itu pola pikirnya. Pengusaha lokasi wisata memberikan pelayanan yang memuaskan untuk pengunjung dan harus memikirkan kepentingan kota tersebut, pemerintah kota harus memberikan kenyamanan dan keamanan untuk semua yang terkait, baik dari segi peraturan pembangunan, pelebaran jalan, bahkan pengaturan lalu lintas. Penyediakan kantong-kantong parkir juga harus dipikirkan.
Kami sebagai warga lokal juga harus memberikan pelayanan dan keramahan kepada pengunjung, karena dari merekalah kota kami bisa terkenal. Dan dari pengunjung harus ikut menjaga kota kami dan menghormati budaya di kota kami. Bila semua mau bekerja keras, bekerja sama dan saling menghormati, berwisata di manapun di seluruh kota di Indonesia akan menyenangkan. Dan bagi aku, aku bisa mudik dan menikmati kota Batu selayaknya hari-hari biasanya, semoga.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”