Beberapa waktu lalu saya menemukan seorang anak muda yang berprestasi namun sedang tersandung dengan problematika kehidupan, sehingga mengalami sebuah ketidakberuntungan (Saya tidak menyebutkan nama ataupun inisialnya). Umurnya baru 20 tahun dan perempuan. Dia diberi penawaran untuk menjadi seorang guru (dalam bidang eksakta, di mana saat ini kebutuhan guru di bidang tersebut sedang meningkat—namun SDMnya masih kurang di Kep.Riau). Bukan sembarang memilih tanpa alasan, karena serangkaian prestasi yang dia dapat tidak hanya di kepulauan ini tetapi juga ketika dia menimba ilmu di Yogyakarta adalah pada bidang tersebut. Namun, jawabannya justru membuat si pemberi tawaran dan orang di sekitarnya tertegun dan sunyi, bahkan ketika saya mendengar hal itu, merinding dan haru menjadi satu.
"Ya, saya memang sudah memikirkan rencana untuk menjadi seorang guru, tapi maaf, bukan untuk saat ini. Saat ini bahkan sampai usia saya 30 tahun nanti, saya akan memilih pekerjaan yang membuat saya dapat menghasilkan uang. Nanti ketika saya berusia 30 tahun ke atas, saya pasti terima tawaran itu dan saya memang sangat suka mengajar, mengajar itu sudah jadi hobi bagi saya. Mengajar itu menyenangkan bagi saya. Tapi untuk saat ini dengan kondisi dan situasi yang saya alami, saya tidak bisa menjadi munafik. Saat ini yang saya butuhkan adalah uang dan bagaimana saya dapat mencukupi kebutuhan saya, juga mencukupi dana untuk pendidikan saya. Saya nggak mau menjadi guru ataupun pengajar selagi orientasi saya masih mencari uang. Menurut saya, mengajar atau menjadi guru adalah profesi tanpa tanda jasa, kalaupun ada upah itu hanyalah reward bukan sesuatu yang diharapkan akan ada bayaran setiap bulannya. Saya pasti akan menjadi guru karena memang saya pasti senang men-transfer ilmu dengan profesi itu, tapi tidak sekarang."
Dan saya sempat menanyakan hal yang saya tangkap dari jawabannya. Ternyata, apa yang ditekankan pada jawabannya adalah :
1. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa guru baginya bukanlah sebuah 'pekerjaan' melainkan profesi;
2. Jangankan mengeluh gaji kecil, justru dia menghindari tawaran dan menolak menganggap gaji itu sebagai bayaran untuk profesi tanpa tanda jasa tersebut. Menurutnya, bila ada, lebih pantas menyebut 'reward', agar besar kecilnya bukan menjadi keluhan, melainkan kebahagiaan tambahan di luar mendidik/mengajar alias bonus;
3. Dia sangat sadar bahwa menjadi guru artinya melayani dengan ikhlas, mengajar tanpa pamrih, mentransfer ilmu tanpa mengharap kembali. Karena itu, dia menjauh dari profesi tersebut selagi orientasinya adalah mencari uang.
Saya jadi ingat ketika saya bersekolah di SMA Swasta Yogyakarta, saya mengabarkan bahwa saya lolos tes kuliah di jurusan dan universitas yang saya inginkan kepada guru saya, dan jawabannya masih terngiang di telinga saya, beliau menjawab sambil merangkul saya di dekat tangga,
"Wah senang sekali bapak, nak, mendengarnya. Rasanya tunai tugas bapak mengantar kamu ke jenjang yang lebih tinggi, ini yang jadi kebahagiaan guru-guru, nak, melihat anak-anaknya berhasil. Jangan menganggap saya atau guru lain sebagai orang yang akan mengajarkan kamu ini dan itu, tapi tetaplah anggap saya ‘bapak kamu’ yang punya tanggung jawab untuk membesarkan anaknya yang sedang tumbuh dan berkembang. Karena dengan begitu saya merasa bahagia. Saya akan merasa bersalah jika terjadi apa-apa dengan anak-anak saya, dan saya pasti melakukan yang terbaik untuk anak saya.”
Kembali ke perempuan itu, baru saya sadari, perempuan 20 tahun itu juga memberi pelajaran dan cambukan baru untuk saya yang juga pernah menjadi guru, dan menjadi alasan mengapa saya menulis tulisan panjang hari ini. Saya mendengar jawabannya sekitar 15 hari sebelum hari ini, tetapi jawabannya masih saya ingat, begitu pula dengan jawaban guru saya (sebelum paragraf ini) sudah berlalu sekitar 5 tahun lalu, tetapi masih saya ingat kata dan raut wajahnya.
Semoga mereka diberi ketenangan batinnya dan kebahagiaan selalu. Terimakasih ya Perempuan 20 tahun, saya doakan kamu berhasil ke depannya, berdoalah dan melangkah lagi dengan jalanmu yang baru, semoga kelak tercapai cita-citamu menjadi guru yang bersih dan kembalikan semangat tanpa tanda jasa di negeri Pertiwi ini. Semoga semakin banyak yang berpikiran sepertimu.
Terima kasih guru, pengajar, dan pendidik saya dari SD, SMP, SMA, kuliah, meskipun berbeda-beda cara mendidik dan mengajarmu, ada yang membuat saya trauma, ada yang membuat saya bahagia, ada yang ajarannya ingin segera saya lupa, ada yang ajarannya belum pernah terlupa, ada yang kata-katanya menyakiti saya, ada yang kata-katanya emas bagi saya yang memberi pengalaman negatif tak akan saya lupa, yang memberi pengalaman positif lebih tak akan saya lupa. Saya percaya akan ada sebuah kebahagiaan di balik pengalaman baik, dan ada sebuah pelajaran berharga di balik pengalaman terburuk sekalipun.
Saya sudah tumbuh dan berkembang tak lepas dari jasamu.
Terima kasih 🙂
Tulisan ini saya sampaikan bersamaan dengan doa dan harapan saya yang sangat besar kepada seluruh guru yang berjuang dengan profesinya, bercita-cita mulia, serta menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, semoga kesejahteraanmu semakin menjadi perhatian di negeri kita, Indonesia.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.