Kenangan, kata kerja yang memang sangat lekat dalam kehidupan tiap orang. Selekatnya kenangan pada hidup seseorang, hingga sulit dilepaskan. Adakah diantara kita yang melepaskan sebuah kenangan? Aku rasa itu pertanyaan dengan jawaban yang paling berat untuk bisa diungkapkan. Mengapa berat? Karna mudah saja, kenangan takkan bisa pergi dengan mudah. Bahkan kenangan bisa dibawa sampai akhir perjalanan hidup.
Kenangan sejatinya menjadi kawan dan lawan. Menjadi kawan, karna dapat menyembuhkan bahkan meluruskan hati yang patah, retak dan bahkan tak berbentuk. Sedang sebagai lawan karna datang tanpa permisi dan membuat para insannya menumpahkan pedih lewat isak tangis yang tak tertahankan. Sejatinya, memang demikian.
Kenangan. Haruskah engkau sekejam itu?
Pertanyaan paling keji yang diteriakkan oleh para pemeluk kenangan. Lantas aku bertanya, mengapakah kenangan harus dipeluk? Kenangan bukan untuk dipeluk, tapi di kenang. Sungguh, kenangan adalah guru sejati yang mengajarkan senang dan sedihnya kehidupan. Karenanya, kenangan adalah pembelajaran, agar makin dewasa dalam bertindak. Ternyata yang aku katakan, memang mudah. Demikian, jadinya.
Sedangkan para pemeluk kenangan sibuk menjelaskan bahwa kenangan yang mereka peluk memang maha indah. Makin maha indahnya kenangan, semakin sulit hingga tak bisa dilepaskan dan tak terkendali lagi jika muncul sewaktu-waktu. Sejenak, yang kudapati hanya kebingungan belaka. Jawaban yang kuterima, lantas melahirkan banyaknya pertanyaan terkait dengan jawaban yang kudapati “Sebegitu eratkah kenangan menempel di ingatan?”. Masih belum kutemukan jawaban atas pertanyaan ini. Aku melayangkan pandanganku terhadap mereka, kaum pemeluk kenangan. Setelah lama kutatapi mereka, kutemukan bahwa mereka begitu rapuh. Diam-diam mereka menangis. Pertanyaan yang begitu akrab mereka temui, kamu kenapa? Dan jawaban atas akrabnya pertanyaan itu adalah aku kangen dia, yang memelukku waktu itu.
Semakin kuresapi kenangan yang mereka maksud, ternyata kenangan yang mereka tuju adalah love memory. Kalau untuk hal yang satu ini, agak sulit ku jelaskan. Sungguh, ini aneh. Aneh yang hanya kurasakan, sebab tak pernah ku berdiri di posisi itu, dan aku beruntung. Positifnya, aku terluput dari kenangan cinta yang sesekali muncul di permukaan wajah.
Lucu, memang sangat lucu. Bagiku, yang pantas dikenang hanya hal yang mendatangkan pengajaran yang baik. Tapi para kaum pemeluk kenangan nyatanya dengan tegas menolaknya. Mereka mengenang sepaket kenangan itu: sedih-kecewa-marah-cinta-bahagia-jatuh cinta. Mereka mengingat yang manis di ingatan, tapi pahit dikenang. Bukan hanya pahit, tapi pedih. Apa dia yang di seberang merindukan kalian dalam ingatannya? Kalo iya, aku turut bahagia. Kamu masih mendapatkan ruang di memorinya. Bagaimana kalau tidak? Aku juga turut bersedih denganmu. Karna dia bukan hanya pergi dari kisahmu saja, dia juga pergi dari hidupmu. Kisah dan hidup begitu berbeda bukan?
Kau dapat berkata bahwa kisah dan hidup yang kau punya terikat. Tapi apa dia yang menjadi pemeran dalam kisahmu itu mau berperan lagi? atau dia sendiri yang memilih mati dan pergi dari kisahmu. Ternyata kisah yang ada dalam hidupmu bukan kehendakmu. Dan para pemeran yang lain selain dirimu dapat menentukan perannya dan waktunya berperan. Bukan kau yang mengendalikan. Kau dikendalikan oleh waktu. Sejatinya, kau hanya menunggu sampai waktu menentukan batasnya. Jika ya, kisahmu akan menjadi kenangan.
Bagiku, kenangan layaknya kaki yang berpijak di bibir pantai dan di tepian jalanan beraspal. Kau tahu mengapa? Karna sama-sama tak berbekas. Memang, perjalanan di bibir pantai berbekas. Tapi bekas itu kan menghilang seiring serbuan ombak yang menghantam bibir pantai kan? Kenangan memang seperti itu. Kian hilang jika ombak itu menghampiri. Tunggu, ombak semacam apa? Ombak yang kumaksud adalah ombak hidup yang lebih baik. Ombak baik atau buruk, sama saja. Setidaknya tuk menghilangkan kenangan yang menyesakkan ingatan. Tentunya mengenai kenangan cinta.
Bagaimana dengan jalanan yang beraspal? Sama. Tak berbekas. Jika ingin berbekas gunakanlah pengalas kaki yang mampu menciptakan bekas pada tempat kaki berdiri. Nyatanya selama ini, kita bergerak tanpa pernah memperhatikan bekasnya. Bekas yang sejati, memang tak perlu nampak. Bekas itu menempel dalam ingatan. Itulah yang menyakitkan.
Berdamai. Satu kata yang tepat untuk menatap kenangan itu sebagai pelajaran hidup yang sebenarnya. Aku harap, kalian mengerti maksudku.
Maaf, aku menulis sebanyak ini bukan untuk menghujat kalian, kaum pemeluk kenangan cinta. Aku hanya mengutarakan apa yang selama ini mengusik hatiku. Aku mengetahuinya, dari para kawanku yang juga termasuk para kaum pemeluk kenangan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”