Asyik juga mendengar pemandu bertutur mengenai Candi Belahan di lereng timur Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Berada di tempat terpencil, candi yang oleh orang setempat disebut Tetek Belahan ini merupakan candi air atau petirtaan.
Pada sendang kecil di kompleks candi terdapat patung dua dewi berdiri berdampingan, Dewi Sri dan Dewi Laksmi. Dewi Laksmi agak sedikit membungkuk, menunjukkan payudara. Dari situ mengucur air ke sendang. Konon dulu di antara keduanya terdapat patung Dewa Wisnu menunggang Garuda. Dipastikan, sang Wisnu adalah simbol perwujudan Raja Airlangga dari Kediri, kalau mengingat dibangunnya candi ini yakni pada abad ke-11. Sayang, patung Dewa Wisnu tidak lagi terdapat di situ.
Gunung Penanggungan sendiri yang sisi baratnya masuk Kabupaten Mojokerto dan sisi timur masuk Kabupaten Pasuruan dianggap sebagai salah satu gunung sakral di Jawa Timur. Puncaknya yang berupa pasir dan bebatuan dipercaya sebagai puncak Mahameru yang dipindahkan oleh penguasa alam. Seratus lebih situs kerajaan kuno terdapat di situ.
Mendengar dongeng di antara kabut dan gerimis sambil makan jagung bakar, selain mengasyikkan, rasanya juga tak kurang relevan bagi zaman now. Narasi berupa dongeng dan legenda adalah suatu cara untuk mengungkapkan kebenaran, kasunyatan. Para leluhur memberi pelajaran, kebenaran tak selalu berada pada sesuatu yang kasatmata, sesuatu yang dipahami orang sebagai fakta. Justru sebaliknya, seperti babad, ia sering ditulis dalam bentuk dongeng, semacam fiksi dengan gaya realisme magis.
Di situ apa yang dipahami orang sebagai fakta dikaburkan dengan fiksi. Sejarah dibaurkan dengan legenda, fakta dicampur dengan mitos, yang tidak ada diadakan-adakan. Demikianlah sebenarnya kesadaran manusia terbentuk dari zaman ke zaman. Sejarah bukan semata-mata kronologi kejadian, tetapi proses konstruksi dan mobilisasi kesadaran.
Makanya, agak mengherankan kalau ada orang bersikukuh ngotot mengatakan ini fakta itu bukan fakta. Fakta apaan…. Terlebih pada era digital ini—dengan medium yang cenderung mendorong berkembangnya delusi daripada nalar dan akal sehat. Berita palsu alias hoax menjadi-jadi.
Hoax itu sendiri sejatinya tak lebih daripada sebuah realitas gadungan dipandang dalam kriteria etik. Pada studi-studi mutakhir, beberapa pemikir sudah mencurigai makna realitas. Sudah lama muncul istilah simulacrum, hyper-reality, phantasmagoria, dan lain-lain. Semua maknanya kurang lebih sama: realitas gadungan.
Dalam kriteria etik seperti disebut tadi, realitas gadungan ditambah dosis niat jahat dianggap hoax; realitas gadungan ditambah dosis niat baik dianggap sebagai fakta. Tergantung niat dan kepentingan, orang cenderung mendengar apa yang ia ingin dengar saja. Kalau apa yang ia dengar sesuai apa yang ingin dia dengar, maka itu fakta. Fakta menjadi produk delusi.
Keadaan itulah yang dalam ranah politik dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai jalan menuju kekuasaan maupun menghancurkan kekuasaan. Di situ dikenal istilah provokasi, agitasi, dan propaganda. Mereka yang berniat merongrong lawan terus-menerus membikin provokasi, menciptakan sesuatu yang tidak ada seolah-olah ada. Begitu pihak yang menjadi target terprovokasi, jadilah yang tidak ada tadi menjadi benar-benar ada.
Selanjutnya tahap berikut, agitasi dan propaganda. Karena dia seperti itu maka ia adalah musuh kita, oleh karenanya mari kita singkirkan. Hati-hati dengan pihak yang terus-menerus melakukan provokasi. Korban telah jatuh. Orang baik mudah tersingkir.
Dengan demikian, lawan dari hoax bukanlah fakta, melainkan super-hoax. Narasi harus dilawan kontra-narasi. Apa boleh buat, kita bukan saja berada pada era pasca-kebenaran, tapi juga pascakenyataan. Fiksi mengatasi fakta.
Lalu di mana letak fakta, letak kenyataan? Kenyataan adanya di alam. Ilmu berasal dari alam, begitu diktum perguruan silat di Bogor. Ilmu harus dikembalikan ke alam, melalui masyarakat dan kebudayaan.
Itu pula wangsit dari Gunung Penanggungan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”