Ayah, Pahlawan Dengan Sejuta Pengorbanan

Masih teringat jelas kenangan saat bersamamu, ayah. Waktu aku kecil, jika aku sedang marah karena tidak diizinkan pergi main oleh ibu, ayah dengan tiba-tiba muncul dan menggendongku, lalu mengantarkanku pergi bermain. Aku pun dengan polosnya minta turun dari gendonganmu dengan pura-pura masih marah, namun kau tetap berjalan sambil menggendongku hingga sampai ke tempat bermain. Aku pun tersenyum kembali dan kau pun membalas senyumku sambil mengelus ubun-ubunku.

Adapun kenangan saat kita pergi ke sawah bersama. Di pagi buta, aku dibangunkan oleh ibu, dengan sedikit masih mengantuk dan mengucek-ucek kedua mataku. Aku langsung kaget dan segera salat subuh ketika melihat ayah sudah siap untuk pergi ke sawah. Karena ayah sudah berjanji tadi malam akan mengajaku pergi ke sawah, maka mau tidak mau aku harus siap dibangunkan pada pagi buta. Ibu pun menyiapkan pakaian gantiku dan kulihat ayah masih menungguku dengan setia di angkringan, dengan ditemani asap rokok yang mengepul. Saat semuanya siap, mulai dari makanan, pacul, tudung yang sudah menempel pada sepeda ontel tua milik ayah, kami pun berangkat.

Di pagi buta berteman embun, aku yang dibonceng ayah pun berangkat ke sawah. Aku ikut tersenyum, kala kulihat mentari secara perlahan memperlihatkan senyumnya. Selama di sawah kau mencangkul, sedangkan aku hanya bermain, berlari bahkan sempat menangis karena haus dan lapar. Masih ingat kala itu aku suka sekali mengumpulkan belalang ke dalam botol untuk digoreng bersama ibu nanti di rumah dan disantap bersama. Biasanya, belalang tersebut paling enak disantap pada malam hari dengan keadaan masih hangat serta ditemani anak kecil yang bermain di pelataran rumah. Selain mengumpulkan belalang, aku juga suka sekali menangkap capung dan jahatnya lagi, aku menangkap capung menggunakan teknik getah buah nangka yang masih muda, karena dengan begitu, capung akan mudah sekali ditangkap dan tidak bisa terbang lagi. Bermain serangga bapak pucung pun tak pernah bisa aku lupakan.

Selain bermain, yang ditunggu-tunggu adalah makan siang bersama ayah dipinggir sawah dan diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Meskipun hanya tahu, tempe, sambal dan kerupuk, namun waktu itu terasa sangat nikmat sekali ayah dan rasanya aku ingin mengulang momen itu. Aku juga masih ingat, kau selalu mendahulukan anak-anaknya untuk makan terlebih dahulu, meski kau pasti sudah kelaparan karena setelah seharian bekerja di sawah. Kenangan-kenangan itu tak pernah terhapus dalam benakku, ayah. Selalu terekam dalam dan terlihat jelas bayangannya. Meski kini kenangan itu tak bisa terulang kembali. Tapi aku tahu cinta kasihmu masih saja seperti dulu atau mungkin lebih. Aku mengerti dengan kondisi badanmu yang tak sekekar dulu dan tak sekuat dulu. Jangankan menggendong aku, badanmu pun kadang mudah lemah. Sekarang kau hanya bisa ke sawah sekedarnya. Tak seperti dulu yang semangat selalu.

Pernah terbesit aku ingin seperti dulu lagi kembali ke masa kecil bersamamu, ayah. Menghabiskan waktu bersama dan bersenda gurau hingga lupa waktu. Tapi, sekarang aku sadar, kini giliranku untuk memanjakanmu ayah. Aku akan dengan sukarela mendengar curhatanmu meski hanya lewat telepon. Aku pun sebenarnya ingin selalu di sampingmu di saat usiamu yang kian senja. Namun, aku harus menahan dalam-dalam rindu ini hanya demi sesuap nasi. Meski aku jauh darimu, aku yakin Allah selalu mendampingimu yang jauh di sana. Terima kasih atas uluran tanganmu saat aku terjatuh dulu karena berlarian tanpa melihat ke depan. Terima kasih ayah, atas candaanmu saat aku menangis sesenggukan. Terima kasih ayah, atas gendonganmu saat aku marah hingga bisa tersenyum kembali. Terima kasih ayah atas gandenganmu dulu menemani setiap langkahku. Terima kasih ayah, atas jalan-jalannya mengenalkanku pada alam meski hanya menggunakan sepeda ontel tua. Terima kasih ayah, telah rela berkorban bahkan berjuang mati-matian hanya demi aku anakmu. Dan terima kasih ayah, telah menumpahkan seluruh cinta kasihmu padaku.

Semua kenanganmu akan selalu aku ingat selamanya. Dan aku akan berusaha selalu di sampingmu hingga akhir hayatku. Aku akan pegang kuat nasihatmu untuk menjadi perempuan yang tangguh dan berbeda. Maafkanku ayah yang belum bisa membuatmu tersenyum seutuhnya. Terima kasih ayah, telah menjadi pahlawanku sedari kecil hingga sekarang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

to be inspiring writer and teacher