Sebelumnya, tulisan saya tidak dimaksudkan untuk menyindir ataupun menyinggung pihak tertentu.Tulisan ini murni buah pikiran saya dari kejadian yang terjadi di sekeliling saya.
Hari itu saya sedang duduk di ruang tunggu salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Kursi ruang tunggu cukup sepi. Di sebelah saya duduk seorang mahasiswi (saya menyimpulkan dari laptop dan paper yang dibaca), dan sepasang suami istri dengan anaknya. Saya datang paling awal.
Sejak pertama kali datang, keluarga kecil ini menarik perhatian saya, karena anak ini sangat aktif. Ia tidak betah diam di kursi lama-lama dan beberapa kali meneriakkan "ruang 103 dipanggil! ruang 104 dipanggil!" (menirukan suara suster yang memanggil pasien). Saat itu beberapa orang dari ruang tunggu lain sempat melihat ke arah kami. Saya sempat menoleh untuk melihat respon orang tua anak tersebut dan alangkah terkejutnya saya, karena orang tua si anak tetap mengobrol seperti tidak terjadi apa. Ekspektasi saya saat itu adalah sang ibu atau ayah mungkin akan meminta anaknya untuk memelankan suara karena di rumah sakit atau mengajaknya mengobrol untuk mengalihkan perhatian dari berteriak).
Setelah itu sang anak berhenti dan saya pun menyibukkan diri. Namun tak lama, sang anak turun dari kursi dan mulai berlari-lari di koridor sebelum menjatuhkan diri dan berguling-guling di lantai dekat kaki orang tuanya. Pandangan saya otomatis beralih pada anak tersebut. Ekspektasi saya: orang tua anak tersebut mungkin akan meminta anaknya duduk tenang, atau membawanya jalan-jalan karena dalam pikiran saya anak tersebut bosan. Namun lagi-lagi, kedua orang tua anak tersebut tetap mengobrol.
Waktu itu dalam pikiran saya, mungkin memang pembicaraan kedua orang tua anak tersebut sangat penting (dari tempat duduk saya tidak terdengar karena cukup jauh) atau memang watak sang anak yang petualang dan biasa mengekspresikan perasaannya dengan lantang.
Namun setelah itu, orang tua anak tersebut bereaksi.
Ada beberapa kata-kata yang terngiang-ngiang di kepala saya saat orang tua anak tersebut menasihati anaknya.
"Nggak sopan kamu, sembrono." "Ini rumah sakit, ada cctv dimana-mana, kamu itu…" "Itu ada susterm nanti disuntik suster lho. Suster bawa suntikan tidak?" (saat itu sang suster tersenyum dan berkata disini tidak ada suntikan)
Sekali lagi, tulisan saya tidak dimaksudkan untuk menyindir ataupun menyinggung pihak tertentu.Saya tidak bermaksud untuk menggurui, namun ada hal-hal yang sedikit mengganjal dari pikiran saya. Seandainya saya adalah anak tersebut, apakah yang akan saya pikirkan saat itu? Seandainya saya adalah orang tua anak tersebut, apakah yang sedang saya pikirkan?
Sebagai orang ketiga, orang awam, yang saya sedang lihat saat itu adalah, dalam bahasa sehari-hari, anak yang cari perhatian alias caper, dan orang tua yang tidak peduli alias cuek. Namun apakah hanya itu? Tidak juga, bila kita mau melihat lebih dalam, mungkin apa yang terjadi lebih dari itu.
‘Caper’nya seorang anak bukan tanpa alasan. Perhatian dan kasih sayang merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Mengutip perkataan Billi Gordon dari Psychology Today, bahwa perilaku mencari perhatian dapat terjadi karena adanya pembiaran pada anak di masa awal perkembangannya. Hal ini yang memicu saya untuk berpikir, apakah anak tersebut sejak kecil sudah terbiasa dibiarkan oleh kedua orang tuanya? Apakah berarti anak tersebut tidak mendapat perhatian yang dibutuhkan?
Anak sebagai generasi penerus bangsa, sebagaimana bapak ibu guru selalu menanamkan pada muridnya, memiliki kebutuhan fisik dan mental untuk dipenuhi pada perkembangannya. Otak anak yang masih belajar untuk ‘survive’ akan selalu lapar, perasaan anak yang masih labil juga perlu dibentuk dan dikokohkan. Butuh peran serta dari orang tua untuk turut andil membentuk bagaimana karakter buah hatinya agar menjadi suri tauladan yang baik di masa depan, sebagaimana biasanya tersebut dalam doa orang tua.
Di satu sisi, saya juga berpikir bahwa orang tua tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena mungkin ada faktor lain yang menyebabkan mereka tidak dapat memberi perhatian sebanyak yang dibutuhkan anak-anak, dan bahwa saat dewasa anak mungkin akan mengerti perasaan orang tuanya saat itu. Namun di sisi lain, saya berpikir, apa yang akan terjadi pada anak tersebut jika sang orang tua terus membiarkannya dan hanya akan bereaksi saat ‘sudah kelewat batas’?
Saya tidak bisa dan tidak berani membayangkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.