Sewaktu mengintip kiprah teman-teman yang berhasil mengumpulkan pundi-pundi harta di usia muda, bahkan hanya menggunakan internet dan media sosial, tetiba menyelinap rasa ingin di dalam diri. Muncul rasa ingin tahu yang membuncah dalam diri saya. Siapa yang tidak ingin, berusia muda dan berada di atas.
Saya menjadi saksi atas kesuksesan teman-teman melalui bisnis online, atau akrab disebut dengan “start up”. Saya goblok perihal bisnis, tetapi mereka berbisnis dan bisa sukses, ditambah merasa mulia di usia muda. Tanpa berpikir panjang, saya beli buku-bukunya, mengeruk rekening untuk ikut seminar, juga workshopnya, dan pastinya mengikuti petuah-petuahnya. “Bagaimana cara mereka melakukannya?”
Diawali dengan mempunyai website atau blog, dan mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat, supaya pengunjung menyukainya.
“Lalu apa? Bagaimana mereka bisa membuat itu menjadi sebuah bisnis yang berlimpah rezeki?”
Saya pun tergoda untuk mengikuti cara-cara selanjutnya, yaitu dengan “internet marketing”. Tetapi di satu sisi, saya menyadari keinginan-keinginan yang mengikuti selanjutnya. Keinginan untuk mengumpulkan alamat email sebanyak-banyaknya, lalu memanipulasinya sedemikian rupa melalui taktik-taktik teruji yang mampu melibatkan emosi pembaca, menampilkan bukti-bukti nyata nan ampuh, menciptakan ketergesa-gesaan yang semu, membuat saluran penawaran, “ngomporin” mereka supaya membeli, memaksa mereka agar berpikir bahwa mereka butuh atau kalau tidak, hidup mereka akan sengsara.
Lebih dari itu, muncul keinginan untuk meminta (lebih tepat sebenarnya, memaksa) pengunjung blog menuliskan alamat emailnya dan bergabung agar mendapatkan ebook atau ilmu gratis yang lebih bermanfaat. Ditambah dengan memasang kotak iklan di website yang muncul tiba-tiba mengganggu pandangan (pop up). Lagi-lagi berusaha memaksa pengunjung untuk memberikan alamat emailnya.
Sejenak saya mengamati rasa ingin ini. “Apakah keinginan ini memang harus saya puaskan?”
Saya pernah mengunjungi sebuah website dan memberikan email saya. Apa yang terjadi? Saya mulai mendapatkan berbagai macam email, dan setelah saya baca dan renungkan, sebenarnya email-email itu tidak saya inginkan, apalagi saya butuhkan. Hanya memaksa saya untuk masuk ke saluran penawaran yang sudah ia rencanakan, memaksa saya untuk membeli. Ternyata di media sosial, ia pun bertubi-tubi berupaya terlalu keras agar saya berminat membeli dagangannya. Mulai menciptakan kesan bahwa saya berminat, sehingga saya akan membeli yang ia jual. Wirausaha muda yang menjadi penjual, menjadi tukang manipulasi, menjadi tidak layak untuk dipercaya. Saya pun memilih untuk berhenti mendapatkan email-email darinya.
Keinginan yang begitu menggebu untuk menjadi wirausaha muda yang sukses, dan ketakutan yang mencekam kalau hanya menjadi manusia yang biasa-biasa saja, mendorong banyak manusia melakukan hal-hal ceroboh, bahkan cenderung bodoh. Ini bukan berbicara tentang pejabat-pejabat pemerintahan atau perusahaan-perusahaan besar. Bukan. Tetapi tentang pemilik usaha kecil menengah, wirausaha muda, yang memasarkan dan menjual dagangannya.
Saya mengupas lebih dalam keinginan berlebihan untuk melakukan “internet marketing” yang bersarang dalam diri. Dan ternyata akarnya adalah rasa tidak percaya diri. Tidak percaya dengan apa yang saya sendiri lakukan.
Lalu, “Bagaimana jika saya mempunyai keyakinan atas apa yang saya lakukan?”
Dengan bekal keyakinan tersebut, maka akan lebih menaruh perhatian pada menciptakan sesuatu yang bermanfaat, dan muncul rasa percaya bahwa karya itu akan membantu banyak orang. Tenaga lebih dicurahkan untuk memberi nilai tambah pada bisnis agar lebih mampu melayani.
Bukan lalu tidak melakukan “internet marketing” sama sekali, tetapi melakukan dengan sewajarnya saja, tidak berlebihan. Upaya yang dilakukan lebih ke menciptakan karya sebaik mungkin. Karya yang memang benar-benar bermanfaat tidak mungkin berbohong. Maksudnya adalah karya yang bermanfaat akan tersebar dengan sendirinya, melalui mulut orang-orang yang sudah merasakan sendiri manfaatnya. Dengan seperti ini, akan lebih sederhana dan menjadi layak dipercaya.
Cara sederhana memupuk kepercayaan diri adalah dengan memberdayakan semua sumber daya yang telah dipunya, untuk menciptakan karya. Juga dengan mendengarkan orang-orang, dan menyadari apakah usaha yang sedang digeluti bermanfaat serta menjangkau banyak orang atau tidak. Kalau memang dibutuhkan penyesuaian, sebaiknya dilakukan. Orang-orang yang tidak berminat dan tidak membeli, diikhlaskan. Bukan malah dipaksa. Menyadari bahwa satu manusia tidak bisa menyenangkan semua manusia. Satu karya bukan untuk semua orang.
Tidak percaya diri, rasa takut kalau hanya menjadi manusia yang biasa-biasa saja, rasa takut kehilangan bisnis, akan selalu ada dan setiap saat bisa mencengkeram. Tetapi saya memilih untuk terus berlatih agar tidak menjadi budaknya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.