Urgensi Milenial dan Alfa Dalam Reformasi Perpajakan

Pada tahun 2020, Badan Pusat Statistik merilis hasil Sensus Penduduk dengan jumlah penduduk Indonesia hingga September 2020 tercatat sebanyak 270,20 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan sensus penduduk 10 tahun yang lalu, penduduk Indonesia telah bertambah 32,56 juta jiwa. Berdasarkan data yang telah dirilis, komposisi penduduk di Indonesia didominasi oleh Generasi Milenial dan Generasi Alfa atau sering disebut Generasi Z.

Advertisement

Generasi Milenial lahir pada tahun 1981-1996, sementara Generasi Alfa lahir pada tahun 1997-2012. Persentase masing-masing generasi dapat dinyatakan sebagai angka yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 25,87% dan 27,94%. Dengan demikian, data tersebut menjadi gambaran bahwa Indonesia didominasi oleh usia produktif.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa kelas produktif usia milenial dan alfa menjadi akar dalam percepatan revolusi industri 4.0 di Indonesia. Katakan saja Milenial dan Alfa adalah Agent of Change yang piawai dalam beradaptasi dengan teknologi, bukan hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai creator. Pernyataan yang masih ekpektasi itu tidak boleh membuat lengah dalam persoalan masa depan ekonomi digital yang ada di genggaman Indonesia. Apalagi, saat ini bibit Agent of Change mayoritasnya cenderung berstatus mahasiswa. Tentu menjadi mahasiswa ibarat cerminan intelektual yang dituntut berpikir kritis dan inovatif di tengah konsep serba instan.

Lantas, bagaimana Direktorat Jenderal Pajak beradaptasi menghadapi booming milenial dan alfa dalam reformasi perpajakan di era digital?

Advertisement

Wabah Covid-19 tahun 2020 telah memaksa modernisasi setiap negara menjadi lebih cepat. Beraktivitas secara daring dan bergantung pada teknologi diterapkan sebagai protokol kesehatan yang telah menggeser aktivitas tatap muka. Dengan demikian, bentuk reformasi perpajakan yang dilakukan adalah penerapan teknologi informasi terbaru dalam pelayanan pajak guna meningkatkan kualitas layanan dan efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak sudah mengeluarkan sistem administrasi perpajakan yang memanfaatkan teknologi yaitu e-System atau Electronic System sejak tahun 2005. Sistem elektronik untuk administrasi pajak tersebut diantaranya adalah e-Registration, e-Filling, e-SPT, dan e-Billing. Modernisasi teknologi tersebut merupakan proses revolusi 4.0 yang diyakini akan menjadi salah satu pilar penting dari reformasi perpajakan karena akan bermanfaat sebagai upaya peningkatan tax ratio, penghindaran dan penggelapan pajak, serta mendorong kepatuhan wajib pajak di tengah pandemi. Harapannya, reformasi perpajakan di tengah pandemi dapat bersinergi dalam memutus rantai penyebaran Covid-19.

Advertisement

Milenial dan Alfa ibarat generasi multitasking yang sudah biasa melakukan kegiatan dan mengeksekusi secara bersamaan hanya dengan bantuan teknologi. Perkembangan teknologi telah menghubungkan dunia tanpa batas sehingga menghasilkan generasi  yang berpikir dan bertindak secara entrepreneur, bahkan sebatas scrolling media sosial.

Tentu hal itu menjadi persoalan tantangan reformasi perpajakan bagi Direktorat Jenderal Pajak, baik secara internal maupun eksternal. Memang tidak mudah, karena perubahan undang-undang dan aturan turunannya (melalui proses birokrasi yang panjang) tidak serta merta mengakomodasi kecepatan teknologi dan perubahan zaman. Padahal, keterlambatan sepersekian detik dalam berakselerasi akan menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan sekian miliar rupiah. Namun, Direktorat Jenderal Pajak masih mampu berlari mengejar ketertinggalan jika tidak ingin kehilangan banyak rupiah untuk menyokong keuangan negara.

Sebagai Agent of Change, Milenial dan Alfa memiliki peranan penting terhadap reformasi digitalisasi terutama di bidang perpajakan. Terutama dimulai dari gerakan mahasiswa sebagai bagian dari kalagan akademisi untuk mengubah pola pikir masyarakat dari yang ‘bayar pajak untuk apa?’ menjadi ‘bangga bayar pajak’. Apalagi, di tengah peliknya situasi pandemi, masyarakat semakin enggan terhadap kepatuhan wajib pajak dan juga malas bahkan takut untuk datang ke kantor pajak. Disinilah peran mahasiswa dibutuhkan untuk menjadi jembatan yang dapat bersinergi dengan digitalisasi antara Direktorat Jenderal Pajak dengan masyarakat. Harapannya, Milenial dan Alfa terutama yang masih berstatus mahasiwa bukan hanya menjadi Agent of Change, tetapi juga dapat berperan sebagai Agent of Information dengan memanfaatkan sosial media dalam proses detail penggalian potensi pajak. Dengan demikian, pundak Milenial dan Alfa dapat bersinergi terhadap reformasi digitalisasi perpajakan sebagai Future Tax Payer demi pembangunan nasional dan revolusi ekonomi digital di era 4.0.

“If you don’t care about your country, never expect other people care about your country. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya” – Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI).

Reformasi pajak sudah dimulai sejak tahun 1983 dan telah menjadi bukti sejarah peradaban manusia yang menjadi perhatian dan kajian akademisi dan praktisi. Sejarah pun membuktikan mahasiswa memegang peranan penting untuk kebangkitan negara ini yang dimulai tahun 1908 masa Budi Utomo, tahun 1928 saat sumpah pemuda hingga saat orde reformasi tahun 1998.

Jika dahulu pemuda berjuang dengan mengangkat senjata, sekarang menjadi patriot pajak dan membayar pajak merupakan salah satu wujud bela negara. Oleh sebab itu, diskusi persoalan pajak memang menarik karena pajak terkait berbagai aspek kehidupan manusia bahkan tali sambung kehidupan negara atas dasar cita-cita luhur bangsa di masa yang akan datang. Tentu kepatuhan menjadi poin keberhasilan dalam pemungutan pajak.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Syah Rani Azura, penulis berstatus mahasiswi Fakultas Ekonomi Prodi Akuntansi, UMRAH