#UpgradeDirimu: Berbagi Asa Pendidikan dengan Anak Pinggiran

Pada akhirnya kami sadari bahwa berjuang di jalan pendidikan adalah perjuangan seumur hidup.

Waktu itu memasuki hari ketujuh bulan ramadan tahun ini, saya bersama ketiga orang teman saya memutuskan untuk pergi ke emperan dekat Stasiun Tugu Yogyakarta sehabis tarwih. Maksud kami ke situ mulanya adalah untuk mencari tempat baru untuk sekedar ngopi dan ngobrol sembari menyegarkan diri sehabis seharian berkutat dengan tugas yang berjubel di akhir semester genap perkuliahan kami. Sesampainya di lokasi yang telah kami sepakati, kami pun menggelar matras hitam, membuka cooking set dan kompor portable, kemudian memanaskan air untuk menjerang kopi ijo yang dibawakan oleh salah satu teman saya yang katanya adalah kopi khas dari Tulungagung.

Advertisement

Kopi dengan aroma unik mirip dedaunan dengan rasa yang agak langu namun juga sedikit gurih kami cecap sambil menikmati riuh rendah suasana malam pinggiran Kota Jogja sembari beberapa menit sekali terdengar suara kereta melaju. Syahdunya bukan main.

Selang tak begitu lama, ada dua anak kecil seumuran anak-anak kelas satu SD perlahan berjalan ke arah kami. Mereka tampak asyik bermain dengan potongan pipa pralon kecil agak panjang dengan plastik dan kertas terbakar di ujungnya. Tiap kali api hampir padam, mereka menambahkan plastik atau kertas koran untuk kemudian dibakar lagi dan dimain-mainkan dengan potongan pipa pralon tersebut. Awalnya kami tak acuh saja dengan mereka. Namun melihat mereka kian asyik bermain, kian kami tidak tahan untuk tidak mencoba berinteraksi dengan mereka.

Salah satu teman saya ada yang mencoba memanggil mereka untuk diajak ngobrol. Namun, respon mereka sama sekali sangat membuat kami kaget. Bagaimana tidak, kata yang keluar dari mulut-mulut mungil itu adalah kata-kata umpatan, kata-kata makian, serta beragam sebutan organ reproduksi manusia serta nama-nama hewan berkaki empat.

Advertisement

Pun begitu kaget kami tidak bertahan lama. kami langsung berpikir bahwa, tak ayal kalau dua anak kecil yang berkeliaran di jalanan pada jam sembilan malam lebih tanpa didampingi orang tua dan bermain dengan benda yang berbahaya, mampu berkata-keta seperti itu. Hal pertama yang kami simpulkan, kedua anak tersebut berperilaku seperti demikian pasti karena pengaruh lingkungan, baik keluarga maupun kondisi sosial sekitar mereka yang memang kurang baik dan kondusif.

Karena rasa tidak tega kami melihat generasi penerus bangsa seperti itu, kami berusaha untuk merangkul mereka. Dari perkenalan yang tidak terlalu panjang, kami tahu nama kedua anak tersebut adalah Riska dan Riski. Informasi lain yang tidak kalah penting adalah mereka bukan anak jalanan. Mereka punya rumah dan masih punya orang tua, sehingga secara tidak langsung membenarkan kesimpulan kami sebelumnya. Kedua anak tersebut menurut kami adalah "anak pinggiran". Maksud dari sebutan tersebut adalah anak-anak yang dilihat dari struktur keruangan kota, tingga di daerah peri urban atau daerah pinggiran kota.

Advertisement

Setelah dirasa sudah lumayan akrab dan keduanya mau mendekat untuk duduk bersama, kami pun coba tes keterampilan baca tulis mereka dengan alat sederhana berupa kertas dan bulpen. Mula-mulanya kami minta mereka untuk menuliskan nama mereka menggunakan huruf kapital. Dari kedua anak tersebut, Riska dapat menuliskan namanya walaupun ada huruf lain yang kurang dia kenali. Sedangkan Riski, satu huruf kapital pun sama sekali dia tidak dapat mengenali. Apalagi sampai menuliskan namanya sendiri. Dari hasil tes sederhana tersebut, kami ketahui bahwasanya keterampilan paling fondasi, yakni baca tulis belum benar-benar mereka kuasai di usia mereka yang sekitar enam sampai tujuh tahun.

Seketika, muncul hasrat dari masing-masing kami untuk mengajar mereka (mau memakai redaksi mendidik, tapi rasa-rasanya terlalu muluk). Entah itu karena sebagai bagian dari tanggung jawab moril kami sebagai mahasiswa jurusan pendidikan ataupun memang karena murni keinginan kami untuk berbagi. Bermodalkan media seadanya, kami ajak mereka untuk mengenal huruf-huruf alfabet. Lengkap dari cara melafalkannya sampai menuliskannya.

Kedua anak tersebut pun menyambut ajakan kami dengan antusias. Namun begitu, mengajar anak-anak untuk baca tulis dari nol di usia mereka ternyata bukan hal yang mudah. Dalam praktiknya kami dipaksa untuk bertarung dengan ego dan emosi kami sendiri. Betapa tidak merasa begitu, Riski malah membakar kertas yang di dalamnya telah kami tuliskan beberapa huruf alfabet yang kemudian kami minta dia untuk menyalinnya juga di kertas tersebut. Akan tetapi, bukan calon pendidik namanya kalau mendapati hal begitu, kami tidak bisa meredam emosi kami.

Karena gayung telah bersambut, maka tidak ada kata mundur bagi kami hanya karena mendapati berbagai kendala untuk berbagi. Beragam siasat pun kami cobai. Untungnya, Riska lebih mudah untuk diajak berkeja sama. Di kertas yang kami berikan, dia menggambar sesukanya. Walaupun secara teknis tujuan kami untuk mengenalkan dia kepada huruf alfabet gagal, paling tidak dia dapat menuangkan imajinasinya lewat media yang sangat sederhana sekalipun.

Toh itu juga baru benar-benar pertama kali kami mencoba mengajar anak-anak seperti mereka. Dari satu malam yang kami rasa begitu panjang tersebut, kami mendapat banyak sekali pelajaran yang begitu berharga. Mulai dari mengeksplorasi metode mengajar yang tepat, memikirkan media apa yang sekiranya mampu menarik minat mereka, sampai cara kami memposisikan diri dan mengolah ego serta emosi kami dalam menghadapi anak-anak seperti mereka.

Pada akhirnya kami sadari bahwa berjuang di jalan pendidikan adalah perjuangan seumur hidup. Ketika malam itu jam digital di handphone saya sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB, kami katakan kepada Riska dan Riski untuk menyudahi agenda kami dan meminta mereka untuk pulang karena sudah terlalu larut dengan pesan berisi janji di dalamnya, bahwa kami akan kembali menunggu mereka di tempat yang sama dan dengan membawa buku-buku untuk mereka.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang yang sedang mencari makna pendidikan. Berharap kelak dapat menjadi salah satu pendidik yang benar-benar bisa menjadi garda depan pencerdas kehidupan bangsa