Mengapa begitu sulit untuk melangkah pergi darimu? Mengapa begitu mudah untuk tetap menyakiti diriku sendiri?
Banyak yang tak kupahami mengenai dirimu. Begitu banyak yang mengganjal di hati perihal perasaanmu padaku. Apa aku begitu naif sebab tak bisa mengartikan semua perlakuanmu itu yang sebetulnya menunjukkan rasamu padaku? Tapi aku tak merasa begitu. Aku merasa, kamu hanya ingin semua ini berjalan begitu saja tanpa ada tujuan berarti. Hanya sekadar mengisi waktu luangmu dan bukan meluangkan waktumu untukku. Jangan salahkan aku yang berpikiran seperti itu. Karena kerap kali kutanyakan, jawabanmu semu. Atau barangkali memang tak ada jawabannya?
Semua ini semakin membuatku gila karena tingkahmu yang tak pasti. Aku menertawakan kebodohanku yang hidup didalam angan-angan yang kubuat sendiri. Aku pernah bertanya padamu, bagaimana bila ada orang lain yang mempertanyakan statusmu? Jawabanmu, kamu tak memiliki hubungan dengan siapa pun.
Maka untuk apa semua panggilan sayang itu? Untuk apa kamu berkata lembut dan menenangkanku saat aku menangis? Seolah memeluk ragaku begitu erat. Seolah kamu tak ingin melepasku pergi. Padahal bagimu aku hanya teman dekat. Teman dekat yang berpotensi menjadi pasangan hidupmu kelak. Apa aku bahagia mendengar kalimat itu? Tidak. Itu semakin membunuhku sebab anganku padamu semakin besar. Harapan-harapan itu semakin menjadi bola salju yang akan segera menabrakku dan menjatuhkanku.
Salahku memang. Salahku yang begitu mencintaimu. Walau sebetulnya aku tahu kamu membangun pembatas yang tak bisa kulalui sama sekali. Salahku yang masih tetap berdiri menunggu kamu membuka benteng tebalmu itu.
Sebetulnya, aku tahu sejak awal ketika aku memutuskan untuk menetapkan rasaku padamu. Ini akan sulit, akan begitu sulit. Tapi semakin kucoba untuk gapai, aku semakin melihat kamu yang jauh tertinggal dibawah sana. Lalu sebetulnya apa yang ada di depan sana sementara kamu berada di belakangku?
Bagian paling menyakitkannya adalah ketika kudengar ceritamu tentang kisah lampau yang pernah kamu lalui bersama orang lain, yang bahkan ada beberapa bagian dari diri kami yang serupa. Mengapa aku tak bisa merasakan kamu yang seperti itu, ya? Â Yang begitu berupaya untuk hubungan yang kamu jalani. Oh iya, kita tidak ada hubungan, ya? Aku lupa. Maaf.
Sejatinya, aku ingin berhenti. Aku ingin berhenti terlihat konyol. Begitu antusias terhadap semuanya sementara kamu terkesan biasa saja. Walau kuakui, hatiku menghangat tiap kali kamu berkata, kamu menyayangiku. Aku hargai usahamu untuk berusaha menenangkanku ketika aku tantrum, gangguan panikku datang, dan mendengarkanku dengan baik.
Tapi untuk apa aku menuliskan panjang lebar seperti ini ya? Toh, mungkin kamu akan baik-baik saja. Entah ada atau tiadanya aku, kamu tetap menjalani hari-harimu seperti biasa. Kamu akan tetap menjadi dirimu yang begitu karena bukan aku yang kamu inginkan.Tetap mempertahankan tembok pembatas yang kamu bangun untuk siapa pun. Kalau kamu tanya sebenarnya apa yang kupinta setelah aku menuliskan ini semua, sebetulnya tak begitu sulit.
Aku hanya ingin kamu memberi kepastian terhadap apa yang sebenarnya kita jalani ini. Kemana tujuannya? Apa dirimu dan hatimu masih belum yakin untuk membangun harapan yang mati itu bersamaku? Apa kamu menginginkan aku untuk mendampingimu disisa waktu hidup atau sekadar menjalani apa yang ada?
Maaf kalau aku terlalu bodoh, tak mampu menerjemahkan apa yang kamu beri. Maaf aku begitu memaksa untuk kamu memberi pengakuan bahwa kamu memang benar mencintaiku. Apa semua yang kulakukan tidak akan sia-sia? Setelah aku sekuat tenaga menahan egoku dan menjaga hatiku, apa kalimatmu tentang kita yang akan menjadi ‘sesuatu’ suatu hari nanti itu benar adanya?
Karena … aku tak mau buang-buang waktu lagi. Aku ingin hidup bersama orang yang kucintai dan mencintaiku juga. Yang ia juga menginginkanku untuk menjadi pasangan hidupnya. Bukan hanya sekedar memperbolehkan tanpa adanya hasrat untuk bersama.
Terlepas dari itu, kuakui aku bahagia tiap mendengar tawa dan candamu. Tapi untuk sekarang dan kedepannya, aku takkan memaksamu lagi. Mungkin memang aku yang belum terbiasa. Mungkin memang kamu begitu adanya. Aku yang masih perlu belajar menerimamu. Belajar mencintaimu sebagaimana kamu adanya. Dan tak menuntutmu untuk melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang bisa kamu beri. Maaf, ya.
Tak perlu berusaha apa pun lagi. Tak perlu memaksakan diri.Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku tidak sedih. Tapi yang kurasakan, lebih dari itu. Dan bila perlu, tanyakan dan yakinkan lagi  hatimu. Apa benar kamu mencintaiku?
Terima kasih karena telah berusaha memahami. Dariku, raga utuh yang belum pernah kamu sentuh.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”