Masih segar di ingatanku, tentang seseorang lelaki yang datang kepadaku dengan kisah sedihnya bak burung camar yang sayapnya tertompak tajam dan tak sanggup terbang. Dengan wajah yang seakan berkata padaku untuk melindunginya karena ia takut menghadapi dunia yang menghianatinya. Dengan air mata yang tertahan di matanya membuat aku ingin menghapus setiap lukanya.
Aku membukakan jalan ketika ia hendak ada di sisiku, melindunginya atas segala luka yang masih saja menghampirinya. Aku ingin menjadi Rumah yang membuatnya tidak takut lagi menghadapi dunia. Tanpa aku sadari, aku mengabaikan bahwa sekuat apapun aku menggenggamnya dalam hatiku, kelak dia akan pergi juga.
Sebentar saja, itulah kata yang selalu ada dibenakku ketika ia di sisiku. Aku masih ingin melihatnya mampu terbang kembali sebelum aku melepaskannya. Aku ingin melihatnya sekali ini saja sebelum ia mengepakkan sayapnya kembali.
Pada kenyataannya, kata itulah yang membawaku pada jurang dalam dan gelap. Si burung camar ingin terbang lebih tinggi seperti yang aku takutkan. Belum siap aku melepaskannya, tapi ia tetap ingin terbang jua. Ia pergi dengan segala apa yang ia pikirkan tentang mimpinya, seakan ia lupa tentang segala rasa sakit saat awal kami dipertemukan.
Tahun berganti tahun, lelaki itu tak kunjung datang. Aku menunggunya dengan harapan bahwa ia akan mewujudkan segala dongeng yang telah aku buat. namun, tak ada satupun kabar darinya. Dia menghilang dan aku terjebak dengan rasa sakitku.
Aku terbangun di malam buta hanya untuk mengkhawatirkan apa yang terjadi padanya. Aku ketakutan setiap detik dengan hal hal buruk yang mungkin saja terjadi padanya. Aku dihantui ketakutan tentang apa yang terjadi padanya hingga aku melupakan diriku sendiri.
Namun angin membawaku pada sebuah kabar bahwa dia dalam keadaan baik baik saja. Dia bak panglima siap berperang dan tidak merasa ketakutan atas apapun. Burung camar itu telah berubah menjadi Rajawali yang menatap tajam dunia. Aku terluka, atas apa yang seharusnya tidak membuatku terluka. Kenyataan bahwa kau bisa saja kembali padaku, namun kau memilih memalingkan pandanganmu dariku dan menganggap rendah aku. Â
Aku terlalu bodoh dengan menunggu seseorang yang tak pernah memintaku menunggunya. Aku terlalu naif menganggap segala bualannya adalah janji yang akan terpenuhi. Seandainya dulu aku meninggalkannya walaupun dia memohon untuk aku berada di sisinya.Â
Aku berusaha merajut kembali duniaku, dunia yang telah ia rampas dariku. Aku membaca begitu banyak hal tentang cinta, bahwa puncak cinta tertinggi adalah melepaskannya pergi. Batinku berontak. Jika melepaskan adalah cinta sejati maka tak ada satupun pasangan yang mendapatkan cinta sejatinya. Aku begitu marah dengan banyak hal. Aku kehilangannya, kehilangan semua tentang dia. Dia telah pergi dan tak mungkin kembali. Apakah dia yang berubah atau aku yang tak mengenalmu lebih dalam sejak awal?
Begitu kejamnya masa lalu mendidikku, aku ketakutan untuk memulai segalanya yang baru. Ketakutan untuk ditinggalkan dan di buang sekali lagi. Kengerian untuk percaya lagi. Aku hampir menghabisi masa mudaku untuk menangisi rasa sakit yang tak jua sembuh. Kamu begitu mengutuknya atas waktu yang kubuang sia sia.
Aku tak ingin berkata bahwa kau adalah kesalahan terbaikku. Kesalahan tetaplah kesalahan dan kau adalah satu satunya hal yang kusesali dalam hidupku. Mari kita tidak bertemu di kehidupan selanjutnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”