Untuk Kita yang Kadung Saling Mencinta; Sebelum Perbedaan Keyakinan Terlanjur Mencabik, Mari Saling Menjauh

Layaknya sebuah pertandingan. Pasti ada yang menang dan kalah. Ada yang bahagia dan sedih. Ada pula yang melukai dan dilukai. Segala yang ada didunia ini sudah lazimnya diciptakan berpasangan. Begitu pula dengan kita. Aku dan kau. Kita terjebak dalam sebuah cerita yang entah bagaimana awal mulanya. Namun, yang aku pahami pasti. Dalam kisah ini tak ada yang melukai dan dilukai. Kita sama-sama telah terluka.

Advertisement

Perkenalan kita adalah ketidakmungkinan yang menjadi nyata. Meski pada awalnya aku tak menyapamu sepenuh hati

Kau tahu pada awalnya kita sama sekali tak saling mengenal. Nyaris tak ada peluang yang memungkinkan kita untuk saling kenal. Kita tak pernah satu lingkungan tempat tinggal. Kau juga bukan kakak angkatan atau adik angkatanku. Bahkan tak ada satu pun temanku yang mengenalmu. Namun, Tuhan telah menggariskan cara yang demikian sempurna untuk perkenalan kita. Salah satu sepupu memperkenalkanku padamu.

Aku mencoba menyapamu lewat salah satu sosial media yang kau miliki. Tentu saja Setelah sepupuku menceritakan kau sebagai laki-laki baik. Lengkap dengan embel-embel pekerja keras dan bertanggung jawab. Tak ada niat apapun sebenarnya. Aku hanya tak enak hati bila harus menolak permintaan sepupuku itu. Toh, tak ada salahnya juga mencoba berteman denganmu. Begitu pikirku saat itu. Dingin, itu kesan pertama yang ku tangkap darimu. Kau acuh tak acuh padaku. Walaupun begitu kau tetep membalas pesan yang ku kirimkan padamu.

Advertisement

Tak bisa dipungkiri kau memang sosok menyenangkan yang tahu betul cara membuat perempuan merasa nyaman

Aku tak lantas menyerah. Paling tidak dengan berhasil menjalin pertemanan denganmu aku berhasil menyenangkan hati sepupuku, begitu pertimbanganku saat itu. Nyatanya, hasil yang didapatkan memang berbanding lurus dengan yang kita lakukan. Kau mulai luluh. Aku mulai mengenalmu sebagai sosok yang hangat.

Advertisement

Hingga suatu hari, pertemuan pertama itu kita rencanakan. Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama itu. Namun, ada satu hal yang membuatnya jadi spesial. Hari itu kau mengantarku hingga rumah. Bahkan kau juga tak segan mengobrol lama dengan kedua orangtuaku. Aku hanya terbengong melihat tingkahmu. Heran sekaligus bertanya-tanya. Namun, aku akui, aku bahagia mendapat perlakukan seperti itu.

Kau mulai gemar berbagi cerita denganku. Membuka sisi manusiawi dirimu. Nyatanya kau memang sosok pejuang hidup yang tangguh

Kita semakin dekat. Kau tak lagi segan bercerita tentang lembar masa lalumu yang tak bisa dibilang indah. Ya, kau dibesarkan tanpa kasih sayang orang tuamu. Ibumu meninggal saat berjuang melahirkanmu. Semenjak itu Ayahmu menikah lagi dan tak pernah menemuimu sekalipun. Aku tahu, hidupmu sarat perjuangan. Namun, setidaknya kau telah tumbuh menjadi sosok tegar. Bukankah tak seharusnya kita menyesali hal yang diluar kemampuan kita?

Tak perlu waktu lama, kau berhasil merebut hatiku. Selamat, aku telah jatuh cinta padamu!

Aku mulai menaruh simpati padamu. Nyatanya aku segera jatuh hati. Kau dengan segala kelembutan dan perhatian yang membuatku leleh. Walaupun kadang aku harus terkikik pelan dalam hati saat melihat kau bersikeras tak mengijinkanku kelur malam sendiri. Tentu saja itu tak menjadi masalah bagiku. Karena kau tak pernah membiarkan egomu menyakitiku.

Kau selalu berusaha melibatkanku dalam acara keluargamu. Lengkap dengan fasilitas antar jemput yang mumpuni. Wanita mana yang tak tersanjung diperlakukan seperti itu. Aku memahami, walaupun tak sekali pun kau tidak pernah mengatakan secara langsung tentang perasaanmu, kau menyimpan cinta di kedalaman hati.

Sikapmu berubah drastis, kau menjauhiku. Apa salahku padamu?

Hingga pada suatu sore yang redup. Ada yang terasa berbeda. Kau mulai menjauhiku. Kau tak mau lagi menerima teleponku. Bahkan pada akhirnya rekan kerjamu yang mengangkat teleponku. Memberi alasan bahwa kau tengah berkutat dengan tumpukan pekerjaan. Aku terdiam kelu. Apa salahku padamu? Beribu prasangka berkecamuk.

Cinta yang seharusnya tak pernah salah jadi satu-satunya alasan untuk semua ini

Aku berusaha mencari jawaban. Melalui jasa seorang pamanmu yang dulu sempat kau kenalkan padaku aku memperoleh jawaban. Kau menjauhiku karena kau mencintaiku. Ya, karena kau mencintaiku! Cinta itu memang nyata adanya, walaupun tak sekalipun terungkap. Kau hanya tak mau terjebak pada rasa cinta yang begitu dalam kemudian hanya akan menyakitimu. Karena pada akhirnya, kita terbentur pada perbedaan yang mungkin tidak bisa dikompromikan lagi.

Cinta yang seharusnya menjadi pengikat aku dan kau, nyatanya tumbuh menjadi bumerang. Kita telah sama-sama dewasa. Sama-sama telah memahami apa yang akan terjadi bila kita tetap memaksakan hubungan ini. Mau tak mau kita harus mengakui, Cinta itu memang terbelenggu.

Bukannya aku segan berjuang. Bagiku agama adalah hal sakral yang tak layak diotak-atik

Ya, aku dan kau memang berbeda keyakinan. Jurang yang besar memisahkan kita. Perbedaan yang kemudian menjadi belenggu tajam. Sekalipun aku dan kau telah saling mengenal keluarga masing-masing, bukan berarti mereka merestui begitu kita akan melangkah menuju jenjang lebih serius.

Aku dan kau memang sama-sama telah menyadari perbedaan ini sedari awal berkenalan. Namun saat itu kita hanya dua orang anak manusia yang mungkin tengah di mabuk cinta. Mencoba menutup mata pada realita menyakitkan yang mmenjadi batu besar penghalang hubungan kita. Tak mau tahu dengan perbedaan itu. Kini, perbedaan itu memang telah menancapkan taringnya.

Mau tak mau kita harus mengakui, saling menjauh adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Aku hanya tak rela bila kau harus merasakan sakit yang kelewat perih

Mungkin lebih baik memang seperti ini. Kita sama-sama menjauh. Sama-sama menahan diri untuk tidak mengungkapkan cinta itu. Sebelum semuanya menjadi terlanjur. Sebelum cinta itu tertanam jauh, bukankah dia hanya akan menyisakan lubang dan luka begitu harus tercerabut dengan paksa?

Selagi cinta belum menjalar terlalu dalam, lebih baik memang begini

Mungkin akan lebih baik bila kita sama-sama menjauh. Bukan kerena aku membencimu. Tapi ini adalah pilihan terbaik untuk kita. Agar kelak tak ada luka yang terlalu dalam, Agar suatu saat kita masih bisa sama-sama saling menyapa dengan hati yang lebih baik. Itu saja.

Mungkin suatu hari nanti kita bisa menjadi teman baik. Saling memuji pasangan masing-masing dengan hati ikhlas. Tentu bukan sekarang. Tenang saja!

Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu Sayang, selamat tinggal!

Pada akhirnya terima kasih pernah membuatku merasa nyaman disisimu. Aku tahu betul, kita sama-sama terluka. Semoga kelak, ada sosok yang mampu memberikan kebahagiaan nyata untukmu. Selamat tinggal!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat hujan dan senja