Untuk Kesekian Kalinya, Aku (Tetap) Tidak Bisa Berlebaran dengan Keluarga

Terkenang saat ini, saat dimana sekitarku bersama mereka yang dikasih. Bukan. Maksudku bukan bersama pasangan mereka. Tapi ada hal yang jauh dari itu, yaitu bersama keluarga mereka. Saat dimana mereka bisa berkumpul bersama keluarga, yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan mungkin saja saudara sekandung mereka.

Advertisement

Kemudian menyantap hidangan berbuka puasa dengan penuh tawa dan kegembiraan. Bahkan mungkin saja ajakan untuk menambah porsi terdengar sering kali namun tetap mampu memecah tiap hening yang terjadi sekian detik. Iya, aku terkenang akan banyak hal tersebut.

Bagiku, keluarga seperti cabang pada pohon. Kita tumbuh dan berkembang pada arah yang berbeda. Tapi, kita tetap memiliki satu akar yang sama.

Saat ini, izinkan aku mengenang masa lalu. Di suasana menjelang lebaran, aku ingat sekali saat Ayah dan Ibuku, juga dengan Kakak, serta Adik-adikku, bersamaku yang saat itu masih kecil, untuk pergi berbelanja di mal. Betapa gembiranya aku saat itu. Tergambar sudah apa-apa yang akan aku miliki setelah pulang dari mal: Beberapa baju dan celana, serta sepasang sepatu ataupun sandal.

Advertisement

Juga, aku ingat betul saat dibelikan mobil remote control sebagai hadiah karena aku sebulan penuh berpuasa. Hadiah yang saat itu adalah termasuk keren dan hebat. Terlebih lagi, kumainkan dengan pakaian baru. Benar-benar sebuah kesenangan untuk aku yang masih kecil kala itu.

Tak lupa juga, hidangan di hari lebaran melekat di pikiranku. Ketupat, opor ayam, dan sebagainya, begitu nikmat aku santap bersama keluarga. Kadang kala aku yang memotong ketupatnya. Tak jarang juga Ayah atau Ibu yang memberikan potongan-potongan ketupat. Dan dalam perut yang kekenyangan, aku masih merasakan yang namanya nikmat kebersamaan dengan keluarga.

Advertisement

Keluarga, adalah tempat dimana kehidupan bermula, dan tempat untuk cinta yang tak akan pernah berakhir.

Hari demi hari. Bulan ke bulan. Hingga tiap tahun berganti. Usiaku kian bertambah. Hal itu membuatku kehilangan beberapa jatah pasang baju dan celana, yang dialihkan pada adik-adikku. Aku tidak kecewa. Sebab begitulah proses yang terjadi pada kakakku dulu. Ada hal lain yang juga memberikan kesenangan dari bertambahnya usia, yaitu bertambahnya jatah uang di hari raya.

Lalu, aku tiba di titik ini. Titik dimana aku harus berpisah dengan keluarga. Hal itu membuatku harus berlebaran tidak bersama keluarga, melainkan dengan diri sendiri. Bagiku, tidak ada hal yang jauh lebih nikmat ketimbang berlebaran bersama keluarga. Begitu jugakah bagimu?

Bukanlah keinginanku untuk tidak berlebaran bersama keluarga. Bukan juga ketidakinginan keluarga untuk membuatku hadir bersama mereka. Bukan itu semua. Sebab ada sesuatu yang memang tidak bisa dipaksakan. Dan jarak ini, memberiku arti bahwa rindu itu adalah hal yang mutlak pada keluarga.

Sebab keluargalah yang membuatku tetap percaya, bahwa masih ada cinta yang tulus dan sejati di dunia ini.

Jutaan cerita di masa lalu tersebut, membuatku sedikit mengenang di tanah rantau ini. Tak hanya cerita soal kebahagian, melainkan juga perihal kesedihan, dan memilukan. Aku belajar banyak hal dari kenangan tersebut. Aku yakin, cerita masa kecil, memberikan kekuatan pada diri sendiri di masa kini.

Waktu ini, paling tidak aku belajar untuk mencintai bijaksana. Masa kecilku manis, dan itulah alasan kenapa aku harus bisa tersenyum bahagia untuk saat ini, dan seterusnya. Namun, aku juga punya sisi pahit dalam masa kecil, dan itulah alasanku untuk memaniskan masa depanku.

Aku yakin, masih ada jutaan cerita yang akan tertulis di masa depan. Dan kuharap, di dalam jutaan cerita tersebut, masih ada kesempatanku untuk bisa bersama keluarga, kemudian menikmati hidup di ujung waktu. Meski ragaku tak terlihat oleh keluarga, tapi kuharap, satu hal ini bisa tersampaikan dan melekat dalam hati keluarga.

“Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik-adik, meski aku tidak bisa hadir di sana, tak pernah kubosan untuk mendoakan kalian di tiap waktu. Semoga masih ada waktu untuk kita bisa bersama lagi di masa yang akan datang. Salamku untuk semuanya, dan mohon maaf lahir maupun batin."

Keluargaku bukanlah keluarga terhebat di dunia. Tapi aku yakin, keluargaku adalah keluarga yang tepat untukku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Universitas Mataram | Penggemar Manchester United | Aktif di Twitter | Penulis Buku: Jomblo Ngoceh

32 Comments

  1. Robby Arzon berkata:

    Untuk kedua kalinya;(

  2. Ngg bisa diungkap kan dg kata2,airmata terus mengalir..

  3. Yatini Al berkata:

    Nasib anak rantau…yg jauh dr tnh air…

  4. Amie Rdj berkata:

    ughh.. �