Ibu..Ayah.
Inikah kabar penting yang ingin kau sampaikan pada kami ? Bukan berita ini yang ingin kami dengar.Bukan keputusan ini yang kami harapkan.
Sulit bagi kami untuk menentang keputusan kalian.Dengan alibi usia kami yang sudah dewasa semakin membulatkan tekad kalian untuk mengakhir pernikahan yang telah dijalani lebih dari duapuluh tahun lamanya.Dengan alasan ‘tidak ada keharmonisan’,tidak ada kecocokan lagi ‘ kalian mengakhirinya.Pasrah.Kami tak tahu harus berkata apa malam itu saat kalian dengan yakinnya meminta “restu” kami untuk berpisah.
‘Restu’ ? Ya sebuah restu kalau kalian ingin berpisah secara baik-baik.Bukahkah itu lucu ? Apa kalian kira mudah bagi kami menerima semuanya ?
Untuk apa izin kami,jika akhirnya kalian telah menyimpulkan sendiri akhirnya.
Untuk orangtua ku..
Kami tak bisa berkata apa.Usia kami memang dewasa namun untuk masalah ini kami tak bisa berbuat apa-apa.Disisi lain bagi kami ini mungkin yang terbaik untuk kalian.Sangat menyedihkan setiap hari kudengar keributan.Rasa lelahku sepulang kerja harus berkali lipat bertambah dengan ‘percekcokkan’ yang aku sendiri tak tahu kapan selesainya ?
Namun disisi lain ada kepahitan yang harus kami pendam.Ada luka yang berusaha kami tutupi.
Ibu Ayah..awalnya kami memaklumi pertengkaran ‘kecil’ yang sering kalian ‘pertontonkan’ .Setiap hubungan pasti melewati fase ini sungguh awalnya kami mengira ini baik-baik saja.Tak terlintas sedikit pun dari perdebatan panjang hampir disetiap waktu itu akan menjadi episode-episode terakhir yang memilukan.Dan tak pernah kami kira akhirnya begini……
Masih adakah cinta ?
Ibu ..Ayah begitu sulitkah menjalani kehidupan pernikahan ? Meski telah berpuluh tahun melewati susah senang bersama ?
Aku tidak tidak tahu rasanya berada diposisi kalian.Aku tidak tahu sesulit apa masalah yang kalian hadapi.Kami hanya bisa mendengar dan melihat.Usaha yang kami lakukan pun sia-sia.Tidak mengubah keadaan jadi lebih baik.
Kami berharap masih ada keping-keping harapan bagi kami ,untuk melihat kita tertawa bergurau bersama menikmati kebersamaan sebagai keluarga.
Kami ingin melihat kalian menua bersama dalam satu ikatan.Jadi panutan untuk putri-putrimu kelak.
Ibu ..Ayah sebelum memutuskan ‘kesimpulan’ ini pernahkah kalian menanyakan perasaan kami,putri-putrimu ?
Perasaan aku dan kakak setiap melihat ‘keributan’ kalian.Ketakutan dan kecemasan kami melebur seperti ombak yang menghanyutkan.Pernahkah sembari kalian sibuk antara ‘bercerai’ atau ‘tetap melanjutkan pernikahan” terbesit pemikiran tentang masa depan kami.Untuk kakak mungkin dia tak kesulitan melewati masalah ini,ada suami tempatnya mengadu ada putri mungil yang bisa menghibur saat dia sedih.Tapi ntah lah mungkin tawanya hanya untuk menyamarkan luka sama sepertiku.
Ibu Ayah aku tak siap…
Putri bungsumu yang masih satu atap bersama kalian ini.Yang selalu menjadi saksi disetiap ‘ketegangan’ kalian.Yang hanya bisa diam membisu mengunci diri didalam kamar.Menahan tangis dengan mulut tertutup tanpa bersuara.Sangat menyakitkan.
Trauma.Mungkin itulah kata yang bisa aku sebutkan sebagai hasil dari sebuah perceraian.
Ibu Ayah…putri bungsumu selalu merasa takut untuk memulai sebuah hubungan yang serius dengan lawan jenis.Ini juga bisa jadi jawaban untuk kalian yang terus menanyakan kapan aku menikah ? Sejak perceraian kalian delapan bulan lalu aku harus menjadi kuat untuk diriku sendiri.Sejak hari itu aku memutuskan untuk memilih sendiri.Aku tidak terbiasa bu ayah tidak melihat satu diantara kalian dirumah.Selama duapuluh satu tahun aku terbiasa melihat kalian bersama.Memaparkan setiap kejadian yang kualami disetiap harinya kepada kalian.Aku tidak terbiasa dengan suasana meja makan yang sepi tak ada ‘bawelan ‘ ayah yang protes dengan masakan yang terkadang keasinan.Aku merindukan moment saat kalian berebut remote televesi,saat ayah ingin menonton acara berita favoritnya dan ibu yang ingin menonton sinetron.Hah..nafasku sesak membayangkan moment kecil kebersamaan kita dulu.Ya.Dulu.
Ibu..Ayah
Keputusan kalian.Sangat melukaiku.
Pernikahan bukan sesuatu yang harus ku ‘segerakan’.Aku mengubur rasa takut akan perpisahan dengan kesibukkan,kerja kerja kerja.Rutinitas yang menyita banyak waktuku.
Aku takut untuk memulai sebuah komitmen dengan seorang laki-laki jika pada akhirnya hanya meninggalkan sebuah kenangan yang menyedihkan.Jika pada akhirnya hanya melukai anak-anak ku kelak.
Ibu Ayah
Aku baru saja mengakhiri sebuah hubungan yang telah lama ku jalanin.Saat dia memintaku untuk menjadi teman dalam hidupnya.Bukannya menangis atau terharu dengan lamarannya.Aku malah membalas dengan ekspresi yang tak diharapkan.
Aku menolak lamaran dari calon menantu kalian.Aku belum siap untuk membangun sebuah rumah tangga.
Perceraian kalian selalu terbayang saat aku mencoba memikirkan kehidupan pernikahan.Berapa tahun pernikahanku akan bertahan tiga tahun ,10 tahun atau sampai duapuluh tahun ? Aku selalu memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi.
Aku hanya ingin menua bersama pasanganku
Namun perceraian kalian selalu menjadi hantu yang terus membayangiku.
Aku tahu ada yang salah pada diriku.Aku tidak mau membebani kakak dengan ketakutan yang kuhadapi.Aku berusaha melawan ketakutanku sendiri.Aku sadar tak semua pernikahan berakhir dimeja persidangan.Namun otakku terasa telah ter-sugesti dengan perceraian.
Tidak pernah terlintas dalam hidupku akan menjadi anak broken-home.Aku bisa mengatasi sendiri masalahku.Biarkan aku sendiri menikmati ritme hidup yang kupilih.Sampai aku berani untuk memulai sebuah kehidupan baru bersama’orang pilhan’ yang mampu menghapus awan hitam dalam memoriku.
Untuk ibu dan ayah yang kini tak beriringan lagi..Semoga Tuhan selalu menjaga kalian.
Untuk ibu dan ayah yang aku kasihi.Aku tidak menyalahkan kalian.Aku begini karena aku belum dewasa.Aku begini karena aku terlalu merindukan kehidupan bersama kalian.Merindukan kebersamaan yang telah pergi.
Untuk ibu dan ayah yang selalu kucintai.
Aku sangat sangat merindukan peluk cium kalian.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Kita sama, kak �
Kuatlah �