Untuk Ibu dan Ayah, Ini Surat Terbuka dari Anak Perempuan Pertama Kalian

Akhirnya usiaku genap meyentuh kepala dua. Rasanya baru kemarin aku belajar melangkah dengan didampingi oleh kalian berdua. Dua manusia yang hebat karena berhasil merawat dan mendidikku hingga kini tiba masanya aku harus mulai berjalan seorang diri. Meski begitu, aku tahu bila kapan pun aku jatuh, kalian akan membuka tangan lebar-lebar untuk kembali menguatkan aku lagi. Membiarkanku beristirahat hingga aku siap lagi untuk menjalani lintasan realita kehidupan.

Advertisement

Ayah, Ibu ….

Doaku dihari kelahiranku ini justru mendoakan kalian agar selalu sehat dan diberi usia panjang. Sebab, aku tidak bisa membayangkan bagaimana bila aku harus menghadapi panggung kehidupan ini sendirian.  Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila nasehat ibu hanya menjadi memori kenangan yang samar-samar terdengar suaranya. Juga lelucon ayah yang hanya akan menjadi kenangan manis, semua itu tak bisa kubayangkan.

Terima kasih untuk rasa sayang yang tak pernah terbatas itu. Seberapa buruk pun diri yang kubawa pulang, Ayah dan Ibu selalu menerima. Bagaimanapun bentuk diriku yang ada, Ayah dan Ibu tak pernah sedikit pun berniat untuk membiarkan hidupku hancur dengan sendirinya.

Advertisement

Tentu aku tidak bisa membalas itu semua. Maka dengan itu, aku selalu meminta kepada sang Mahakuasa agar selalu menjaga kalian berdua.

Sebagai anak perempuan pertama di keluarga, rasanya setiap langkahku ingin selalu kusyukuri. Bahwa terlahir dikeluarga ini merupakan anugerah dan berkah Tuhan yang tidak akan pernah aku dustakan.

Advertisement

Ayah dan ibu tentu pernah beberapa kali memergoki aku tengah berkalut dengan air mata. Atau lembaran kertas dari buku harianku yang dramatis itu mungkin pernah kalian baca. Tapi tahukah kalian bahwa aku sedikit pun tidak ingin menceritakan tentang apa yang terjadi di duniaku? Terlebih tentang  beberapa beban yang mungkin sangat umum dirasakan oleh manusia yang se-usia denganku. Tentang masa depan yang masih tidak diketahui bagaimana nasibnya, atau sekadar menjawab pertanyaan kerabat tentang apa yang kulakukan sehari-hari, pekerjaan apa yang kulakoni, dan apa pendidikan terakhir yang aku tempuh.

Aku tidak ingin menjadi lemah di hadapan kalian. Meskipun aku akan selalu menjadi gadis kecil di mata ayah dan ibu, aku tetap ingin menjaga diriku agar tetap bisa terlihat tegar dan kuat. Namun, terkadang aku lemah. Terkadang semua itu membuat dadaku sesak, dan akhirnya gangguan panik itu datang menyergapku. Kalau bantal dan guling di kamarku bisa berbicara, mungkin ayah dan ibu sudah mendapat banyak aduan dari mereka mengenai apa yang kulakukan ketika tengah malam tiba. Yaitu diam-diam menangisi kehidupanku, dan beberapa macam luka yang masih bersarang pada diriku.

Surat ini kubuat bukan untuk membuat ayah dan ibu khawatir padaku. Namun aku hanya ingin sesekali berbagi keluh kesah yang selama ini tidak bisa kuungkapkan secara langsung pada ayah dan ibu.

Terima kasih karena telah membuat bahuku sangat kuat. Dan membuatku merasa bahwa langkah ini begitu ringan untuk terus maju ke depan. Ayah dan ibu tahu aku perempuan tangguh yang terkadang orang-orang mengira aku adalah laki-laki.

Kini aku menjadi gadis dewasa yang semoga saja tidak lagi merepotkan ayah dan ibu.

Aku mengagumi ayah dan ibu dalam membina rumah tangga. Bahkan hingga membuatku berpikir, akankah aku sekuat dan setegar ibu? Akankah pasanganku nanti memiliki hati penyabar seperti yang ayah miliki?

Mengenai perjalanan ibadah seumur hidup itu, kurasa ayah dan ibu tak perlu khawatir. Aku pasti akan memberikan kalian cucu. Namun, ayah dan ibu perlu tahu bahwa aku sangat belum siap untuk menjalin hubungan yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup hingga napas ini habis.

Aku masih memiliki tujuan tersendiri dihidupku yang ingin aku gapai sebelum menginjak status sebagai istri dan menjadi ibu dari anak-anak yang menggemaskan nantinya. Ayah dan ibu juga pasti mengerti. Dahulu kala, aku yakin kalian pun memiliki suatu impian yang kalian harap terwujud.

Aku harap ayah dan ibu mengerti. Bahwa aku ingin mengembangkan diriku sembari aku menunggu seseorang memintaku untuk menjadi pasangan hidupnya. Bahwa aku ingin menjadi perempuan hebat sebelum akhirnya seseorang meminangku dan mengambil aku dari pelukan kalian.

Ayah dan ibu tahu bahwa membina rumah tangga tak bisa dilakukan sembarangan. Pun telah puluhan tahun ayah dan ibu mengarungi pahit manis perjalanan ini. Maka dengan itu, izinkan aku untuk melonggarkan waktu demi mencari atau menunggu seseorang yang tepat. Yang bisa bertanggung jawab sebab akan bersumpah menghabiskan masa waktunya bersamaku.

Memilih sosok untuk menjadi pasangan hidup bukanlah hal yang mudah. Kuharap ayah dan ibu mengerti bahwa aku tidak ingin menjadi manusia yang ‘kebelet’ karena ingin ikut-ikutan orang lain. Mungkin orang lain telah menemukan sosok yang tepat. Namun, putrimu ini sama sekalli belum menemukan titik terang mengenai jodohnya.

Harapan-harapan ini juga kupanjatkan agar semoga aku dapat menemukan sosok yang tepat seperti doa yang ayah dan ibu panjatkan di waktu yang tepat pula. Yaitu ketika aku bisa menganggap diriku pantas untuk menjadi seorang  istri sekaligus ikut menjelma menjadi malaikat tanpa sayap nantinya.

Ayah, ibu …

Terima kasih untuk segala yang kalian berikan. Seberapa banyak pun balasan yang kuberikan, aku yakin rasa cinta kalian bahkan mengalahkan jumlah bintang yang ada di alam semesta ini. Semoga doa kalian selalu menyertai setiap langkah kehidupanku. Semoga aku bisa menjadi manusia yang hebat seperti kalian berdua.

Terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca surat ini.

Dari satu-satunya putrimu yang kini telah beranjak dewasa.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Berdarah Sunda & Betawi, berzodiak Leo, kurang lebih karakternya seperti Dorry di film Finding Dorry.

Editor

Penikmat buku dan perjalanan