Banyak pelampiasan yang dapat dilakukan saat seseorang menghadapi sebuah masalah. Dari marah-marah, merusak barang di sekelilingnya, diam seribu bahasa sampai bisa jadi melukai dirinya sendiri.  Dan aku pernah menjadi seseorang yang melakukan hal yang terakhir. Bersyukur pada orang-orang yang sangat baik dalam mengelola emosinya, bisa marah dah menangis dengan mudah jadi tak ada beban lagi. Tapi sayang, aku diciptakan bukan jadi salah satu manusia seperti itu.
Entah setan apa yang bersarang di kepala, segala kesalahan yang terjadi berhasil dia arahkan semuanya adalah karenaku. Aku sebabnya dan aku harus membayar untuk itu. Menghukum diri sendiri. Suatu tindakan yang banyak disebut bodoh oleh orang-orang, tapi bagiku ini salah satu jalan aku bisa mendapatkan ketenangan. Aku bergelut cukup lama dengan siklus seperti ini, sampai lengan kiriku penuh berisi sayatan. Kadang lelah juga harus terus menerus pakai baju lengan panjang untuk menutupinya atau harus menjelaskan pada orang yang tak sengaja melihat lukaku.
Kebanyakan dari mereka yang pernah sekelibat melihat, pasti langsung memandangku aneh. Aku gak pernah tau apa yang ada di pikiran mereka dan gak pernah mau tau juga. Yang jelas saat mereka Tanya aku nggak bisa menjelaskannya, paling hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan, jadi saat itu aku membiarkan mereka dengan opininya. Menuju usia kepala dua aku semakin bertanya-tanya tentang kebiasaan ini. Aku mulai khawatir sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Kucoba memberanikan diri bercerita ke teman dekat yang aku bisa percaya saat masih menjadi siswi putih abu-abu.
Tapi tak ada jawaban, ia hanya iba melihatku dan berkata ‘jangan lagi,’. Sejujurnya aku tak puas dengan itu, tapi aku yakin dia pun bingung harus apa, sama sepertiku saat itu. Aku mencoba cara lain dengan membaca jurnal di internet tentang self harm, self injury dan gangguan kepribadian lainnya. Namun tetap, satu hal yang aku tekankan adalah aku tak mau mendiagnosis sendiri karena pastinya akan memperburuk keadaan dan memperkeruh pikiran. Aku mencari teman-teman yang sama denganku, dengan bermodal second account dan mulai mencari kenalan.
Aku menghabiskan waktu untuk mendengarkan cerita mereka dan perjuangan yang telah mereka lakukan untuk berhenti dari kecenderungan menyakiti diri sendiri. Pada 2015 belum banyak komunitas kesehatan mental di Indonesia. Ada namun kelihatannya pasif, jadi saat itu aku lebih banyak berkenalan dengan orang dari mancanegara seperti Jerman dan Australia.
Hey, tapi bukan berarti di Indonesia tak ada. Semakin aku menyelami aku akhirnya menemukan teman dari Indonesia. Mereka menyamarkan identitasnya, aku paham karena perilaku self-harm memang tidak dibenarkan bahkan menjadi bahan untuk dipermalukan. Bukannya mendapat dukungan dan semangat, tapi nyatanya saat itu kebanyakan orang hanya akan menghujani dengan kata-kata yang menghakimi dan ini semakin memperparah keadaan. Jadi? Ya lebih baik bungkam dan sembunyi.
Perkenalan dari sosial media berhasil mempertemukanku dengan orang-orang hebat, yang berjuang dengan dirinya sendiri dan bertahan hingga sejauh ini. Meski saat itu tak bisa dipungkiri ada kabar kehilangan yang sempat aku ketahui. Meski tak pernah bertemu di dunia nyata, aku merasa kehilangan.
Mereka pergi dibunuh pikirannya sendiri.
Dan sesuatu seperti itu bukan tidak mungkin terjadi pada kami yang berani melukai diri sendiri. Aku semakin belajar, terlebih saat aku punya kesempatan untuk bertemu dengan seorang perempuan yang telah melewati itu semua. Perempuan berusia lebih tua dariku. Entah bagaimana dia berani menyapaku lewat pesan di Instagram. Kami saling bercerita dan memutuskan untuk bertemu. Saat itu 2017 kami duduk di ayunan di pinggir pantai.
Dia juga mengalami hal yang sama, bahkan dua kali masuk rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Namun sosoknya yang saat itu bertemu denganku seolah menularkan semangat, ia bisa sembuh, aku juga pasti bisa. Memang kasusnya lebih berat, dia harus bolak-balik ke psikiater dan langganan dengan antidepresan. Tentu bukan hal yang murah untuk mendapatkan perawatan professional, namun dia mengajak aku untuk melakukan sesuatu yang dapat memulihkan, dan di sini, aku belajar sesuatu tentang self love. Mencintai diri sendiri.
Sesuatu yang dekat namun sering diabaikan,yaitu diri sendiri. Aku mencoba untuk mengalihkan pikiran, saat itu musik kujadikan pelampiasan. Aku pun terus memantau teman-teman kenalanku di dunia maya, mereka berjuang dan sampai saat ini aku senang aku masih bisa melihat mereka mengunggah hal-hal di social media dan memperlihatkan mereka kian membaik.
Ada beberapa garis bekas luka di lengan kiriku yang sampai saat ini masih membekas. Aku tak pernah bicara tentang penyesalan, karena salah satu cara mencintai diri sendiri yaitu menerima apapun yang ada di diri, kelebihan sampai kekurangan. Bekas di lengan kiri selalu membuatku bergumam, aku pernah sekuat itu bergelut dengan pikiranku dan aku menang, aku masih bertahan hingga sekarang. Setiap melihatnya aku berterimakasih pada diriku, terima kasih telah kuat dan maaf atas peperangan yang pernah terjadi. Semoga tak akan lagi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”