Halo, apa kabar diriku?
Tak terasa. Ya, tak terasa. Perayaan hari besar umat Kristiani yaitu Hari Kelahiran Sang Juruselamat yang aku sapa dengan hari Natal tinggal menghitung hari. Sedang perayaan pergantian tahun atau Tahun Baru tinggal kuhitung waktunya menggunakan jari. Sangat menyenangkan juga ya, sudah tiba di penghujung tahun 2017 yang penuh dengan kejutan. Ya, Natal dan Tahun Baru memang menjadi ajang refleksi tahunan. Apa yang aku alami, dalami, nikmati, benci dan semua yang terlewati di tahun ini. Ya, di tahun 2017.
Sudahkah kuhitung berapa banyak kejutan di tahun ini? banyak! Kejutan menyenangkan dan kejutan menyedihkan, semuanya telah aku alami. Ralat, bukan hanya dialami tapi telah ditaklukan! Bukankah di penghujung tahun ini telah aku menangi perlombaan-perlombaan hidup yang sejatinya telah diskenariokan oleh Sang Pemberi Hidup? Ya! Aku (bahkan kita) adalah juaranya. Juara atas apapun yang telah terjadi. Hidup memang seperti itu, seperti perlombaan. Ada yang menang dan ada yang kalah. Ada yang butuh ditertawakan dan ada yang butuh ditangisi. Seperti itu kehidupan, menurut sudut pandangku. Bagaimana menurutmu, diriku?
Hari ini, aku menatap kalender tahun 2017. Sejak semalam, memang hal itu yang selalu kulakukan. Tinggal menghitung hari lagi, hari Natal dan Tahun Baru berkunjung. Sebagai tamu, sudahkah kita siapkan sajian yang menyegarkan di kedua hari besar di bulan Desember ini?
Sejatinya, belum kusiapkan. Semuanya masih berupa angan-angan belaka yang kusiapkan. Masih sedang kunikmati hari-hari terakhir di bulan Desember saat ini. Masih sangat kunikmati. Aku bahkan masih menimbang-nimbang, apa yang akan kulakukan di tahun 2018 nanti? Ah, nanti saja. Hidup itu rahasia Tuhan, jadi jalani saja. Pikirku saat itu, lalu kuakhiri pemikiran itu dengan hanya menertawakan diri. Bagiku, lebih baik menatap kembali apa yang sudah terjadi di tahun 2017, dengan berbekal itu ada kehidupan baru yang bisa kunikmati dengan berkaca pada apapun yang terjadi di tahun sebelumnya untuk lebih baik lagi di tahun mendatang. Ya, tahun 2018 selalu kuyakini adalah tahun yang penuh dengan berkat Tuhan yang menanti-nantikan tuk kuhampiri. Sejatinya, tak kuhampiri. Semua yang terjadi adalah rencana Tuhan, tapi maksudku ada berkat yang datang ketika tak kuharapkan. Karnanya, di tahun mendatang aku hanya ingin memperbaiki diri dengan beranggapan bahwa aku harus memandang setiap waktu atau kejadian yang menghampiriku sebagai berkat Tuhan, walaupun sejatinya hal buruk yang aku terima. Terlambat tapi pasti, aku pun akan paham maksud Tuhan dibalik setiap kejadian yang aku alami sebagai berkat Tuhan.
Beberapa hari yang lalu, aku mengikuti ibadah minggu di gereja. Di sana, ada perayaan Minggu Adventus yang ketiga. Kami, para umat kristiani biasanya melaksanakan minggu-minggu Adventus sebagai minggu penantian kedatangan sang Juruselamat. Di Minggu Adventus yang ketiga itu, tak ada yang berbeda. Masih sama, masih menyanyikan lagu yang menggetarkan hati ditambah dengan liturgy ibadah yang cukup merasuk jiwa. Bersamaan dengan khotbah kontekstual yang dibawakan oleh pelayan firman, yang membuatku cukup sadar bahwa Tuhan memang selalu ada bagiku. Santapan-santapan rohaniah yang kutemukan di gereja, pada minggu Adventus yang ketiga waktu itu sangat berbeda. Kala itu, tak seperti biasanya aku memilih duduk di pojokkan depan sudut bagian kanan ruangan gereja.
Biasanya, aku dan keluargaku lebih senang duduk di barisan tengah gereja, sembari merasakan ketenangan ibadah karna tak terdengar suara orang yang bercengkerama atau tertawa. Tapi waktu itu berbeda, kaki ini mengantarkanku pada pojokkan depan barisan sebelah kanan sudut gereja dan aku mengakhiri perjalanan dengan duduk di kursi yang bersebelahan dengan jendela. Setelah selesai membaca Alkitab, aku membiarkan Alkitab itu terbuka begitu saja. Tak biasanya, aku seperti itu karna biasanya alkitab langsung aku tutup ketika ingin mendengarkan khotbah. Ketika khotbah telah diakhiri dan bersama umat yang lain, kami melaksankan saat teduh yang berlangsung selama lima menit.
Alkitabku yang terbuka itu ditiup oleh angin di tiap lembarannya. Mungkin, angin kala itu ingin menyegarkan alkitab milikku yang biasanya tertutup. Angin terus menghembuskan dirinya di alkitab yang sedang berbaring di pangkuanku. Hembusan angin itu berhenti pada Kidung Jemaat bernomor 438. Nyanyian itu berjudul, “Apapun Juga Menimpamu”. Kira-kira liriknya seperti ini,
Apapun juga menimpamu, Tuhan menjagamu.
Naungan kasih-Nya pelindungmu, Tuhan menjagamu.
Tuhan menjagamu waktu tenang atau tegang,
Ia menjagamu, Tuhan Menjagamu.
Nyanyian ini, cukup menganggu saat teduhku ketika di gereja. Aku terus mengingat lagu ini, dan lirik-liriknya pun terus menghampiri diriku. Bahkan ketika doa syafaat, aku tak mampu berkata-kata seakan lidahku beku. Tuhan mungkin saat itu bersedih, karna anak kecilnya ini sedang tidak memanjatkan doa dengan rayuan-rayuannya yang khas yang selalu disenandungkannya tiap waktu. Saat itu, aku pun tak mendengar apa saja yang didoakan oleh pendeta di balik mimbar gereja. Lirik lagu itu telah merasuki hatiku, tinggal dalam tanah hatiku yang paling dalam. Mungkin telah mengakari seluruh tanah di hatiku. Hal itu terus berlangsung, hingga ibadah berakhir. Aku pulang dari gereja, dengan perasaan yang tak tenang. Mengapa? Aku bertanya-tanya terus dalam hati. Bahkan ketika aku hendak tidur nyanyian itu terus hadir, hingga kugumamkan lagu itu di waktu malam, hingga aku terlelap.
Paginya, ketika aku bangun pagi kubuka Alkitab dan lembaran Kidung Jemaat No.438 yang terbuka di hadapanku. Baiklah, sepertinya nyanyian ini ingin aku menghampirinya. Seketika, kuhampiri nyanyian yang memiliki tiga ayat itu. Ayat pertama, yang cukup menganggu pikiranku belakangan ini. Aku menyanyikan setiap lirik itu dengan lambat. Dengan lambat kunyanyikan, sampai aku benar-benar mengerti arti lirik lagu ini. Mengerti apa sebenarnya tujuan lagu ini menghampiri diriku terus? Mengapa angin yang mendatangkannya padaku? Apakah angin terlalu mencintaiku hingga dia mengingatkanku? Baiklah. Tak ada yang bisa aku lakukan, selain menandungkan lagu ini berulang kali.
Lagu ini mengantarkanku, untuk mengenang apa saja yang telah aku lalui di tahun 2017 yang penuh dengan kejutan. Baiklah, kalau harus aku kalkulasikan sepertinya tahun ini lebih banyak kecenderungan mengecewakan diri sendiri. Dan itu bukanlah kesalahan dari Tuhan yang mengatur hidup, tapi itu adalah murni keputusan dariku. Bukankah kita adalah pengendali hidup kita sendiri? Saat kita memutuskan sesuatu kadang terlalu meyakini kemampuan diri sendiri, hingga berakhir dengan tak ada diskusi dengan Tuhan.
Dan itulah yang juga aku alami. Tak sedikit yang kualami, bahkan tak terhingga yang telah aku lakukan seperti demikian. Menjadi angkuh atas keputusan yang aku putuskan, hingga akhirnya menyesalinya di tengah jalan lalu menangisi kenyataan yang pahit pada Tuhan bahkan lebih kejamnya menghakimi Tuhan dengan pertanyaan yang bertubi-tubi mengarah adanya di mana Ia selama ini. Mulanya, aku dibuat takluk dengan keadaan.
Yang mampu kulakukan hanyalah menangisi kenyataan yang menyedihkan. Mungkin semua kita, seperti demikian. Air mata adalah pertahanan terakhir yang akhirnya runtuh seketika, ketika tak ada jalan keluar. Menangislah, menangislah jika tak ada yang dapat dilakukan. Walaupun ada milyaran manusia yang angkuh menitihkan air mata, untuk mengaku kalah pada Tuhan yang tak kelihatan pun. Ditambah dengan tenaga yang menyusut ketika kesedihan menghampiri, mengakibatkan seluruh pertahanan berakhir di ujung pelupuk mata yang hanya berupa tangisan tak bersuara. Bukankah itu lebih menyakitkan? Ya, memang demikian.
Begitu pula sebaliknya. Hal yang menyenangkan hadir dalam kehidupan. Acap kali aku berdiri tegap, memukul dada dan mengatakan aku luar biasa. Ya, kadang kita serba salah. Ketika sedih menjadi angkuh. Dan sebaliknya juga demikian, ketika bahagia yang meluap-luap pun menjadi lebih angkuh lagi. Apalagi ketika rasa bahagia, mampu menghadirkan tenaga yang berlipat ganda kuatnya lebih dari biasanya. Akhirnya, bertambah-tambahlah keangkuhan yang telah mendaging di hati. Suara yang tadi-tadinya pelan, kini lebih kencang dari biasanya. Kaki yang hanya melangkah dua langkah kini berlipat-lipat ganda melangkah lebih dan lebih. Bukankah itu terlalu jauh? Ya. Memang keangkuhan sungguh kejam. Hadir begitu saja, lalu meluluh lantahkan ketenangan yang sedari awal bersemayam di dasar hati berubah menjadi arogansi yang menebalkan daging-daging hati. Dada yang tadi-tadinya berkata kecil hingga mulut tak mampu berucap, berubah menjadi suara yang menggema ke mana-mana. Bukankah keangkuhan tak boleh berlama-lama berkunjung? Begitulah situasi-situasi yang menghiasi kehidupanku.
Situasi yang mencirikan tenang dan tegang yang selama ini mengisi hari-hari hidupku. Situasi-situasi yang sulit digenggam, situasi yang inginku memeluknya dengan erat, situasi yang mendewasakan, situasi yang menjadi guru terbaik. Situasi-situasi yang awalnya kupercaya sebagai atas ijin Tuhan, menghampiriku. Sekarang aku mengerti bahwa, situasi itu terlaksana karna inginku. Karna kecerobohanku, karna keinginanan hati.
Aku mengenang semuanya. Keangkuhan yang aku ciptakan pada diri sendiri ketika senang dan sedih, dalam hidup yang penuh dengan kejutan. Baiklah. Kali ini aku mengakui semuanya. Mengakui keangkuhan yang pasang-surut di hidupku di tahun ini. Keangkuhan yang betah berlama-lama menempel di pikiran. Bahkan ketika kuhampiri Tuhan yang tak ber-rupa pun, aku enggan mengakui kesalahan yang masih bisa diampuni olehNya. Memang aku terkesan menahan gengsi yang segerombol memimpin pikiran tuk menutupi kesalahanku. Oh Tuhan, ampunilah anakMu yang dipenuhi keangkuhan ini.
Mata yang berkeliaran menatap potret diri sepanjang tahun 2017. Kupandangi lagi, semua potret diri yang ada. Seluruhnya berhiaskan senyumku. Ya, senyumanku. Seluruh potret adalah tentang perasaan bahagia. Aku sadar, bahwa begitu banyak kamuflase yang aku ciptakan dalam hidup. Pura-purakah aku, jika selama ini memang bahagia? Tidak. Memang tidak selamanya aku bahagia. Kadang aku dibuat bingung oleh diri sendiri, mengapa hanya tersenyum ketika mata telah membengkak karna kelelahan menangis?. Bahkan dalam angkuhku, masih sempat berpikir bahwa Tuhan tarik diri dari hidupku. Ia tak kunjung memberi jalan keluar. Ia hanya hadir ketika aku bahagia. Oh Tuhan, ampunilah aku yang beranggapan sejelek ini tentangMu. Aku berulang kali menyematkan kalimat itu, dalam hati ketika mengenang semuanya tanpa terkecuali.
Sampai aku mengerti bahwa, Tuhan itu memang selalu menjagaku. Menjaga setiap jengkal dalam hidupku. Menjaga setiap sentimeter yang bertambah dalam hidupku. Menjaga setiap situasi yang melanda hidupku. Ya, Tuhan memang selalu menghadirkan ketenangan yang tak pernah kutemukan di mana pun. Aku bangga bahwa ada kuasa lain yaitu Tuhan yang kukagumi sifatnya, yang selalu menyegarkan jiwaku yang dahaga. Jelas janjiNya terpampang dalam ungkapan lagu apapun juga menimpamu, Tuhan menjagamu. Ya, memang demikian.
Tuhan tak pernah pergi. Sedetik pun, tak pernah ia berlari dariku. Situasi apapun yang terjadi dalam hidup ini, Ia selalu menjaga. Menjaga hidupku. Menjaga pribadiku. Menjaga relasiku denganNya. Berulang kali, Ia datang menghampiri. Ia panggil kembali. Aku sadar, bahwa Tuhan itu sahabat sejati yang tanpa pamrih menolong. Tanpa bekas Ia curahkan kebaikan padaku. Aku dipanggilNya kembali, diingatkannya kembali bahwa Ia tetap memelihara dalam situasi apapun. Kesannya melankolis kan?
Begitulah. Memang begitu jadinya. Aku mendapati diri bahwa dalam keadaan apapun, senyuman adalah tindakan reflex bahwa aku mengakui telah dipeliharaNya selama ini. Hanya mulutku enggan mengakui. Ya, roh memang penurut tapi daging itu lemah. Saking lemahnya, mampu menerobos kepercayaan yang sedari kecil aku pupuk bahwa Tuhan memang penolong dan menjagaku tiap saat.
Soal angin yang membangunkanku dari tidur panjang mengenai terpeliharanya aku bagi Tuhan, aku hanya ingin meminta angin itu datang terus ketika aku diselimuti keangkuhan yang datang sewaktu-waktu. Sejatinya, keangkuhan itu tak bisa aku hilangkan. Dia datang lalu pergi sesuka hati. Inginku membunuhnya, tapi terlalu sulit. Untuk menemukannya diantara berjuta alasan pun sulit. Sangat sulit, padahal keangkuhan itu telah hadir. Angin itu adalah angin yang teramat baik. Angin yang membuatku sadar, sesadar-sadarnya. Aku tahu bahwa atas seijin semesta, angin itu dikirimkan kepadaku, penghuni semesta yang perlahan telah menjauh dari Sang Pengada Semesta. Beruntungnya aku belum terlarut semakin dalam, ketika keenggananku memimpin hati dan hidup. Angin itu pula yang menyadarkanku bahwa sejatinya ketika aku telah lelah nan letih hingga berpeluh, ada Sang Pengada Semesta yang mengirimkan sinyal-sinyal kembali padaNya. Ya, tentu saja yang kumaksud adalah angin itu. Angin yang mengingatkanku bahwa apapun juga menimpamu, Tuhan menjagamu.
Terima kasih banyak angin yang menerobos jendela gereja, lalu menyadarkanku bahwa Tuhan telah menjagaku dengan sungguh dengan tulusnya cinta yang dimilikiNya. Angin yang datang tanpa aku pinta, angin yang menghampiri buku kehidupan yang sedari dulu menjadi pedoman relasi dengan Sang Pecipta Langit dan Bumi. Terima kasih banyak, angin.
Untuk diriku, jika kau merasakan hal yang sama beberapa waktu mendatang jangan pernah berkecil hati. Tatapilah sekeliling, ada banyak cara atau sinyal bahkan kode yang Tuhan kirimkan padamu untuk kembali padaNya.
Sekarang waktunya untumu berpikir sejenak. Sudahkah sungguh kau kembali padaNya atau hanya sekejap kembali lalu menghilang lagi?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”