Dalam hidupnya, manusia pasti akan merasakan fase yang satu ini, fase yang bagi sebagian orang adalah fase paling menyakitkan. Yaitu kecewa. Kecewa terjadi saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Ini bisa terjadi karena usaha yang belum maksimal atau karena hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan apa yang telah diusahakan.
Secara garis besar, segala ketidaksesuaian antara angan-angan dan kenyataan maka akan menimbulkan kekecewaan. Saat kecewa, semesta seolah tidak berpihak kepada kita, segala hal buruk terjadi, kegagalan yang tidak pernah berhenti, hal yang tidak diinginkan menimpa terus menerus hingga akhirnya kita mengutuk diri sendiri bahwa tidak ada keadilan di muka bumi ini. Kekecewaan yang mendalam membawa kita pada titik terendah dalam hidup. Semuanya berjalan melambat dan seperti enggan untuk berlalu.
Tapi waktu tidak pernah berjalan mundur.
Ia akan terus berjalan meski kita memutuskan untuk berhenti melangkah.
Rasa kecewa membuat kita mengabaikan banyak hal. Kita melupakan apa yang membuat diri bahagia, kita tak lagi bisa menghargai diri sendiri dan cenderung meninggalkan mereka yang mencintai kita bahkan kita lupa bahwa hidup harus tetap berlanjut dengan atau tanpa rasa kecewa.
Maka tidak ada artinya sekalipun kita berhenti untuk kembali membangun harapan.
Memang agak sulit berpikir rasional saat tengah kecewa, karena hati dan pikiran terus bertaut pada hal yang membuat kita begitu jatuh. Batin berkonflik mencari tau karena siapa ini terjadi dan mengapa semuanya terjadi. Kita sudah harus saatnya berhenti menghakimi diri sendiri, karena tidak ada yang bisa kita andalkan selain diri kita sendiri. Tinggalkan rasa kecewa jauh di belakang lalu mulailah mencintai diri sendiri.
Tanpa mencintai diri, maka kita tak akan bisa menemukan cinta dalam hal apapun.
Kekecewaan memberi kita peluang untuk bangkit dengan misi baru dengan harapan yang lebih mapan dan semangat yang semakin kuat
Betapa hebat kekuatan dari rasa kecewa.
Ia mampu membangunkan jiwa lelah hampir musnah, ia mampu menggerakan pikiran hingga menciptakan perubahan besar.
Rasa kecewa mengantarkan J.K Rowling menjadi miliarder dari hasil penjualan buku karyanya, Harry Potter dan kita tahu ke-7 serinya menjadi buku terlaris sepanjang masa. Kekecewaan J.K Rowling karena dipecat dari sebuah kantor hukum tempat ia bekerja tidak menjadi satu-satunya rasa kecewa yang ia rasakan. Pada tahun 1990, dia mendapat ide untuk cerita Harry Potter namun di tahun yang sama pula ibunya meninggal dunia karena penyakit yang diderita selama bertahun-tahun.
J.K Rowling bertahan hidup dengan menjadi guru selama bertahun tahun, hingga pernikahan yang harus berakhir di tahun pertama serta pekerjaan yang tak tetap membuat ia terjerembab pada kemiskinan. Menjadi seorang janda dan harus menghidupi dirinya sendiri sungguh bukan pilihan yang diharapkan. Dia depresi dan merasa sangat gagal.
Kemudian dia mencoba bangkit dan merajut kembali harapan, J.K Rowling akhirnya bisa menyelesaikan manuskrip pertama Harry Potter. Namun, kekecewaan kembali mengahampirinya, dia harus menerima penolakan dari 12 penerbit.
Berjuang hingga titik darah penghabisan rupanya menjadi bahan bakar bagi J.K Rowling untuk terus mencoba berbagai cara agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Hingga pada suatu hari, segala perjuangannya mulai menemukan titik terang. Sebuah penerbit kecil bernama Bloomsbury setuju untuk menerbitkan bukunya. Sejak saat itulah, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Hingga menjadikan dia seperti sekarang.
Kekecewaan karena terus menerus gagal serta kenestapaan yang terus menimpa bukan alasan valid untuk terperangkap dalam kegelapan.
Kita bukan satu-satunya orang yang mengalami rasa kecewa, tapi semua manusia di bumi ini pernah merasakannya.
Penolakan yang membuat kecewa juga dirasakan oleh Jan Koum, salah satu pendiri WhatsApp. Dia ditolak oleh Facebook pada 2007. Penolakan tersebut membuat dirinya bisa membangun WatsApp pada 2009 merangkak dari nol hingga pada 2014 dia menjualnya ke perusahaan yang dulu pernah menolaknya, ya facebook.
Walaupun pada April lalu, Jan Koum mengatakan mundur dari perusahaan yang ia bangun dari nol itu. Tapi perjuangan ia untuk bangkit dari kekecewaan cukup jelas. Mulai dari tukang pel toko kelentong, putus sekolah, mendapat penolakan dari Facebook bahkan kekecewaan lainnya ternyata bisa menjadikan Jan Koum sebagai salah satu pendiri perusahaan teknologi terkemuka sekelas WhatsApp.
Kita tidak bisa menghindar dari rasa kecewa, tapi kita bisa melatih dan mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Mulailah mengubah perspektif terhadap rasa kecewa.
Karena kekecewaan datang agar kita terus belajar.
Berlapang dada lah dan temukan mutiara berharga dalam diri melalui rasa kecewa.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”