Tradisi Turun Temurun dari Leluhur, Grebeg Suro di Tanah Majapahit

Cerita sejarah

Mojokerto adalah kota kecil yang berada di indonesia, kota ini berada di provinsi Jawa Timur yang memiliki luas hanya 969.360 km2 atau sekitar 2,09% dari luas provinsi Jawa timur. Mojokerto merupakan daerah yang dimana masih termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit, bahkan banyak sumber yang meyakini bahwa Mojokerto adalah ibukota dari kerajaan Majapahit, dikarenakan terdapat petilasan Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jawawardhana atau Brawijaya I yang menjadi tonggak awal lahirnya Majapahit di tahun 1293 M yang terletak di desa Bejijong, Trowulan, Mojokerto, petilasan ini diyakini oleh masyarakat mojokerto bahwa di dalam makan yang berukuran sekitar 2 meter terdapat jenazah Raden Wijaya yang sudah menjadi abu.

Advertisement

Selain terdapat petilasan dari Raden Wijaya di Mojokerto terdapat petilisan patih gajah mada, dimana tempat tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai tempat Patih Gajah Mada melakukan sumpah palapa, sanggar agung song-song bawono adalah nama panjang dari petilasan Patih Gajah Mada yang bertepat di belakang pendopo agung trowulan tepatnya di dusun Nglinguk, Trowulan. Masyarakat Mojokerto meyakini bahwa leluhur mereka masih berada di mojokerto, ada sebuah tradisi yang ditujukan untuk menghormati para leluhur dengan cara mengadakan acara yakni Grebeg Suro, acara ini merupakan acara tahunan yang diadakan setiap tahun pada awal bulan suro.

Acara dari grebeg suro yang berada di mojokerto ini biasanya diawali dengan pembacaan Macapat oleh pegiat-pegiat seni yang datang dari berbagai daerah, acara Macapat ini tidak hanya dihadiri oleh golongan tua saja melainkan anak-anak muda terdapat di pembacaan macapat, rangkaian pembacaan macapat ini biasanya diakhiri dengan pertunjukan wayang kulit. Dalam pembacaan macapat ini terdapat kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.

Keesokan harinya sebelum menuju acara puncak biasanya para sesepuh akan melaksanakan ritual ke tempat-tempat peninggalan dari kerajaan majapahit, mulai dari taman makam pahlawan, Siti Inggil, petilasan Prabu Jayanegara (Situs Jago), makam Tri Buana Tungga Dewi, petilasan Hayam Wuruk, makam Putri Cempo (Damarwulan), Sumber Towo (Kubir Siji), makam Putri Kencono Wungu, Sumur Pendapa Agung. Acara tersebut biasanya ditujukan untuk melakukan pisowanan atau sowan (menemui) para leluhur kerajaan majapahit yang berada di daerah Trowulan Mojokerto dan meminta doa agar bumi Majapahit ini damai.

Advertisement

Lanjut ke acara selanjutnya adalah pagelaran seni yang menampilkan kesenian Bantengan dan Reog Ponorogo, acara ini akan dilaksanakan di Pendopo Agung trowulan dan banyak sekali warga sekitar bahkan warga luar daerah datang untuk mengikuti rangkaian-rangkaian kegiatan grebeg suro yang di adakan di Mojokerto, acara ini juga secara tidak langsung menjadi pertunjukan kesenian yang menhibur para warga yang sudah datang dari sejak dibuka acara tersebut. Tidak hanya bantengan dan Reog Ponorogo saja yang ditampilkan, melainkan kesenian kesenian jawa lainnya juga ikut serta dalam pagelaran ini, acarani ini juga ditujukan agar masyarakat umum bisa mewarisi tradisi para leluhur majapahit terdahulu.

Dan sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat yang berdatangan dari berbagai daerah yakni Kirab Sesaji Kuro, acara ini merupakan acara puncak yang dimana semua masyarakat dan para sesepuh akan melakukan kirab masala yang dilakukan pada puncak acara grebeg suro, candi Bajang Ratu merupakan awal dari perjalanan kirab pada puncak acara tersebut, banyak mitos yang meyakini bahwa candi Bajang Ratu adalah gerbang atau pintu masuk dari kerajaan majapahit sendiri sehingga masyarakat mulau melakukan kirab dari candi Bajang Ratu dan berakhir di pendopo agung, dalam pelaksanaan acara kirab masal ini masyarakat biasanya dengan dandanan ala zaman kerajaan majapahit. Warga setempat juga tidak lupa membawa sesaji yang berupa hasil bumi atau hasil pertanian mereka, ritula seperti ini ditujukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh tuhan yang maha esa.

Tidak berakhir sampai di situ, setelah melakukan kirab masal atau arak arakan masyarakat akan mendapatkan nasi bungkus yang sudah diberikan oleh pihak panitia, “ini merupakah berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, rugi apabila datang ke sini tapi tidak memakan makanan yang sudah tersedia” salah satu teman saya yang ikut acara grebeg suro tahun kemarin.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini