Pernah ga saat kalian sedang galau, kesusahan atau lagi ada masalah terus curhat ke teman kalian dan mendapatkan tanggapan seperti, “Positive thinking, dong!”, “Diambil baiknya aja!”, “jangan kebanyakan miki.” dan lain-lain? Sepintas terdengar care dan menyemangati kamu ya kan?
Tapi tau ga? Bukan itu caranya yang benar untuk menunjukkan kepedulianmu. Ada istilah yang lagi ngetrend sekarang yaitu toxic positivity, ketika kata-kata atau kalimat positif penyemangat menjadi hal yang beracun dan tidak positif sama sekali. Banyak orang disekeliling kita yang ingin menunjukkan empatinya tapi sayang dengan cara yang salah dan cenderung tidak sensitif dan akan melukai perasaan orang yang mendengarnya.
Emang sih, niatnya baik. Dan mungkin mereka juga berusaha menujukkan support dengan cara membuat mereka terdengar positif dengan tujuan supaya si pencurhat senang. Atau sekedar berusaha membuat si pencurhat lebih termotivasi untuk menjalani hidup.
Tapi tau tidak, guys? Setiap orang dimuka bumi ini punya masalahnya masing-masing dan terkadang masalah mereka tidaklah sesimple itu. Terkadang ada masalah besar yang tak kunjung kelar dan orang biasanya hanya butuh solusi dan tempat curhat.
Ketika ada yang curhat sama kamu dan kamu cuma bilang, “Ya udah sih, positive thinking aja!” atau “Coba pikirin hal-hal yang bikin lu happy.” Atau. “Tenang, badai pasti berlalu.” Itu tandanya kamu bukan orang yang punya empati. Kamu tidak memposisikan dirimu sebagai si pencurhat dan tidak bersedia untuk memandang masalahnya dari kacamata perspektif orang ini.
Malahan kamu berusaha untuk terlihat/terdengar positif dengan cara mengeluarkan kalimat-kalimat dukungan yang tak mendukung sama sekali. Bayangin perasaan teman kalian ketika mendengar jawaban kalian yang tidak sensitif sama sekali.
Kalau masalah kecil seperti dicuekin gebetan ya boleh-boleh aja dijawab asalan, tapi bagaimana jika itu masalah besar yang dia ga bisa atasi sendiri? Dia pasti butuh saran dan bantuan darimu dan kamu yakin masih mau bilang, “Ya udah sih, banyak yang lebih susah dari kamu”.
Dijamin teman kamu pasti bakalan benci banget sama kamu. Dia akan cari orang lain yang bisa lebih concern sama dia. Worst case, mungkin dia akan mencoba saranmu untuk lebih positif menghadapi masalah, tapi nggak bisa dan dia semakin memendam permasalahannya sendiri, lalu jadi terpuruk.
Do you know what? Sangatlah tidak sehat untuk memendam emosi dan perasaan negatif apalagi dalam jangka waktu yang panjang. Bisa-bisa kamu stress, depresi, dan ujung-ujungnya jika tidak kuat mental bisa melakukan self-harm atau bahkan bunuh diri.
Mungkin kamu berpikir, “Terus aku harus bilang apa dong?” atau “aku cuma mau menyemangati dia aja kok.” atau bisa jadi “aku tuh sebenarnya ga tau harus ngomong apa.” Gini, pertama-tama kamu bisa bilang, “aku ngerti kok perasaanmu. Saran dari aku sih blablabla….” Itu terdengar lebih concern dan tidak melukai perasaan teman kamu.
Selain itu, dia juga akan merasa bahwa kamu mau mendengarkan dan memahami dirinya. Kedua, kalau kamu emang ga tau harus berkata apa, kamu bisa kok cuma sekedar jadi pendengar yang baik. Dengerin dan simak apa yang dia katakan sampai selesai. Kalau ditengah percakapan terbesit di pikiran kamu hal-hal yang mau dikatakan, katakan saja tapi jangan sampai mengandung toxic positivity ya.
Bagi saya, lebih baik diam dan mendengarkan daripada tidak sama sekali atau mendengarkan tapi tanpa rasa empati. That’s bullshit. Banyak yang masih menyepelekan soal toxic positivity dan menganggapnya sebagai hal yang layak dilakukan, karena ada prinsip "we must be positive!" Jadi orang tuh harus positive thinking!
Iya benar kok kita harus menjadi orang yang positif tapi tipe positivity apakah yang kalian pilih? Toxic positivity or positivity with emphathy? Terserah kalian aja, toh pilihan ada di tangan kalian. Jika menurut kalian lebih asik menggunakan toxic positivity sebagai sarana untuk mendukung teman kalian, do it. Banyak yang senang menggunakannya kok, tapi terima sendiri resiko kehilangan teman.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”