Sejak dulu, toxic parent menjadi isu yang tabu untuk dibicarakan, terlebih karena adanya anggapan bahwa anak-anak yang membicarakan keburukan orang tua adalah anak yang dianggap durhaka. Alamiahnya, hampir semua orang tua menyayangi, mencintai, dan melindungi anaknya. Namun, tidak sedikit orang tua yang salah mengartikan makna rasa cinta dan sayangnya sehingga anak–anak merasa terluka baik secara fisik maupun psikis.
Memangnya, toxic parent itu apa, sih? Toxic parent merupakan perlakuan orang tua yang mengarah pada tindakan destruktif, kasar, dan yang lebih parahnya lagi mampu meracuni psikologis anaknya. Orang tua yang dapat dikategorikan sebagai toxic parent biasanya sering memperlakukan anak seperti orang yang bodoh, terlalu melindungi anak (dengan alasan sayang) sehingga anak terkekang, membebani anak dengan rasa bersalah, mengungkit kesalahan anak bahkan ketika ia tidak sedang melakukan kesalahan yang sama, mengatakan kata-kata yang membuat anak kehilangan kepercayaan diri, memberikan sanksi berupa hukuman fisik sehingga anak merasa tidak dicintai oleh orang tua, dan hal-hal berlebihan yang mengarah ke dampak negatif lainnya.
Setiap keluarga adalah sistem yang dirancang dengan cermat. Keluarga adalah tempat berkumpulnya seluruh perasaan senang, bahagia, sedih, cemburu, rasa bersalah, dan kecemasan. Keluarga juga merupakan tempat berkumpulnya nilai-nilai, aturan, dan keyakinan yang berbeda. Tetapi, tidak semua keluarga selalu menerapkan aturan dan nilai-nilai yang mengarah kearah yang positif. Terkadang orang tua memberikan aturan yang mengekang seperti adanya keharusan dan kewajiban yang diikuti dengan kata-kata seharusnya ini, dan kewajiban kamu ini.
Mereka mengharapkan anak-anak mereka setuju dengan mereka tentang (hampir) segalanya, mereka tidak melihat anak-anak mereka sebagai individu yang otonom, tidak percaya dan menghargai privasi anak, mendisiplinkan dengan alasan cinta atau takut, mereka ingin anak-anak mereka mengikuti jejak mereka atau mewujudkan impian mereka yang belum tercapai, semuanya tentang mereka dan perasaan mereka, memperlakukan anak seperti beban, anak tidak diberi kebebasan berekspresi, menggunakan rasa bersalah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, memiliki gengsi dan rasa tidak ingin disalahkan, bahkan sampai mengharapkan yang terburuk untuk anaknya.
Melihat hal itu, terbesit di pikiran kita apa alasan yang mendasari orang tua bisa berperilaku seperti itu. Ada beberapa alasan untuk itu: Pertama, toxic parent biasanya menghadirkan image yang baik bagi dunia luar sehingga tidak mudah disadari hanya dengan melihat luarnya saja. Kedua, anak-anak melihat orang tua mereka sebagai orang yang sempurna dan orang tua pun memiliki kecenderungan narsistik dimana mereka melihat diri mereka sebagai orang tua yang jauh lebih baik daripada yang sebenarnya.
Ketiga, biasanya orang tua yang toxic juga memiliki orang tua yang toxic, dengan kata lain hal ini seperti perilaku yang diturunkan secara turun-temurun. Keempat, kurangnya pengetahuan orang tua atau orang tua hidup di lingkungan tradisional yang terbiasa dengan aturan yang ketat bahkan kekerasan. Toxic parent memiliki dampak negatif baik dalam lingkungan keluarga itu sendiri maupun bagi anak. Anak yang ‘dididik’ penurut tidak akan banyak memikirkan diri sendiri karena orientasinya adalah orang tua, selain itu anak juga bisa menjadi pembangkang.
Biasanya, anak-anak dari orang tua yang kasar cenderung menjadi pelaku kekerasan bagi diri mereka sendiri atau bahkan bisa menyalahgunakan/melampiaskannya kepada orang lain. Akan muncul keyakinan dari dalam diri anak bahwa mereka menganggap tidak ada yang sungguh-sungguh mencintainya, sulit mempercayai siapapun, memiliki masalah dengan hubungan yang erat, mudah merasa tidak aman, dan ragu dengan keputusan diri sendiri. Anak sulit berkembang karena tidak ada kepercayaan diri, tidak mendapat dukungan, dan kecemasan karena ketakutan orang tua bahwa anaknya akan mengungguli mereka. Bahkan tidak sedikit orang tua yang tak segan untuk melakukan kekerasan fisik sehingga menimbulkan perasaan marah yang kuat, fantasi balas dendam, dan kebencian diri pada anak.
Biasanya, pelaku toxic aktif merupakan salah satu dari kedua orang tua dan yang lainnya merupakan pelaku pasif. Tetapi yang lebih berbahaya adalah pelaku pasif karena memberikan dampak secara efektif yaitu menelantarkan anaknya. Tidak ada anak yang ingin terlahir sebagai bagian dari toxic parent atau toxic family, maka hal yang dapat dilakukan oleh anak untuk mencegah dan meminimalisir dampak toxic parent, seperti menerapkan batasan yang jelas antara anak dan orang tua. Tetapi, jika orang tua tidak menghormati batasan yang dibuat, kontrol lokasi menjadi hal yang penting seperti mengadakan pertemuan di ruang keluarga.
Selain itu, memiliki waktu (quality time) dengan keluarga dan orang tua bisa menjadi solusi yang cukup membantu anak untuk meminimalisir dampak toxic parent. Anak bisa memilih meminta bantuan kepada orang lain atau menjalani terapi. Penelitian meunjukkan bahwa terapi dapat menjadi cara yang ampuh dalam mengurangi konflik antara orang tua dan anak, sehingga mengurangi masalah mental yang dialami anak anak dari dari orang tua yang toxic.
Selain anak, orang tua juga dapat mencari solusi agar tidak terjerumus kepada perilaku toxic parent seperti mengenali dan mengetahui karakter yang ada pada diri anak, sebisa mungkin menghindari untuk ikut campur dalam urusan yang menjurus pada privasi anak. Jangan menjadi orang tua yang otoriter, agar anak mendapatkan haknya, agar antara orangtua dan anak tidak segan untuk saling memberi saran, saling memberikan pemahaman dan saling menghormati pilihan masing-masing. Orang tua juga tidak perlu sungkan untuk menghubungi orang-orang profesional seperti psikolog.
Cara ini akan memberikan pemahaman kepada orang tua apakah yang mereka lalukan adalah hal yang benar atau salah, orang tua mendapatkan pengetahuan baru atau tips parenting tentang bagaimana cara yang baik mendidik anak. Pada dasarnya, semua manusia punya salah, termasuk orang tua. Jika melakukan kesalahan atau menyadari bahwa selama ini telah menjadi toxic parent, maka tidak ada salahnya untuk saling meminta maaf, memperbaiki, dan merubah perilaku agar tidak diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”