Toples Berisi Penuh Rindu dari Ibu #RamadandiPerantauan

Seketika api tekad yang kian hari kian redup karena kehabisan bahan bakarnya, menyala kembali dengan terangnya.

Petang itu sekembalinya dari RSUD Pasar Minggu ke tempat inap sementara di Grand Cempaka terasa lain. Seluruh lelah baik fisik maupun batin yang terakumulasi sejak berminggu-minggu yang lalu mendadak sirna seketika. Ada sebuah titipan paket yang diberikan oleh resepsionis saat aku hendak mengambil kunci kamarku. Waktu kulihat rincian informasi yang tertempel di bagian luarnya, hatiku bergetar saat itu juga. Tertulis nama ibuku sebagai pengirim paket tersebut. 

Advertisement

Sepertinya ibuk kemarin ndak bilang kalau mau kirim paket. Tapi ini nama lengkapnya beliau, alamatnya juga alamat rumah. Pikirku. Kemudian bergegaslah aku membawa paket tersebut naik ke kamar, bebersih diri dan menggunakan waktu untuk istirahat selagi masih sempat.

Yah, tidak dipungkiri, ikut andil sebagai garda depan di sebuah rumah sakit rujukan untuk penanganan pandemi memang terasa berat. Hal ini diperberat pula oleh kenyataan bahwa ramadan sepenuhnya bahkan sampai lebaran nanti aku sama sekali tidak bisa pulang dan bertemu secara langsung dengan ibu. 

Ada jutaan rasa cemas sekaligus gelisah yang senantiasa mengintai di tengah keruwetan keadaan. Kakakku dengan keluarganya sudah berumah di Surabaya, aku bekerja di ibu kota, dan ibu tinggal sendiri di Wonogiri setelah kepergian Bapak 9 bulan yang lalu. Tentu saja baik aku maupun kakakku tidak bisa pulang pada kondisi sekarang.

Advertisement

Sebenarnya menghabiskan hampir seluruh hari di ramadan tidak di rumah adalah hal yang sudah biasa ku lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, karena adanya kondisi khusus di tahun ini, apalagi ibu yang hanya di rumah sendiri, membuat bebannya jadi terasa berkali-kali lipat.

Sebagian orang mungkin akan berpendapat bahwa menjadi perawat adalah pekerjaan yang sungguh mulia. Itu merupakan apresiasi salah satunya bagiku. Namun, sebagian orang yang lain, mungkin berpendapat begini, "mereka kan memang sudah tugasnya seperti itu. Toh juga dibayar oleh negara."

Advertisement

Kemudian dengan seenaknya tidak mengindahkan himbauan terkait pencegahan pandemi. Melanggar pembatasan yang telah ditetapkan dan hanya mempedulikan diri sendiri. Sesungguhnya hal itu sangat menyakiti hatiku, pun juga mungkin hati seluruh tenaga medis serta siapa saja yang terlibat dalam penangan pandemi di negara ini.

Namun begitu, keyakinan akan hari esok yang lebih baik, harapan semuanya bisa menjadi normal dan berjalan seperti sedia kala, senantiasa ku jadikan penyangga untuk menguatkan hati.

Alarm gawaiku berbunyi. Tanda waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Memang ku pasang pada jam tersebut sebagai penanda untuk segera melelapkan diri dan mengistirahatkan tubuh bagaimanapun caranya. Agar besok pagi-pagi buta dapat kembali lagi ke garda depan dengan kondisi fisik yang prima.

Namun sebelum itu, tentu saja ku sempatkan untuk membuka paket yang tertulis nama ibuku sebagai pengirimnya. Paket tersebut berbentuk box. Ketika ku buka, di dalamnya terdapat secarik kertas serta empat buah toples kecil berisi makanan ringan kesukaanku yang selalu ibu buat setiap menjelang lebaran.

Tiba-tiba segala kenang datang berhamburan. Melelehkan air mata yang sejak tadi tertahan. Entah oleh apa. Mungkin oleh rasa tanggung jawab sosial yang sedang diemban yang tidak memperbolehkan barang sedetikpun merasa lemah agar diri sendiri tidak menyerah pada keadaan.

Kesedihan, rasa pasrah, keyakinan, dan semua rasa lain bermunculan dan bercampur aduk menjadi tangis yang kian menderu manakala ku baca secarik kertas berisi pesan ibu.

"Nduk, kamu yang kuat. Kamu yang semangat. Lebaran tahun ini kita ndak bisa ketemu dulu juga ndak papa. Ini ibu kirimkan geti dan kacang mede kesukaanmu. Jangan habiskan sendiri, bagi dengan teman-temanmu. Tuntaskan juga dulu perjuanganmu. Ibu dukung ibu doakan dari rumah. Kamu  jaga kesehatan selalu. Peluk  kecup jauh dari ibu."

Seketika api tekad yang kian hari kian redup karena kehabisan bahan bakarnya, menyala kembali dengan terangnya. Secercah harapan yang hampir padam bersinar kembali. "Besok sehabis pandemi…" pun menjelma menjadi mantera yang memiliki kekuatan tersendiri sebagai manifestasi keyakinan akan hari esok yang lebih baik. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang yang sedang mencari makna pendidikan. Berharap kelak dapat menjadi salah satu pendidik yang benar-benar bisa menjadi garda depan pencerdas kehidupan bangsa