Tanpa banyak kawan di kota rantauan terasa sepi sekali bukan? Apalagi yang jomblo, sudah mah kere, sendirian, tak punya banyak kawan lagi. Akhirnya Sabtu malam minggu aku niatkan untuk pergi ke Malioboro, dalam hati syukur-syukur dapat kenalan mbak-mbak cantik.
Spontan aku ajak teman sekontrakanku yang super mageran ini, sebut saja namanya lutfi. Lutfi ini adalah teman SMAku dulu, kini ia bekerja di salah satu toko besar yang berada di jogja. Mungkin karena sudah sering ke Malioboro atau ke tempat-tempat lain yang berada di jogja, jadi ia menganggap hal itu biasa saja. Ditambah lagi aku heran dengannya, dengan kebanyakkan teman sebayaku atau yang lebih muda dariku.
Mengapa dalam intensitas hiburan, keluh kesah, gundah gulana, menemani sepi dan peran-peran seorang teman kini tergantikan oleh smartphone. Kalau ada orang yang bertanya siapa sahabat sejatimu mungkin barangkali dalam hati ia menjawab– handphone..
Saya menduga apakah ini disebut zaman perubahan ke kemandirian atau ke individualistikan? Tapi bagaimana rasanya jika hidup di zaman ini ketika kita lagi kere-kerenya, jomblo, tak banyak kawan diperantauan dan tidak memiliki kuota? Tentu barang sehari dua hari sudah tidak masalah, tapi kalau berhari-hari bisa dibayangkan rasanya hidup dizaman ini. Tak banyak duit sama saja tak banyak kawan, tak punya duit maka menjadi jomblo kesepian.
Masalahnya kini tak mudah untuk mendapatkan kenalan baru. Alih-alih ingin mendapatkan kawan baru, bisa saja kita dicurigai sebagai orang yang ingin berbuat jahat.
Dulu kalau bosan tinggal ke warung atau ke emperan masjid tiap sore, tapi sekarang sudah tak banyak warung adanya cuman rumah makan dan restoran. Jadi disitu ya peradabannya cuma makan, tidak ada berbagi rasa antara pelayan dengan pelanggan, tidak ada curhat, tidak ada obrolan dan yaudah cuma untuk mengeyangkan perut.
Di emperan masjid pun demikian, dulu banyak anak-anak mengaji kini sepi, biasanya yang ngajar mbak-mbak cantik mahasiswi tapi kemana anak-anak itu? Ke mana mbak-mbak itu? Apa sudah nikah? Arrgghhh..
Saya mengajak lutfi ke Malioboro, aku coba ajak dia secara lebih persuasif, aku katakan biar ngga bosan di kontrakan terus, lalu bisa saja saat kita berjalan-jalan di malioboro tanpa sengaja nabrak mbak-mbak cantik, lalu kenalan terus pedekatean eaa.. Entah energi apa yang memasukinya tiba-tiba kawanku ini mau, lekas-lekas melepaskan handphone dari genggamannya yang miring (lagi ngegame/nonton film).
Baru beberapa langkah di Malioboro entah mengapa raut wajah bosan menyelimuti ia kembali, ya paham dengan dirinya disini memang tidak semenarik game di handphone. Tapi bukankah kehidupan sendiri adalah game yang diciptakan oleh Tuhan sendiri?, yang lebih kompleks bahkan tak bisa ditebak apa yang bakal terjadi.
Akhirnya sampailah aku di depan plang 0 kilometer jogja, untuk sekadar bersantai, menikmati ramainya malam di Malioboro, untuk mendapatkan kenalan baru di jogja niatku. Tapi susah plus takut nanti dicurigai, ya kita juga tidak boleh bersikap SKSD (sok kenal sok deket). Tapi jiwa ini tanpa di sadari mendekat pada sekumpulan pemuda-pemudi yang sedang mengasah kemampuan melukisnya di emperan itu.
Tanpa sadar aku berbincang-bincang dengan mereka, tanpa sadar aku memperkenalkan diriku, tanpa sadar aku mendapatkan kawan baru disini, yang sehobi dan ketertarikan yang sama.
Jadi yang kusadari dari peristiwa malam ini adalah pastinya orang akan berkumpul, bersatu, berkawan satu sama lain bahkan bersahabat jika memiliki banyak kesamaan baik minat, bakat, asal daerah, asal sekolah, hobi, interest, kebiasaan dsb.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”