Dulu dibenci, sekarang digemari. Mungkin kalimat tersebut adalah kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan TikTok saat ini. Kemunculan TikTok pada tahun 2018 lalu sempat menghebohkan jagad maya di Indonesia. Pasalnya, ketika kita mengetik kata “aplikasi goblok” di kolom pencarian Google Play, maka aplikasi yang muncul di deretan paling atas adalah TikTok. Beberapa pengguna TikTok yang viral pada saat itu seperti Bowo Alpenliebe menjadi korban bully warganet dari media sosial Twitter dan Instagram. Kominfo pun sempat memblokir aplikasi ini.
Namun dalam beberapa waktu belakangan, TikTok kembali populer dengan tingkat pengguna yang menanjak pesat. Aplikasi ini bahkan telah diunduh lebih dari 100 juta pengguna di seluruh dunia. Mengapa bisa terjadi? apakah ada yang salah dengan pola adopsi masyarakat kita?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pola adopsi masyarakat karena hal ini dapat dijelaskan melalui diffusion of innovation model di buku Diffusion of innovations karya Everett M. Rogers. Ada 5 kategori pengadopsi yang dijelaskan di buku ini yaitu (1)innovators, (2)early adopters, (3)early majority, (4)late majority, dan (5)laggards. Inovator adalah orang yang sangat suka mencoba ide baru dan cenderung senang mengambil resiko. Inovator memainkan peran penting dalam proses difusi yaitu meluncurkan ide baru dalam sistem sosial dengan mengambil inovasi dari luar batas sistem, yang mungkin akan berakibat buruk seperti tidak dihormati anggota dalam sistemnya.
Bowo Alpenliebe adalah contoh dari orang yang berperan penting dalam penyebaran TikTok di Indonesia. Dalam hal ini, Bowo menjadi inovator yang menyebarkan aplikasi TikTok kepada khalayak ramai. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Bowo menjadi target bulanan massa karena membawa inovasi yang sebelumnya masih sangat awam bagi masyarakat sekitar, sehingga masyarakat yang tidak percaya dengan Bowo karena bukan dari kalangan yang dihormati dan memiliki pengikut yang banyak (seperti artis, influencer, dan lain-lain) kompak menghujat dan menganggap Bowo sebagai orang yang “alay”.
Kategori yang kedua adalah early adopters. Kategori pengadopsi ini memiliki tingkat kepemimpinan pendapat terbesar di sebagian besar sistem sosial. Early adopters cenderung memiliki pengikut yang banyak dan dihormati dalam masyarakat sehingga memiliki koneksi yang lebih luas dibanding kategori lainnya. Contoh dari kategori ini adalah artis dan influencer. Mereka yang memiliki banyak penggemar mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menggiring opini pengikutnya.
Dan fenomena saat ini telah memasuki kategori ketiga yaitu early majority. Orang-orang yang termasuk dalam kategori ini biasanya memiliki sifat pragmatis dan memiliki masa keputusan inovasi yang relatif lebih lama dibandingkan dengan inovator dan early adopters. Hal tersebut karena mereka cenderung ingin melihat bukti terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bergabung. Contoh di kasus ini adalah masyarakat seperti kita. Kita yang awalnya membenci TikTok dan menganggapnya sebagai aplikasi pembodohan diri yang hanya membuang waktu, mulai berubah pikiran melihat artis idola kita menggunakan TikTok. Lalu penasaran dan mulai mengunduh TikTok. Dan lama-kelamaan, kita akan ketagihan membuat konten video melalui aplikasi ini.
Lalu mengapa beberapa inovator bisa menjadi sasaran ujaran kebencian dari masyarakat luas? Selain yang dijelaskan dari diffusion of innovation model di atas, aspek khas lain dari difusi sebagai subbidang komunikasi adalah bahwa ada derajat heterofili dan homofili. Heterofili adalah sejauh mana pasangan individu yang berinteraksi berbeda dalam atribut tertentu, seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan sejenisnya. Kebalikan dari heterofili adalah homofili, sejauh mana pasangan individu yang berinteraksi memiliki kesamaan dalam atribut tertentu.
Secara umum, sebagian besar komunikasi manusia terjadi antara individu yang homofili, suatu situasi yang mengarah pada komunikasi yang lebih efektif. Dan pada hal ini, Bowo Alpenliebe dianggap alay karena masyarakat pada saat itu tidak memiliki atribut yang sama dengan mereka, lalu menganggap skeptis atas perilaku orang ini. Meskipun tidak ada yang salah dengan pola adopsi masyarakat kita, namun masyarakat perlu memperbaiki sifat mereka yang judgemental dan sering mengucapkan ujaran kebencian kepada mereka yang dianggap berbeda dengan perilaku masyarakat biasa, karena mungkin sesuatu yang kita benci dan hujat saat ini, barangkali akan menjadi tren beberapa bulan atau beberapa tahun mendatang.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”