Tidak Pernah Ada yang Dilepaskan dan Melepaskan

Sebab, tak ada yang melepaskan dan tak ada yang dilepaskan. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Pernah membenci, tapi tetap mengikuti. Menerima perkenalan, saling tatap diam-diam, mengutarakan isi hati, berdamai dengan keadaan untuk saling jatuh hati, lantas kembali saling benci. Berai-terurai, yang satu tersakiti, dan yang lain membiarkannya tanpa kejelasan atau justru bagi yang lain itu adalah kejelasan yang amat jelas hingga tak perlu lagi ada penjelasan yang bertele-tele. Hanya buang waktu!

Advertisement

Akhirnya, pada yang terlepas kini, kembali ingatan setiap kata-kata yang pernah diucapkan dulu. Bagaimana dia sudah menyiapkan segalanya jauh-jauh hari. Sebelum meninggalkan, sebelum semuanya tampak semakin menyiksa. Dia sudah mencoba menguatkan. Menitipkan banyak kata-kata yang seolah esok, tidak akan ada lagi yang menguatkanmu. Segalanya ia ucapkan tanpa tergesa. Seakan ia adalah yang Maha Tahu.

Meninggalkan, tapi tidak ingin tenggelam dalam kekhawatiran yang panjang. Aku tahu, yang dilakukannya adalah karena ia mencintaiku. Meski pada akhirnya, ia mampu merelakan. Semua yang diucapkannya dulu, sebelum perpisahan itu terjadi, tidak pernah aku pikir bahwa itu adalah penguatan terakhir yang sedang ia bagi. Aku menganggapnya hanyalah hal biasa, tapi tidak untuk saat ini. Jauh-jauh hari sebelum ia meninggalkan, ia menjadi seseorang yang rajin mengingatkanku bahwa aku adalah perempuan kuat dan hebat.

Di matanya, aku adalah perempuan yang mampu membawa keresahan dengan baik. Hampir setiap hari ia berkata,”diminimalisir cengengnya, salurkan pada kotak positif. Aku tahu kamu perempuan kuat.” Meski aku sempat mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa maksud perkataannya, tapi aku mencoba menerima bahwa ini adalah bentuk perhatian dan pengertiannya.

Advertisement

Di waktu yang lain, tetiba ia berkata seakan-akan segalanya adalah milikku, tidak akan pernah terlepas. Ia meyakinkanku, bahwa seluruh rasanya adalah punyaku, walau akhirnya aku tersadar itu hanya serupa kembang yang tumbuh pada dahan, lantas kembali gugur kapanpun ia mau, dan angin akan membawanya mengitari sekian jarak yang entah akan berujung di tepian yang mana.

Katanya di waktu yang lain itu,”Sayangku, percayalah padaku. Segala rasa cinta, kasih sayang, dan rindu yang kupunya hanya untuk kamu. Tidak akan pernah pudar!” Aku selalu percaya padanya, bahkan ketika ia melontarkan kata-kata yang menyakitkan sekalipun, aku tetap percaya. Karena hidup, memang selalu bagai sisi mata uang. Lantas siapa yang tahu, apa yang akan terjadi sedetik dari apa yang baru saja kau lakukan.

Advertisement

Anyway, rasa percaya itu akan luntur seiring jalannya waktu. Aku ingat, bagaimana ia dulu melarangku untuk menjadi seorang jurnalis. Menurutnya, pekerjaan itu amat berat bagiku. Sebagai perempuan, bekerjalah seperlunya saja. Mengajar, atau tetap di pekerjaanku yang sekarang; tidak banyak menekan, dan tidak membuang banyak waktu di luaran. Ia tahu bagaimana aku harus melakukan apa.

Ia tahu, bagaimana aku harus mengurusi diriku sendiri dan semua orang yang harus aku urusi. Katanya,”Menjadi jurnalis adalah pekerjaan yang berat. Kamu harus memikul deadline setiap hari. Menulis berita, membuatmu bergumul di banyak tempat. Kamu akan kelelahan. Biar aku saja yang bekerja, biar aku yang menjadi jurnalis, meski nantinya akan gagal, tapi aku sudah melakukan itu.” Harusnya aku sadar, itu adalah pernyataannya tentang suatu saat kamu akan mengerti, menjadi diriku amatlah berat. Aku harus membiarkan segalanya merasuki batin dan jiwaku, membelah pikiran dan tenagaku. Biarlah aku yang menanggung segalanya. Sebab, aku tidak akan melihatmu lagi, bagaimana bisa kau berbagi tentang bebanmu sebagai ‘orang jalan’, sementara aku akan meninggalkanmu, esok.

Belum lagi tentang ketakutannya. Sebelum meninggalkan, ia menjadi pribadi yang pemurung. Lebih banyak diam, hanya mendengarkan aku yang senang berceloteh dan tidak menyadari akan ada perpisahan. Katanya lirih,”Aku takut kamu akan meninggalkanku karena aku tak kunjung mempersuntingmu, lalu kamu membenciku, dan benar-benar pergi dariku. Aku takut…”

Meski aku meyakinkannya bahwa usiaku tidak akan lagi memengaruhi segalanya tentang kami, bahwa aku sudah menikmati hari-hari yang dilewati bersama, bahwa aku sudah membenamkan diriku pada seluruh yang dimilikinya, bahwa aku sudah jatuh hati dan hanya ingin membesarkan anak-anak darinya. Pada kenyataannya, semua bisa berlalu begitu saja. Egonya lebih besar dari keinginan, ketakutan, dan janji-janjinya dulu yang menggebu. Justru aku yang ditinggalkan. Aku tak tahu, apa itu adalah caranya untuk membunuh ketakutannya.

Apa ia memilih meninggalkan segalanya sebelum ia ditinggalkan. Harusnya aku sadar bahwa itu adalah pernyataannya tentang aku takut merasai hari-hariku yang sepi, sendiri, ketika kau memilih pergi meninggalkan aku. Aku takut merasai hal-hal yang setiap malam menggangguku itu. Tentang bayang-bayang hitam, tentang hal yang membuatku gigil semalaman. Aku takut, kelak, aku tidak bisa menerima bahwa kau dipersunting orang lain. Aku takut, aku tidak bisa lagi berbagi banyak hal denganmu. Aku takut…

Kau tahu, aku berbagi semua kisah ini bukan untuk menunjukkan siapa aku, bukan untuk menunjukkan bagaimana kami pernah melewati hari-hari yang panjang. Walau aku tahu, di luaran sana, banyak kisah yang lebih panjang dan pahit dari apa yang aku rasa, yang kami alami. Aku percaya, sekecil apapun alasannya, perpisahan adalah hal yang menyakitkan, hal yang menyebalkan, dan aku benci!

Jika memang segalanya tidak bisa diperbaiki, menyerahlah pada waktu. Meski akhirnya akan ada kekecewaan, tapi lihatlah di lain hari, itu akan membantumu menjadi yang seharusnya. Tuhan tidak pernah terlalu cepat membagi bahagiaNya, apalagi sampai terlambat. Ia akan selalu tepat, dan kau akan tahu, banyak alasan mengapa segalanya begitu tepat.

Mengutuki waktu, merutuki diri sendiri hanya akan membawaku pada kesedihan yang dalam, maka dengan bercerita, aku menemukan sesuatu yang seakan ia berkata tetaplah menjadi yang terbaik, meski jauh jarak mengajarimu menjadi manusia yang sakit, penuh dendam dan pemarah. Tetaplah bercerita lewat kata yang tertulis, karena lisan tak cukup membuatmu mengenang seluruh adegan dalam hidup. Katakanlah, kau sangat mencintainya. Jangan takut, dia masih menyimpan segala kekhawatiran yang sama. Justru sebelum meninggalkanmu, dia begitu baik menyiapkan hal-hal lain untuk menjadi pelindung bagimu, menggantikan perannya. Berterima kasihlah, pada yang pernah menjadi lelaki setiamu…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku lebih suka dipanggil Lai, Laida. Sebab itu adalah kesunyian yang mengajariku kekuatan.