Tidak Pernah Ada Keajaiban Natal, Natal Tidak Pernah Ramah Untukku.

Beberapa tahun terakhir, Natal tidak pernah ramah untukku.

Beberapa tahun terakhir, Natal tidak pernah ramah untukku, tidak pernah menyenangkan. Apalagi tahun ini. Berbagai masalah hidup menghajarku hingga terjatuh, bahkan sampai tidak bisa bangkit lagi. Keajaiban Natal yang sering dikatakan orang-orang, yang sering juga ditampilkan film-film keluarga rasanya hanya omong kosong.

Advertisement

Natal hanya ritual meriah miskin makna, setidaknya untukku. Aku tidak pernah merasakan kehadiranNya yang ‘katanya’ lahir untuk menyelamatkan manusia. Walaupun demikian, aku tetap pergi ke Gereja mengikuti perayaan malam Natal dan hari Natal. Entah apa yang aku rayakan, entah apa yang aku maknai.

Sore ini hujan mulai turun, rintik-rintik. Ia turun bukan karena alasan tertentu, tapi karena memang sedang musimnya saja. Karena besok adalah hari Natal, seperti rutinitas setiap tahunnya, aku bersiap pergi ke Gereja untuk mengikuti perayaan malam Natal. Perayaan berjalan dengan lancar, walaupun tidak ada yang spesial juga. Aku menjalankannya biasa saja.

Jika ada yang berbeda adalah aku tahun ini tidak langsung pulang, bersama dengan kebanyakan umat. Bukan karena mau bertahan lebih lama, tetapi karena hujan deras yang tak kunjung berhenti membuatku terpaksa bertahan di dalam Gereja. Kalau biasanya, aku langsung pulang.

Advertisement

“Hujannya semakin deras ya dik,” ungkap seorang kakek tua yang entah sejak kapan duduk di sampingku. 

“Iya kek,” jawabku singkat dengan senyum tipis yang cukup terpaksa. 

Advertisement

Aku memang bukan orang yang ramah terhadap sekitar. Mungkin karena kecewa dengan hidup yang juga tidak pernah ramah denganku. 

            “Bagaimana Natal Tahun ini?” kakek itu bertanya lagi.

“Bagaimana? Maksudnya apa kek?”

Yaaa, apakah sudah merasakan keajaibannya?”

“Keajaiban? Bagiku keajaiban Natal hanya dongeng anak-anak sebelum tidur,” jawabku ketus.

“kenapa begitu?”

“Ya karena permasalahan hidup yang tak kunjung mengambil jeda datang kepadaku. Sekeras apapun aku berdoa, sekeras apapun aku berteriak meminta pertolongan. Tidak pernah ada jawaban dari surga sana.”

Sempat terdiam lama, kekek itu kembali melanjutkan pembicaraan.

“Dik, coba lihat orang yang sedang menunggu hujan ini,” si kakek menunjuk sekitar.

“Apakah kamu pikir mereka adalah orang-orang yang tidak ada masalah? Baru saja saya selesai mengobrol dengan pria di depan sana. Natal tahun ini begitu berat untuknya, orang yang merantau dan kini hanya sebatang kara. Seluruh keluarganya tewas dalam bencana gempa bumi beberapa bulan lalu. Hari ini ia hanya sendirian dan harus menyelesaikan pendidikannya.”

“…,” entah apa maksud kakek itu bercerita demikian, aku hanya diam dan tidak menjawab.

“Jangan pakai pikiranmu untuk berkomunikasi dengan Tuhan, pakai hatimu. Mulailah dengan bersyukur ketimbang meminta. Hidup soal sudut pandang dik, mau melihat sebagai korban yang terus dihajar oleh hidup, sebagai penonton yang hanya berdiam diri, atau sebagai pencerita yang menulis jalannya sendiri.”

Hujan mulai reda, sebagain umat mulai bergegas keluar gereja untuk pulang, tidak terkecuali si kakek.

“Saya pamit ya dik, hujan sudah reda, semoga kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti,” katanya seraya beranjak pergi.

Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya anggukan sebagai respons dari pamitnya si kakek. Kita tidak saling kenal, bahkan namanya pun aku tak tahu, hanya pembicaraannya saja yang aku ingat. Entah apa maksud kakek itu menasihati dan berbicara kepadaku begitu banyak.

Aku bukan orang yang keras kepala, aku juga punya hati. Walaupun terkesan tidak peduli terhadap pembicaraan kakek tua, tetapi aku mendengarkannya. Tidak ada salahnya untuk mencoba. 

Malam itu, di tengah gereja yang mulai sepi karena hujan mulai reda, aku memilih untuk bertahan sejenak. Sekali lagi mencoba berbincang dengan Tuhan lewat hati. Memulainya dengan syukur, dan mengisinya dengan cerita, bukan meminta. Tanpa sadar air mataku mulai menetes, walaupun udara dingin, tetapi seperti ada sesuatu yang hangat, yang ada disekelilingku.

Satu jam berbincang dengan Tuhan, semua terasa lebih ringan. Ternyata keajaiban Natal itu ada. Kakek itu, adalah keajaiban Natal yang dikirimkan Tuhan kepadaku. Melalui dia, aku kembali percaya bahwa kita tidak pernah sendirian. Bahkan di saat tersulit dalam hidup.

Pada akhirnya, keajaiban Natal tidak akan pernah datang kepada mereka yang tidak pernah bersyukur. Tetapi sebaliknya, jika kita mau bersyukur, sedikit saja, kita akan merasakannya.

Selalu ada keajaiban saat Natal, hanya kita yang kurang meyadarinya saja. Kadang keajaiban itu datang dari hal-hal yang kecil, bahkan sangat kecil. Namun ketika disadari, maknanya sangat dalam.

Kita hanya perlu memejamkan mata, dan merasakannya dengan hati. 

Selamat Natal kawan, selamat bersyukur.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis yang mengubah rasa menjadi cerita.