IP tinggi adalah sebuah harga mati. Perlu empat tahun dalam meraihnya. Dalam meraihnya, banyak lika-liku yang harus ditempuh. Keterampilan dan kerajinan adalah kunci dalam meraih IP itu. Tidak peduli darimana kuliahmu, jika memiliki IP yang tinggi adalah seorang mahasiswa yang terpakai. Ia mampu mengikuti mata kuliah yang ada.
IP 3 adalah IP minimal yang harus dicapai oleh mahasiswa. Jika mendapat IP tersebut, masih aman dalam pencarian kerja,terutama PTS. Pada kebanyakan PTS, IP 3 itu bisa dikatakan IP yang mudah diraih terlebih lagi sang mahasiswa kuliah malam.
Kuliah malam adalah kuliah yang benar-benar dikatakan kuliah yang dewasa. Teman-teman di kuliah malam kebanyakan pekerja, jadi tahu bagaimana asam-manis dalam menjalani hidup. Selain kuliah pekerja, teman-teman kuliah malam kebanyakan sudah berumur. Jadi bisa dibayangkan kuliah malam adalah kuliah yang sangat terlatih menjadi dewasa.
Karena kuliah malam, kebanyakan dosen maklum harus memberikan IP tinggi pada mereka. Mereka mengapresiasi kerja keras mahasiswa dalam melanjutkan pendidikan sambil mencari sesuap nasi. Bentuk apresiasinya adalah memberikan nilai yang tinggi jika mereka sanggup menjalani keduanya. Namun lantas anak malam bisa segampangnya mendapat IP tinggi? Tidak!
Aku adalah buktinya yang menjamin jika kuliah malam tidak selamanya mendapat nilai yang cantik. Sebenarnya awal kuliah aku tidak ada tujuan. Bagiku daripada di rumah nganggur kagak jelas, mending kuliah. Dapat teman baru kan asyik. Sesampai di sana, ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Karena mereka pekerja, aku segan berteman dengan mereka.
Dalam pikiranku mereka pasti mencaciku yang tidak bekerja. Ya maklum aku anak malam. Belum lagi di kelas aku kerjanya tidak jelas. Kalau melamun, ya apalagi. Dosen yang menerangkan di depan kuanggap hanya pembaca dongeng sebelum tidur. Bosan melamun, aku nulis-nulis nggak jelas. Entah apa yang kutulis sampai-sampai tulisanku kujadikan uang ke tukang mulung dan setelah itu dijadikan bungkus jajanan anak SD.
Hasilnya sangat membuatku kacau. Nilai yang nggak cantik. Bagaimanalah, dosen nggak kuperhatikan, ngumpul tugas nggak berani. Takut salah. Mau nyontek berjamaah namun aku takut, takut aku direndahkan. Lebih baik aku kerjakan apa yang ada dan kubisa. Semester dua bisa dikatakan agak terbuka sama teman-teman karena aku telah bekerja meskipun masih ortu yang membayar uang kuliah. Aku belajar untuk berteman dengan mereka.
Dan aku mendapatkan teman itu. Dari dia, aku pun banyak belajar. Sayangnya, dia mengadu nasib ke luar negeri. Katanya ia tidak cocok di kampus. Selain usianya sudah bisa dikatakan 'tubang', di kuliah itu bukan pilihan hati. Ia kuliah karena adiknya. Lepas dia, ada lagi temanku. Nasibnya sama seperti aku pada awalnya. Berteman dengannnya sangat nyambung. Belum lagi kami sebaya dan tamat SMA langsung kuliah. Ia sendiri adalah seorang perantauan.
Semester lima semuanya berubah. Aku menyadari tidak selamanya bersama mereka. Aku dan teman-teman lain terpencar dan ada beberapa masih bersama. Di sini, aku mencari yang lebih berpengalaman dan aku mendapatkannya. Masalah olokan aku nggak bekerja tidak lagi dalam pikiran. Itu nasibnya yang bekerja. Yang kupikirkan bagaimana cara mengubah diriku. Dari semester satu sampai empat, tidak ada perubahan signifikan. Mungkin dari teman baru bisa membuatku lebih baik lagi. Tambah lagi aku berorganisasi. Walau tidak kuliah, setidaknya aku bisa berorganisasi. Dari organisasi, aku tidak dicap mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang).
Apa hasil dari teman baru dan organisasi ini? Nilaiku lebih baik. Dan aku bisa simpulkan, jika aku berteman dengan yang lebih dewasa dan minimal berorganisasi di kampus, aku bisa lebih baik lagi. Aku bisa mengatur waktu antara kuliah dengan organisasi. Semester 6, aku lebih berani lagi. Selepas dari organisasi tersebut, aku pergi ke organisasi lain. Aku ingin maju lagi. Selain itu, aku mendapat teman baru lagi. Dia dari anak kelas lain dan pindah ke kelasku karena pekerjaan.
Lagi-lagi, aku terkena siraman rohani dari dia dan teman yang kuakrabi dari semester 5. Sakit memang tapi aku kan di sini kuliah. Fokusku hanya kuliah saja. Orang tuaku menyaranku masuk malam bukan karena aku dicarikan kerja sambil kuliah namun mengubah pola pikiran. Kata orang tuaku jika kuliah malam cara pikirku lebih maju lagi. Itu yang dikatakan mereka. Jika mereka bilang mengapa tidak bekerja? Aku spontan saja fokus kuliah dan mengubah pola pikiran. Itu saja kukatakan. Hasilnya? Nilaiku baik karena aku fokus apa yang kukerjakan saat ini.
Semester tujuh adalah masa say good bye untuk semuanya. Di sini adalah semester yang paling benar-benar membuatku lebih dewasa. Dan semester ini aku mengerti apa tujuanku kuliah. Kulihat rapor sekolahku dan kudapatkan aku tidak salah memilih jurusanku. Nilaiku paling tinggi pada kuliah jurusanku. Ditambah dukungan teman dari semester 5 yang mengatakan ternyata aku bisa membuat aku yakin tidak salah memilih kuliahku. Selain dari bakat jurusanku, ada bakat yang sangat luar biasa.
Menulis! Kata temanku, dari hal itu orang-orang akan menghargaiku. Aku anggap kata-katanya itu hanya bualan saja karena beberapa hari sebelum dia memberikan kata-kata itu aku geram padanya. Ia tidak mengijinkanku ujian susulan. Ingin aku balas perkataannya waktu itu, namun ia pandai membuatku gagal membahas kesalahannya. Ia mengatakan aku punya bakat itu secara logika. Sayangnya, aku tidak melakukan hal itu. Lagi-lagi fokus pada kuliahku yang membuat sementara bakat menulisku kupendam dulu.
Skripsi! Itu adalah benar-benar menguji kemampuanku. Hasil belajarku selama empat tahun kutuangkan pada suatu karya tulis yang kupersembahkan pada kampus. Ini adalah hal-hal yang membuatku menyesal mengapa semalam tidak belajar. Baiklah Bab I sampai III bisa kukerjakan karena punya bakat mengarang yang sangat luar biasa. Bab IV gimana? Ya mau nggak mau aku cari jalan pintas. Daripada aku tidak lulus merenungi hal tersebut, lebih baik pakai jalan pintas itu. Hasilnya? Aku bisa lulus dan pastinya nilaiku pas-pasan karena kesalahan-kesalahan masa lalu.
Nilai pas-pasan itu pun kurenungkan. Masuk beberapa perusahaan biasa bisa, tapi apakah bisa masuk ke perusahaan yang lebih baik? Pikir dua kali mereka menerimaku. Aku pun harus berputar otak lagi untuk bisa lebih baik lagi. Saat berbicara kepada ibuku, aku menceritakan temanku seorang fotografer. Aku lihat ia senang dengan profesinya. Dari pembicaraan ibuku, aku teringat perkataan temanku dulu. Kenapa tidak kulakukan itu? Kan cocok dengan diriku.
Aku pun mulai serius menggelutinya. Saat kawanku yang lain berkata aku pemalas cari kerja, bisa kukatakan, ini adalah suamiku! Aku ingin mencintai seutuhnya dan fokus mencintainya. Dari hal ini, aku bisa mengerti mengapa aku dilahirkan. Masalah kuliah yang tidak sesuai bakat utam aku tidak kupermasalahkan. Bagiku, kuliah bukan saja membuat lebih pintar melainkan mengubah sifat dan pikiran menjadi lebih baik lagi.
Kan tidak menjamin bisa mendapat nilai tinggi. Yang bisa membuat nilai tinggi adalah kemauan untuk belajar dan baik dalam sikap di kampus. Namun bukan berarti nilai yang pas-pasan seperti saya berkecil hati. Memang IP tinggi itu perlu, namun yang perlu dalam pekerjaan sebenarnya adalah relasi dan kemampuan. Jika kedua-duanya ada, niscaya akan mempermudahkanmu dalam pekerjaan. Perbanyak relasimu dan kemampuan itulah hal yang utama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”