They Used to Call Me Ugly: Kisah Seorang Perempuan “Jelek” yang Kini Terbang ke Negeri Hobbit

Kejadiannya bermula ketika aku masih anak-anak, ketika aku menghampiri teman-temanku untuk bermain bersama, mereka langsung membubarkan diri. Hal tersebut terjadi setiap kali aku meminta untuk bergabung dengan mereka, sehingga aku bisa menyimpulkan kalau mereka tidak mau bermain denganku.

Advertisement

Beruntung masih ada sepupuku yang mau bermain denganku, namun seringkali karena sepupuku bergabung dengan mereka, aku menghabsikan waktu bermainku dengan nenek, beruntung juga orangtuaku berlangganan majalah anak-anak untuk aku sehingga waktuku lebih sering kuhabiskan untuk membaca.

Menginjak bangku sekolah dasar, hal yang sama masih terjadi, aku hanya memiliki beberapa teman yang sering kuajak bermain. Pernah suatu kali aku secara tidak sengaja memergoki teman-temanku membicarakan aku. Mereka membicarakan kira-kira siapa orang berwajah terjelek di kelas, dan salah satu teman menyebut namaku, walaupun kemudian disanggah oleh teman lainnya dan bilang bahwa semua perempuan itu pada dasarnya cantik.

Hal itu membuat aku berpikir mungkin selama ini salah satu alasan yang membuat aku dijauhi teman-temanku adalah aku dianggap berwajah jelek atau kurang cantik. Aku lalu mnceritakan hal tersebut kepada orangtuaku, mereka bilang bahwa kecantikan seseorang sesungguhnya dinilai dari hati dan perilakunya bukan dari bentuk fisiknya saja. Mereka juga bilang bahwa seharusnya aku bersyukur karena masih memiliki anggota tubuh yang lengkap sehingga tidak ada alasan bagiku untuk mengeluh hanya karena fisikku yang menurut beberapa orang tidak cantik.

Advertisement

Aku mencoba mengacuhkan anggapan teman-temanku tentang fisikku dan fokus untuk belajar dan mengembangkan bakat dan minatku, terbukti aku selalu ranking 1 dari kelas 1 hingga kelas 6 SD.

Karena prestasiku selama SD, akupun diterima di SMP terfavorit di kotaku. Menginjak bangku SMP, ternyata bully yang aku dapat karena wajahku semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari aku di-bully oleh beberapa teman. Bahkan beberapa di antaranya pernah menanyakan apakah aku dulu salah dibuat oleh orangtuaku sehingga wajahku jelek. Salah seorang teman juga pernah menanyakan apakah ayahku adalah tukang sampah? Sehingga wajahku jelek.

Advertisement

Sekarang pertanyaanya adalah untuk apa mereka menyangkut pautkan pekerjaan seseorang dengan rupa seseorang, lagipula apapun pekerjaan orang itu, tentu sangat tidak pantas memperlakukan orang tersebut dengan pertanyaan semacam itu.

Tidak hanya berhenti di situ saja, beberapa teman juga sering membuka kotak pensil dan bukuku tanpa seijinku dan membacanya keras-keras di depan kelas. Seringkali mendapat perlakuan seperti itu, hampir setiap hari, tidak heran jika nilaiku ketika SMP terjun bebas, padahal kakakku adalah salah seorang siswa kesayangan para guru di SMP-ku.

Karena hal tersebut, beberapa guru bahkan orangtuaku sendiri kecewa karena aku tidak bisa secemerlang kakakku. Meskipun demikian, aku sebenarnya cukup beruntung karena masih ada beberapa orang yang masih mau menjadi temanku, mereka yang namanya masih kuingat hingga sekarang sebagai teman baikku.

Hingga akhirnya akupun 'hanya' diterima di SMA terfavorit kedua di kotaku yang semakin menambah kecewa orangtuaku, meskipun aku sendiri bahagia karena paling tidak aku tidak akan bertemu para pem-bully-ku yang diterima di SMA favorit. Selama SMA, bisa dikatakan kehidupanku jauh lebih baik, dan aku sangat menikmati masa-masa remajaku, meskipun waktuku masih banyak kuhabiskan berkutat dengan buku daripada bermain dengan teman-temanku.

Aku memiliki teman-teman yang sangat baik, meskipun pasti pernah ada konflik di antara kami, namun bisa dikatakan kehidupan pertemananku jauh lebih baik dibandingkan ketika aku masih SMP. Prestasi akademikku pun jauh lebih baik, ranking 5 besar hampir tidak pernah luput dari genggaman, puncaknya adalah ketika aku menjadi juara 2 umum dan terpilih mewakili sekolah di beberapa lomba mata pelajaran tingkat kabupaten.

Meskipun demikian, selulus SMA aku gagal masuk di universitas favorit di jurusan yang aku idam-idamkan. Akhirnya setelah beberapa kali gagal tes, aku diterima di sebuah PTS yang cukup favorit. Tetap saja aku kecewa karena 'hanya' diterima di pilihan kedua, meskipun pada akhirnya aku menyadari bahwa jurusan inilah yang sebenarnya cocok dan sesuai dengan bakatku.

Bisa dikatakan teman-temanku selama kuliah adalah teman-teman terbaik dalam hidupku, aku tidak bisa meminta teman yang lebih baik dari mereka. Sampai sekarangpun aku tidak percaya memiliki teman sebaik mereka. Mereka selalu mendukungku apapun yang terjadi, menyemangatiku ketika aku down, dan tidak menjauhiku ketika aku melakukan suatu kesalahan, intinya mereka selalu ada untukku.

Namun, trauma akan bully-an yang pernah kuterima semasa kanak-kanak dan SMP masih sering menghantuiku, yang juga berimbas pada kehidupan asmaraku. Sejak dulu aku tidak pernah berpacaran karena aku tidak percaya diri, aku selalu merasa rendah terutama di mata teman pria, sehingga bagiku sangat sulit untuk memiliki pasangan, selain itu aku ingin fokus studi demi meraih mimpi-mimpiku.

Bagiku studi adalah segala-galanya dan aku menyadari bahwa aku membutuhkan usaha yang ekstra untuk sejajar dengan teman-temanku. Tidak ada usaha hamba-Nya yang sia-sia, menjelang kelulusan aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik tingkat universitas, di mana orangtuaku mendapat undangan khusus untuk menghadiri wisuda dan mendapat keistimewaan duduk di kursi barisan depan.

Melihat mereka tersenyum haru di hari kelulusanku adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya, walaupun aku tahu di luar sana masih banyak orang yang mencelaku.

Lulus kuliah aku kemudian diterima mengajar di almamaterku. Selama dua tahun aku mengajar sebagai tenaga kontrak. Di kantor tempatku bekerja, aku mendapat sebuah keluarga. Rekan kerjaku juga adalah keluargaku, junior-senior semua saling membantu. Aku tidak bisa meminta lingkungan kerja yang lebih menyenangkan dan nyaman dari tempatku bekerja.

Hingga akhirnya kontrakku habis dan aku mendapat beasiswa S2 di New Zealand, yang menjadi salah satu mimpi terbesarku. Hingga sekarang aku masih memilih untuk sendiri. Meskipun aku telah memaafkan pem-bully-ku namun aku tidak akan pernah lupa sakitnya di-bully.

Forgive but don't forget.

Namun tetap saja seringkali aku merasa rendah, mungkin inilah titik balik aku harus merasa percaya diri dengan diriku sendiri dengan apa yang aku punya. Satu hal yang aku syukuri, pilihanku untuk sendiri sedikit banyak membuatku belajar mandiri dan fokus dengan apa yang ingin kucapai, membahagiakan orang-orang yang mencintai dan mendukungku dan lebih mensyukuri apa yang aku punya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Just a dreamer

8 Comments

  1. Mia Hardiyanti berkata:

    Tulisan yang indah. Memang sejatinya kecantikan itu dilihat dari hati, bukan dari paras wajah

  2. Hi mbak, salam kenal, terima kasih sudah mampir dan thanks masukannya 🙂