Empat hari sebelum Indonesia menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Legislatif, sebuah film dokumenter berjudul The Sexy Killers diluncurkan. Film dokumenter ini mengangkat isu dampak negatif kegiatan pertambangan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia terhadap masyarakat sekitar tambang dan PLTU. Dalam waktu singkat, film ini menjadi pembahasan di kalangan aktivis lingkungan, akademisi dan masyarakat umum. Bahkan ada inisiatif untuk melakukan diskusi untuk membahas kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dikaitkan dengan isu pertambangan.
The Sexy Killers mendokumentasikan kegiatan pertambangan di sekitar pemukiman warga yang menyebabkan lubang-lubang besar pasca tambang. Menurut klaim data yang dipaparkan oleh narator, lubang-lubang besar pasca tambang tersebut telah memakan ratusan korban jiwa karena tenggelam. Sebagai seorang peneliti, mendengar paparan informasi yang disajikan dalam film dokumenter ini membuat saya mempertanyakan keabsahan data-data yang disajikan. Karena tidak ada sumber data yang jelas. Keabsahan suatu data sangat penting untuk menghindari asal klaim yang akan merugikan pihak-pihak lain.
Saya sendiri menonton film ini dua hari setelah pemilu digelar. Dan saya mengapresiasi upaya The Sexy Killers untuk menyuarakan suara-suara rakyat yang selama ini diabaikan. Sehingga nyatalah demokrasi di Indonesia. Sayangnya, konten yang disajikan oleh film ini tidak berimbang. Film ini hanya menyoroti emosi masyarakat terdampak tetapi tidak mengulas kebijakan pemerintah di bidang pertambangan. Tidak ada penyajian informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, penerapan hingga hasilnya.
Sisi pemerintah yang ditampilkan hanyalah potongan-potongan debat calon presiden dan potongan wawancara dengan seorang menteri yang memiliki perusahaan pertambangan yang diduga ikut bertanggung jawab terhadap kesengsaraan masyarakat terdampak. Potongan-potongan debat dan wawancara pun cenderung menyudutkan pemerintah.
Konten film yang cenderung menyalahkan pemerintah membuat saya mempertanyakan independensi jurnalistik pembuat film. Berdasarkan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, wartawan Indonesia harus berpikir independent, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pengertian berimbang dan tidak beritikad buruk adalah semua pihak yang terlibat dalam suatu isu berita harus mendapat kesempatan yang sama untuk disorot dan diberitakan.
Wartawan tidak boleh mempunyai niat yang secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Berdasarkan pasal 3 juga, wartawan harus memberitakan secara berimbang dan tidak boleh memberikan penafsiran yang menghakimi dalam setiap berita yang mereka hasilkan. Wartawan harus menerapkan asas praduga tidak bersalah pada saat memproduksi berita.
Berita yang dihasilkan dengan tidak independent tentu mencederai fungsi dan tugas jurnalistik untuk mengedukasi masyarakat. dan fungsinya sebagai pilar demokrasi. Berita yang mendapat intervensi opini menghakimi wartawan berpotensi menggiring opini masyarakat untuk selalu berpikir negatif terhadap pemerintah dan selalu menyalahkan pemerintah dalam segala upaya untuk menjalankan pemerintahan.
Jika masyarakat selalu berpikir negatif terhadap masyarakat, fungsi masyarakat untuk memonitor dan mengevaluasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah akan terganggu. Masyarakat hanya akan terus mengkritik pemerintah tanpa mampu memberikan solusi untuk kebijakan yang lebih baik. Jika kondisi ini terjadi, bukan pemerintah yang paling dirugikan tetapi masyarakat. Karena masyarakat akan menjadi apatis dan tidak menjalankan peran dan fugsinya mengontrol dan mengevaluasi kebijakan pemerintah. Kritik terhadap pemerintah tanpa solusi pun hanya akan mengganggu jalannya pemerintahan. Dampaknya adalah terganggunya upaya pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat.
Jadi, jika independensi film the Sexy Killers dipertanyakan, saya pun mempertanyakan maksud dan tujuan di balik pembuatan film ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”