Kemarin hujan turun seharian, tidak ada kabar gembira terdengar dari seorang yang aku tak pernah tahu ia sekarang di mana. Aku duduk di teras depan rumah, memandangi langit yang gelap, kesedihan memenuhi jalanan.
Mereka berlindung dari dingin air dengan mengenakan jas hujan. Beberapa orang menerobos hujan tanpa penangkal agar air tak masuk ke tubuhnya. Ternyata ada yang lebih dingin dari hujan dan angin: ialah ia yang masih setia menunggu seorang yang tak pernah berniat untuk pulang.
Tiba-tiba, rindu mengetuk pintu. Seutas senyum menyala di balik jendela. Dia orang yang sudah lama pergi, namun masih gemar sekali membayangi. Belum puaskah melukai? Ataukah kau juga sama? Merindukan masih menjadi hal yang rapi kau sembunyikan, meski nyatanya kini kita telah lenyap, tak bisa lagi hanya untuk sekadar saling menatap.
Saling mengabari sudah tak mungkin terjadi. Kau kini bersama orang lain, hidup di satu rumah berbahagia, tanpa perlu mengingat betapa dulu. Aku pernah menjadi orang yang selalu kau tunggu hadir di depan pintu.
Hadirku pernah menjadi pelengkap hari-harimu, gelisah menunggu, hingga saat bertemu mukamu persis peran antagonis dalam film "Ratapan Anak Tiri".
Bahagia sekali rupanya dulu, tapi kini? Semua tak ada lagi. Aku memilih pulih sendiri, dengan cara menuliskan banyak tulisan kesedihan. Bukan agar kau kembali, hanya saja aku ingin kau hidup lama di dalam hidup yang semoga tak lekas meredup.
Karena percayalah, setelah ini berlalu. Aku sudah tak bisa merangkai kata-kata sebagai hadiah perpisahan. Aku tahu, kau masih menunggu tulisan-tulisan kepedihan dariku. Karena dari dulu, kau menyukai caraku menggambarkan kesedihan. Barangkali, itu juga yang membuat kau jatuh cinta, sebelum akhirnya kau memorak-porandakan dada.
Aku tak pernah menyimpan dendam untuk itu, aku tahu kau tak sekalipun berniat mengakhiri semua rencana. Ada tangan lain yang kita jarang sadari, jika keberadaannya mampu melenyapkan segala, hingga yang tersisa hanya luka dan waktu sebagai penawarnya.
Kehidupan masih aku jalani, hari-hari seperti cepat berganti. Kadang tiada penyemangat, kadang tiada penopang saat raga memaksa untuk rapuh dan terjatuh. Aku rindu orang sepertimu, orang yang tahu cara membuat yang bersedih kembali tertawa, cara meredam amarah menjadi tertawa renyah. Itu salah satu mengapa sampai sekarang, sulit sekali untuk menjatuhkan perasaan pada ia yang bukan.
Aku merindukan sosokmu, sosok yang melengkapi hari. Tiada pernah sekalipun aku berniat melukaimu, kau pemberi rasa nyaman yang aku butuhkan. Tidak pernah membuat keraguan, tapi sayang, semua hanya tinggal kenang. Yang sering aku nikmati, dengan secangkir kopi, juga puisi kesedihan yang telah rapi tersimpan.
Sesekali aku ingin sekali tahu kabarmu, ingin sekali menyapamu lagi. Aku tak pernah ingin kita asing begini, aku tak mengharapkan kita harus saling melupakan.Â
Andai waktu bisa diputar, mungkin aku tak akan membiarkanmu jatuh ke pelukan orang lain, andai sedikit saja kau mau menunggu sudah dipastikan aku akan membawamu ke penghulu. Tapi aku tahu, takdir memang tak setuju untuk kisah kita. Ia memberikan kita perpisahan lengkap dengan tangisan perpisahan.
Kau terlanjur menerima pinangan orang lain, meski meronta kau tak pernah bisa lepas dari jeratnya. Sepucuk surat undangan kau layangkan, lengkap dengan isak penyesalan dan saling menyalahkan, ketika ego memainkan peran, aku pun kau tinggalkan.Â
Sejak perpisahan itu terjadi, kita menjadi sepasang yang sama-sama menyesal. Terus bertanya, mengapa bisa? Janji-janji yang pernah bersemi kini hanya menyisa hujan dan membasahi pipi, foto-foto yang masih tersimpan itu memedihkan mata, membangunkan lagi luka, harapan-harapan yang pernah kita bayangkan kini jadi bom waktu yang ledakannya mampu membuat rapuh.
Kuharap kau bahagia, meski bagiku kau adalah apa yang abadi mengalir pada nadi. Kau masih hal menyebalkan karena berulangkali gagal aku lupakan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”