Teruntuk Temanku yang Susahnya Bersamaku tapi Senang-senangnya sama Orang Lain

Susahnya sama aku, senangnya sama orang lain

Hai, temanku!

Advertisement

Baru saja ku melihat Instagram Story-mu yang menampilkan foto dirimu sedang bercengkrama dan bersenang-senang bersama sejumlah temanmu dan … oh! Ternyata mereka semua adalah orang yang aku kenal. Bahkan kita semua dulu satu sekolah di kelas yang sama. Ehm, kenapa kamu tidak serta mengajakku ya? Aku kan dulu teman sekelasmu juga. Hehe :)

Belum juga terjawab rasa penasaranku, lagi-lagi aku disuguhkan pemandangan yang bikin iri relung hatiku yang terdalam. Kau terlihat bahagia sedang memeluk seorang teman dengan disertai caption “Terima kasih telah membantu dan membersamai prosesku dalam mencari pekerjaan hingga akhirnya aku diterima di PT. XXX … “ Sebentar, sebentar, bukankah minggu lalu aku yang membantumu mencarikan lowongan pekerjaan di PT tersebut? Kenapa justru dia yang kamu ucapkan terima kasih? Memangnya, apa kontribusi dia dalam pencarian pekerjaanmu? Apakah jangan-jangan dia orang dalam?

Oh ya, beberapa waktu yang lalu kamu mengirim pesan ke Whatsapp-ku. Dan kamu mengeluhkan perihal gebetan yang kamu taksir jadian sama cewek lain. Akulah yang selalu menjadi ‘tempat sampah’ kala kamu ingin ‘membuang’ semua keluh kesahmu. Akulah satu-satunya orang yang rela berjam-jam mendengar ocehanmu tanpa mengeluhkan kupingku yang sebenarnya sudah memanas. Akulah orang yang rela terbangun di dini hari demi membalas chat-mu yang terkadang tiba-tiba datang tanpa kenal waktu dan kuota.

Advertisement

Tetapi melihat kenyataan di depan mataku, bahwa aku tidak pernah sekalipun terlibat dalam acara senang-senangmu, satu sisi hatiku tidak bisa berbohong. Aku juga ingin menjadi salah satu orang yang hadir merayakan kebahagiaanmu. Aku juga ingin ‘diakui’ sebagai teman terbaikmu.

Oh, mungkin saja ada yang tidak aku ketahui tentang mereka. Mungkin saja mereka memang baik kepadamu. Tapi, apakah mereka juga hadir di saat-saat terburukmu? Di saat-saat terpurukmu? Di saat kamu sedang jatuh-jatuhnya? Kamu bahkan pernah berkata bahwa aku adalah satu-satunya sahabat yang mau mendengarkan curhatanmu. Kamu berkata bahwa telingakulah yang paling kuat menangkap celotehan-celotehanmu. Lalu mereka? Mereka itu apa? Apakah mereka tidak kuat mendengarkan ceritamu yang terkadang konyol? Kalau iya, kenapa justru mereka yang ada di sampingmu di saat bahagiamu?

Advertisement

Oh, bukan! Bukannya aku meminta balas budi atas kebaikan yang pernah aku berikan. Maaf-maaf saja, aku bukan orang yang senang menghitung-hitung kebaikanku kepada orang lain. Tetapi dengan caramu mempublikasikan pengkhianatan (begitu aku menyebutnya) secara terang-terangan, jelas saja hatiku meradang. Aku yang seharusnya bersamamu merayakan hari itu, bukan mereka yang bahkan tidak berkontribusi apapun.

Mungkin kamu belum mengetahui bahwa dikhianati oleh sahabat sendiri itu jauh lebih menyakitkan dari pada dikhianati oleh pacar. Serius. Aku tidak mengarang-ngarang kalimat ini. Dikhianati oleh pacar yang jelas-jelas brengsek berkhianat di belakang mungkin sudah biasa dirasakan oleh sebagian besar wanita. Solusinya, tinggal PDKT dengan cowok baru lalu habis perkara.

Tetapi, lain cerita jika dikhianati oleh sahabat sendiri. Seseorang bisa bersahabat karena ada banyak kecocokan di antara mereka. Mencari orang yang benar-benar klop dengan kita itu sesungguhnya sangat sulit. Seseorang bisa saja hanya memiliki satu teman atau sahabat selama bertahun-tahun atau bahkan selama hidupnya karena memang hanya sahabatnyalah yang bisa mengerti dirinya. Maka dari itu aku katakan dikhianati oleh sahabat sendiri itu memiliki luka tersendiri.

Namun, dari dirimu aku bisa belajar bahwa tidak semua kebaikan akan dibalas juga dengan kebaikan. Atau aku tidak ikhlas? Ya, mungkin saja. Keikhlasan hati seseorang siapa yang tahu? Tetapi, melihat riwayat persahabatan kita yang sudah berjalan belasan tahun rasanya kamu sudah tahu bagaimana tabiatku, baik buruknya aku, sifat terjelekku. Dan begitupun sebaliknya, aku sudah tahu seluk belukmu bahkan sudah menganggap orang tuamu sebagai orang tuaku sendiri. Namun, baru kali ini aku merasakan pengkhianatan yang membuatku bertanya-tanya.

Sekalipun perlakuanmu terhadapku sangat tidak menyenangkan, tidak pernah satu kalipun terbesit dalam otakku untuk membalasnya dengan keburukan pula. Bahkan, aku berdoa semoga kamu selalu bahagia walau tanpa aku di sampingmu. Biarlah aku tidak pernah diikutsertakan dalam setiap perayaan kebahagiaanmu. Tetapi, aku akan tetap sedia disini jika suatu saat kamu memerlukan bantuan. Anggap saja aku adalah 911-mu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Masih berusaha untuk menulis ditengah kesibukan mengurus anak