Manusia diciptakan berpasang-pasangan oleh Yang Maha Kuasa. Hampir seisi bumi sepakat dengan pernyataan tersebut. Walau ada manusia yang sampai akhir perjalanan hidupnya tidak menikah, ini dianggap sebuah pengecualian dengan alasan masing-masing.
Menikah adalah menyatunya dua insan dalam sebuah kehidupan yang baru dengan segala perbedaan yang ada. Meski sudah lama berpacaran, ternyata setelah menikah banyak hal baru yang terungkap. Pada umumnya hal baru itu adalah sifat-sifat buruk yang selama ini disimpan, baik laki-laki maupun wanitanya.
Menikah bukan lagi hanya persoalan jalan-jalan berdua, belanja berdua, makan berdua, saling tatap-tatapan, saling pegangan tangan, dan banyak lagi hal yang dilakukan bersama-sama yang rasanya dunia tidak akan pernah berakhir. Semua ini adalah kebahagian yang amat sangat menyenangkan. Rasanya ketika pacaran waktu seakan sangat cepat berlalu. Satu hari bersama rasanya seperti baru satu menit. Rasanya ingin terus bersama, jangan terpisah walau hanya semenit. Padahal orang pacaran harus berpisah, karena mereka masih beda rumah. Ketika pacaran, biasanya tidak akan dikenal kata pelit. Mereka akan rela mengeluarkan uang untuk kesenangan bersama. Walaupun kadang beberapa orang berkata pernah bertemu dengan pacar yang pelit. Tapi menurut analisis saya, kalau ada orang yang pelit sama pacarnya, itu berarti dia tidak mencintai pacarnya. Sepanjang pantauan saya, cinta tidak mengenal kata pelit.
Bagaimanakah setelah menikah? Apakah masih seindah kebersamaan berpacaran? Kalau kita amati di lapangan, menikah terkadang tidak seindah ketika berpacaran. Banyak yang akan berubah, akan sangat banyak kejadian di luar prediksi ketika kita masih merencanakan pernikahan. Yah, sebelum menikah sepertinya kita sudah sangat yakin hidup kita akan sangat sempurna setelah kita benar-benar diresmikan. Rasanya tidak sabar lagi supaya secepat mungkin bisa tinggal di rumah yang sama, tidak lagi perlu izin kepada orang tua kalau mau pergi kemana-mana. Bebas berdua ingin melakukan apapun, tidak lagi takut pulang kemalaman. Namun terkadang menikah tidak seindah seperti itu, tidak segampang itu.
Setelah prosesi pernikahan selesai, bulan madu selesai, muncul pertanyaan, mau tinggal di mana? Tetap tinggal bersama dengan orang tua sering menjadi pilihan terakhir. Padahal resiko terjadinya percekcokan sangat besar untuk pasangan yang baru menikah kalau tetap tinggal serumah dengan orangtua. Bayangan sebelum menikah mereka ingin satu atap berdua, padahal kenyataannya tidak. Di sini saja sudah kecewa. Persoalan lain yang bisa muncul kalau pasangan yang sudah menikah tetap tinggal bersama orangtua yaitu masalah pekerjaan rumah. Kalau mereka tinggal di rumah orang tua laki-laki tentu perempuan yang tadi baru menikah harus bekerja ekstra untuk pekerjaan rumah. Kalau tidak begitu mertuanya pasti rewel, paling parahnya lagi dijadikan bahan gosip ke tetangga kalau menantunya tidak beres. Maka yang jelas mereka tidak akan bisa bebas sebagaimana yang mereka harapkan.
Yah, kalau pasangan yang setelah menikah langsung pindah rumah, mereka tentu akan langsung diperhadapkan dengan kontrakan rumah, perabotan rumah, biaya listrik, biaya hidup sehari-hari, ditambah lagi kewajiban sosial seperti memenuhi undangan pesta nikahan dan banyak lagi deretan kewajiban yang muncul. Seberapa banyak pasangan yang ingin menikah sudah memikirkan semua itu? Tidak banyak. Pada umumnya pasangan yang mau menikah fokus merencanakan tempat bulan madu yang romantis.
Di lain sisi yang menambah peliknya kehidupan pernikahan adalah bagaimana supaya hubungan antara kedua belah pihak bisa seimbang. Tentu laki-laki punya keluarga, perempuan juga punya keluarga. Hal ini terkadang terasa sepele tapi efeknya sangat dahsyat menggoncang kehidupan rumah tangga. Dalam hal memberikan perhatian kepada keluarga kedua belah pihak, sering sekali terjadi kecemburuan. Maka tidak jarang perang suami istri akan terjadi kalau sudah seperti ini. Kalau perang suami istri sudah terjadi, biasanya disini sudah mulai muncul benih-benih penyesalan, bahkan ada beberapa pasangan yang baru menikah setelah ada cekcok langsung bilang menyesal dan maunya cerai saja. Memangnya menikah itu masih seperti berpacaran? Yang sedikit masalah langsung bilang “Oke kita putus”.
Persoalan yang lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan penghasilan. Kalau di dalam rumah tangga istri tidak bekerja, itu dianggap biasa, suami tetap harus menyetor ke istri. Bagaimana kalau tiba-tiba suami pengangguran? Oh, bisa gawat kalau sudah begini, siap-siap untuk dicerewetin tiap hari, akan langsung keluar kata-kata “laki-laki tidak bertanggungjawab”. Padahal ketika berpacaran walau pacarnya pengangguran tetap disayang, tetap dicinta. Bahkan ketika dulu masih berpacaran yang sering traktir adalah perempuannya.
Masalah keluarga akan semakin kompleks setelah sudah lahir si buah hati. Mulai dari biaya untuk susu anak, bagaimana cara mendidik anak, memenuhi kebutuhan pangan dan sandangnya, apalagi setelah sekolah. Butuh biaya yang besar untuk semua itu.
Seiring berkembangnya waktu juga mulai muncul kebosanan. Kebosanan yang diakibatkan oleh ruwetnya kehidupan rumah tangga. Mulailah si suami atau istri berandai-andai. Mereka membayangkan seandainya bukan mereka yang menikah, seandainya mereka menikah dengan seseorang yang dianggapnya lebih baik. Pada tahap ini suami sering melihat rumput tetangga lebih hijau, si istri mulai melihat kantong si om yang lebih tebal. Tidak jarang kita mendengar pasangan suami istri tetap mempertahankan keluarga hanya karena anak-anak mereka, atau karena takut sama Tuhan, atau karena malu. Yang pasti bukan lagi alasan cinta sebagaimana cinta yang sangat indah di masa pacaran. Rasanya cinta itu hanya omong kosong kalau sudah seperti ini.
Kita kembali ke pertanyaan, apakah menikah itu seindah berpacaran? Berpacaran dengan menikah sebenarnya kronologi kehidupan yang dilewati oleh manusia. Seberapa lamapun kita berpacaran, tidak menjamin kebahagiaan dalam pernikahan. Pernikahan membutuhkan tanggung jawab bersama. Setiap orang yang sudah menikah harus mempertanggungjawabkan pilihannya, harus menerima kekurangan pasangannya. Terkadang memang menikah itu tak seindah berpacaran, oleh sebab itu banyak orang yang menikah masih ingin berpacaran, dan orang yang berpacaran ingin sekali menikah. Hidup memiliki fasenya masing-masing. Tuhan sudah memberikan kita waktu untuk berpacaran, kita diijinkan menikah. Meskipun terkadang kehidupan pernikahan tidak seindah berpacaran, jangan pernah menyesali pernikahanmu. Tentu menikah itu lebih berat, lebih repot, tapi disitulah kualitas seseorang teruji.
Jikalau tidak ingin merasakan dicereweti istri atau suami, tekanan ekonomi untuk kehidupan sehari-hari, percekcokan, harus menghormati suami atau istri, mengikuti aturan suami atau istri, mendengarkan nasehat mertua, salah paham dengan mertua, sebaiknya jangan menikah. Semua orang yang menikah wajib melalui semua itu secara silih berganti. Bersyukurlah karena dulu kita pernah pacaran, tapi lebih syukurilah kehidupan pernikahanmu karena itu wajib kita lalui. Kita semua bertanggungjawab atas pernikahan kita. Kita sendiri yang membuat pernikahan kita bahagia, bahkan bisa lebih indah dari berpacaran.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”