Pernah menonton film Inside Out yang dirilis tahun 2015 lalu? Film animasi tersebut sangat populer dan mendapatkan banyak penghargaan di tahun rilisnya. Saat melihatnya pertama kali, aku tidak begitu mengerti maksudnya. Namun setelah menontonnya untuk kedua kali, aku baru memahami pesan yang ingin disampaikan. Keseluruhan film tersebut sangat menarik. Film tersebut mencoba menjelaskan proses rumit dalam otak yang mendasari perilaku manusia, namun dengan cara yang sederhana dan menyenangkan.
Ada satu hal yang paling menarik yang aku dapat dari film tersebut yaitu tentang peran "sadness". Salah satu karakter emosi berwarna biru yang berbadan gembul dan sering berjalan berkeliling tanpa semangat. Dia mudah baper dan menangis, melihat suatu hal selalu dalam kacamata negatif, dan sering membuat bola kenangan yang disentuhnya berubah menjadi kesedihan. Itulah mengapa dia sering diminta menjaga jarak dan tidak diberikan kewenangan untuk ikut mengontrol emosi oleh teman-temannya (karakter emosi yang lain). Dia disisihkan. Dia dianggap tidak memberikan pengaruh baik dan hanya mengacaukan semua usaha mereka untuk menjaga manusia tetap bahagia.
Saat melihat apa yang terjadi pada Sadness, aku menjadi sadar. Berkaca pada memori kehidupan yang telah terlewat juga hasil observasi apa yang dialami orang sekitar. Ternyata, memang tanpa sadar manusia sering mengabaikan emosi sedih. Ya, karena manusia pada dasarnya memang ingin selalu merasa bahagia dalam hidupnya. Perasaan bahagia dianggap sebagai suatu prestasi dalam hidup. Definisi bahwa hidup kita akan dinilai sempurna dan baik-baik saja. Kita memang selalu ingin tampak baik dan tidak terlihat lemah dihadapan orang lain. Kita ingin selalu Joy (kesenangan) yang memegang kontrol hidup kita.
Sementara itu, tanpa sadar kita menganggap bahwa dia (Sadness) adalah bentuk kelemahan, ketidakberdayaan. Emosi yang menyakitkan yang tak ingin kita rasakan barang sedetikpun. Seolah hadirnya membuat hidup kita keseluruhan tampak buruk. Kita tidak membiarkannya mengambil kontrol, karena dia membuat kita merasa tampak buruk dihadapan orang lain. Kita malu jika hidup kita tampak penuh ketidaksempurnaan.
Ketika emosi sedih datang yang kita lakukan adalah berusaha mengabaikannya. Berpaling darinya. Mengalihkannya dengan berbagai kegiatan yang memicu kesenangan. Berwisata, menonton film, hang out dengan teman, makan enak, main game, dan lain sebagainya. Berusaha menguatkan diri dan berkata pada diri sendiri
Aku harus kuat. Aku nggak boleh sedih. Sedih hanya untuk mereka yang lemah. Kalau aku sedih, berarti aku kalah.
Sekilas, itu adalah kata-kata indah yang memotivasi diri. Tapi tanpa sadar, kita sudah menekan emosi sedih tadi. Mungkin usaha mengalihkan tadi membuat kita lega dan melupakan apa yang sedang terjadi beberapa saat. Kita bisa tertawa sejenak seolah hidup berjalan normal. Namun, sering kali emosi sedih masih terus datang, meski kita sudah mengabaikannya.
Di akhir hari setelah kita bahagia hang out dengan teman atau tertawa terbahak-bahak menonton acara komedi favorit kita. Kita akan teringat lagi apa yang kita abaikan tadi. Apa yang kita berusaha kabur darinya. Ya, kesedihan hadir lagi dan membuat diri kita merasa lebih buruk dari sebelumnya. Pernah merasakan hal serupa?.
Menahan emosi, alih-alih melepaskannya hanya akan membuatnya lebih buruk.
Aku pernah merasakan hal itu. Semakin aku mengabaikannya, berusaha memborbardir diri sendiri dengan kata-kata motivasi bahwa "aku kuat", "jika menangis berarti aku lemah", "aku baik-baik saja". Bukan malah lega, dadaku semakin sesak. Aku semakin terkungkung memikirkan masalah itu. Aku tidak mampu beraktivitas secara normal.
Brene Brown, seorang peneliti yang menjadi pembicara TedTalk dengan judul The Power of Vulnerability, mengatakan bahwa
Kita hidup di dunia penuh kerentanan (vulnerable world), dan satu cara kita menanggapinya adalah dengan mematirasakan kerentanan itu. Masalahnya, kamu tidak bisa secara selektif mematirasakan emosi. Kamu tidak bisa mengatakan "Ini adalah hal buruk, ini kerentanan, ini rasa duka, ini rasa malu, ini rasa takut, ini rasa kecewa. Aku tidak mau merasakannya. Aku akan meminum beer dan banana nut muffin. Aku tidak mau merasakannya." Dan hal itu menjadi siklus yang berbahaya.
Begitu pula kesedihan adalah suatu yang dianggap kerentanan. Kita tidak bisa mematirasakannya atau menolak untuk merasakannya. Jika kita melakukannya, kita hanya kabur sejenak darinya. Ibarat ada seorang penagih utang yang datang ke rumah kita. Semakin kita mengabaikannya, penagih utang itu akan mengetuk rumah kita makin keras. Berkata semakin kasar dan membuat kepala kita semakin pusing. Berbeda jika saat dia datang, kita langsung membayarkan hutang kita atau paling tidak memberikan penjelasan padanya.
Jadi lain kali jika kamu sedang ditimpa kejadian yang membuatmu sedih, terimalah kesedihanmu.
Terimalah bahwa kamu memang sedang tidak merasa baik-baik saja. Jika memang ingin menangis, berilah dirimu waktu untuk menangis. Jika sedang ingin sendiri, menyendirilah. Rasakan kesedihan itu. Dan biarlah dia mengalir lepas bersama setiap tetes air matamu.
Memiliki beberapa hari penuh tetesan air mata tidak mendefinisikan bahwa seluruh hidupmu buruk.
Hari-hari biru itu hanyalah beberapa hari dari sekian lama kehidupanmu. Dia hanya bagian kecil dari hidupmu.
Menerima apa yang kamu alami dan rasakan, mungkin saja adalah titik balik pembaharuan hidupmu. Seperti akhir dari cerita Inside Out, dimana Sadness akhirnya menjadi pahlawan yang menyelamatkan Riley. Membuat hidup Riley lebih baik dan membuat pribadinya lebih kuat.
Hal itu juga aku rasakan. Saat aku membiarkan kesedihan mengambil alih. Membiarkan aku meluapkan emosi (dengan cara yang aman). Lama kelamaan, dadaku tak lagi sesak. Aku merasa lega. Dan aku mulai mencari hikmah pembelajaran dari kejadian yang aku alami. Aku merasa lebih baik sejak itu.
Cerita dalam Inside Out maupun apa yang aku rasakan, ternyata setelah diperhatikan, sesuai dengan teori tahapan berduka dan kehilangan Kubler Ross. Bahwa dalam berduka dan kehilangan ada 5 urutan tahapan yaitu denial (menolak), anger (marah), bargaining (tawar-menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan). Seorang yang sudah mencapai tahap acceptance (penerimaan) berarti dia sudah menerima apa yang dialaminya dan siap untuk melanjutkan hidup lebih baik. Dari urutan tahapan itu, kita tahu bahwa tahap acceptance ada setelah tahap depression. Dimana saat kita depresi kita akan merasakan kesedihan yang luar biasa hingga kita menangis berhari-hari.
Memang kita perlu merasakan semua tahapan, termasuk tahap depression untuk bisa melanjutkan ke tahap acceptance dan merencanakan kehidupan yang lebih baik.
Sementara itu, denial ada di tahap pertama proses berduka dan kehilangan. Dimana di tahap itu, kita menolak bahwa kejadian buruk memang sedang menimpa kita. Kita berusaha mengatakan bahwa hidup kita baik-baik saja padahal sebenarnya tidak. Jika tidak mencapai tahap acceptance, masalah kita akan semakin mengikat diri kita. Menjadikan aspek kehidupan kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Bersedih, menangis, merasa lemah bukan menjadikan hidup kita buruk secara keseluruhan. Semua itu hanya mengingatkan kita bahwa hidup kita memang tidak sempurna, begitu juga hidup orang lain. Karena kita memang manusia yang tidak sempurna. Memiliki kelebihan, namun juga kelemahan. Dan selama hidup di dunia, kesedihan dan kebahagiaan akan datang secara bergantian kepada kita.
Nikmatilah masa-masa sedihmu, seperti kamu menikmati masa bahagiamu.
Mungkin masa-masa keterpurukan kita adalah pembelajaran untuk melompat lebih tinggi lagi. Mungkin dengan merasakan kesedihan, kita akan lebih menghargai nikmatnya kebahagiaan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”