Terbentur dan Terbentuk

Sebuah kisah dari manusia yang berproses bersama para saudarinya

Serviam atau "Saya Mengabdi" adalah kata-kata yang selalu saya pegang. Kata-kata itu merupakan motto tempat saya mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), yaitu di sekolah homogen khusus putri di Jalan Pos, Jakarta, Santa Ursula Jakarta. Oleh sebuah institusi pendidikan yang mendapat pandangan sebagai sekolah prestisius dan disiplin, saya ditempa untuk bisa menjadi seorang perempuan berjiwa pemimpin. Kata orang, isilah masa mudamu dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan.

Advertisement

Menurut banyak orang yang saya temui, bersekolah di sekolah homogen dengan peraturan ketat bukanlah salah satu hal menyenangkan yang dimaksud. Akan tetapi, ada banyak hal yang membuat saya merasakan kebahagiaan yang saya yakin tidak bisa saya dapatkan di tempat lain selain di tempat ini yang kemudian saya sebut sebagai rumah dan bersama orang-orang di dalamnya yang kemudian saya sebut sebagai keluarga. Enam tahun pendidikan menengah pertama dan atas bukanlah waktu yang singkat. Meskipun begitu, enam tahun juga tidak terasa cukup untuk merasakan kebersamaan bersama keluarga saya di tempat ini.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Sekolah Menengah Pertama, rasa ragu dan takut muncul di benak saya. Apakah benar ini keputusan yang tepat? ucap saya dalam hati. Saya adalah anak perempuan yang pemalu. Dulu, saya tidak pernah bisa memulai percakapan karena terlalu takut untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Karena sifat saya yang pendiam dan pemalu, saya tidak berani untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya saya ingin lakukan. Namun, waktu berlalu. Sekolah ini memaksa saya untuk keluar dari zona nyaman. Pemaksaan ini bukan sebuah tindakan kekerasan tanpa cinta kasih. Dalam proses ini, saya diberi bimbingan dan perhatian. Saya diajak untuk bisa menjadi versi terbaik dari diri saya setiap hari.

Pada tahun kedua di Sekolah Menengah Pertama, saya terpilih untuk menjadi None Sanur, sebuah ajang lomba sejenis kontes kecantikan yang diadakan setiap tahunnya di sekolah saya sebagai perayaan Hari Kartini. Karena saya terpilih untuk menjadi Juara 1 None Sanur, saya memiliki wewenang untuk bisa menginisiasi dan menjalankan sebuah program kerja bersama Badan Pengurus OSIS. Saat itu, program yang saya inisiasi berupa donasi buku layak baca ke Rumah Belajar Wamena di Papua. Alangkah senang hati saya karena buku yang terkumpul dari tiga angkatan di sekolah saya adalah sebanyak 110 kg.

Advertisement

Saya merasa senang karena bisa mengajak teman-teman saya untuk berbagi kebahagiaan dengan saudara-saudara kami yang ada di Wamena, Papua. Akhirnya, pada tahun terakhir Sekolah Menengah Pertama, saya berhasil untuk lulus dan diterima di Sekolah Menengah Atas Santa Ursula Jakarta dengan peminatan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui jalur tanpa tes atau jalur prestasi yang diberikan untuk mereka yang memiliki peringkat 10 teratas angkatan. Perjalanan baru saya segera dimulai kembali.

Ekspektasi saya akan dunia Sekolah Menengah Atas sangatlah tinggi. Pengalaman baru dan orang-orang baru yang akan saya temui membuat saya sangat bersemangat. Akan tetapi, pandemi sedikit membuat angan-angan tersebut menghilang meskipun tidak sepenuhnya. Di masa pandemi, saya lebih banyak berpikir. Hal ini mungkin diakibatkan oleh waktu yang saya habiskan lebih banyak sendiri karena tidak bisa bertemu secara langsung dengan teman-teman saya.

Advertisement

Saya mengalami kesulitan dan masalah dalam kesehatan mental karena biasanya saya selalu bertemu dengan banyak orang dan teman-teman saya di sekolah membuat hati saya merasa lebih baik. Saya mendapatkan energi dengan bertemu langsung dengan teman-teman saya. Ketika hal itu tidak bisa saya lakukan lagi karena pandemi, saya merasa sedih dan hampa. Akan tetapi, hal ini bukan berarti saya memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga saya di rumah.

Hasil dari pemikiran saya selama waktu sendiri saat pandemi adalah keyakinan saya bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki misi hidupnya masing-masing. Ada misi yang harus dilaksanakan dan diselesaikan oleh masing-masing manusia dan misi orang satu dengan orang yang lain tidak sama. Langkah saya yang selanjutnya adalah saya harus berpikir, Apa misi hidup saya? Apa yang bisa saya lakukan agar saya bisa mengabdikan diri bagi sesama dan bermanfaat bagi orang lain? Hal ini berakhir pada keputusan saya untuk mendaftarkan diri untuk masuk ke salah satu dari empat organisasi besar di sekolah saya, yaitu Dewan Kerja Pramuka.

Awalnya, niat ini kurang direstui oleh orang tua saya karena mereka takut performa akademik saya akan menurun. Akan tetapi, di lubuk hati yang paling dalam, saya ingin sekali untuk berkontribusi untuk sekolah dan teman-teman saya, seperti motto sekolah saya, Serviam. Akhirnya, saya tetap mendaftarkan diri dengan pilihan jabatan pertama, yaitu Pemangku Adat atau Wakil Ketua Dewan Kerja Pramuka. Saya tidak ingin untuk menjadi pemimpin utama organisasi tersebut karena saya tahu bahwa saya tidak layak untuk posisi tersebut. Akan tetapi, ketika pengumuman pelantikan empat organisasi besar di sekolah saya, saya diberikan kepercayaan untuk menjadi Pradana atau Ketua Dewan Kerja Pramuka. Rasa takut langsung menyelimuti hati saya. Meskipun begitu, hati ini juga tidak bisa berbohong bahwa ia merasakan rasa senang. 

Satu tahun kepengurusan diakhiri dengan puas. Meskipun ada banyak keterbatasan di masa pandemi, saya dan rekan-rekan saya di Dewan Kerja Pramuka berhasil untuk menjalankan tiga program kerja baru yang sebelumnya hanya menjadi wacana dan angan-angan bagi periode-periode sebelumnya. Saya merasa bangga dengan rekan-rekan kerja saya di Dewan Kerja Pramuka dan tiga organisasi besar lainnya. Kami berhasil melalui masa sulit pandemi karena dikuatkan oleh semangat pengabdian bagi sesama. Ketika sudah waktunya untuk demisioner, saya berharap kami semua tetap bisa menjadi orang-orang penuh semangat saat sudah waktunya bagi kami untuk melanjutkan perjalanan kami ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Enam tahun terakhir sungguh luar biasa. Pengalaman terbentur dan terbentuk sungguh terasa nyata. Keluarga Santa Ursula Jakarta tidak terikat oleh darah. Namun, kesatuan semangat dan mimpi lah yang mampu membuat kami untuk berjalan berdampingan. Ketika ada yang merasa kesulitan, anggota keluarga yang lain datang mengulurkan tangan. Semoga para putri Santa Ursula Jakarta, termasuk saya, bisa menggapai cita-cita menjadi perempuan kuat berjiwa pemimpin dan berlandaskan semangat pengabdian bagi sesama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis