Sebelum peristiwa manis itu dimulai beberapa bulan lalu, aku tahu hari itu akan cepat berlalu. Maka aku merekam segalanya dalam ingatan. Sebut saja ini firasat, sebelum perpisahan bergerak lebih cepat.
Senyummu itu sumber kekagumanku, ratusan hari aku mengamati gerak gerikmu dan lagi lagi aku menikmati hal yang satu itu.
Ya, lagi-lagi tanpa kamu tahu.
Satu hari dimana semesta mengijinkan kita bertemu kuanggap itu sebagai pelabuhan tempat segala peluhku membunglon menjadi pusaka ampuh tempat kutimba semangatku. Dan hari itu aku sebenarnya tidak ingin tahu. Karena semesta mengirimkan lagi bahasa-bahasa yang tak kumengerti, seperti kau ingin terculik pergi.
Semula, semua berjalan lebih dari baik-baik saja. Senyummu dari hati, senyumku lebih gembira lagi. Namun, bahagia yang berlebihan selalu punya harganya sendiri. Barangkali dengan kepergianmu, baru bisa kulunasi.
Kamu dekat tapi terasa lebih jauh dari yang terlihat. Kamu ada tapi terasa lebih tiada dari kenyataannya. Ah, bahkan perasaanku saja sudah bisa mengira, bahagia di dekatmu seperti ini bukan untuk selamanya. Semesta semestinya tahu, menoleh pada yang selain kamu bukan keahlianku. Semesta sudah pasti tahu, memang langkahku tak seharusnya mengarah padamu.
Aku tak selalu mengerti semesta, dengan segala permainannya. Aku lebih tak mengerti kamu, dengan perhatian sementaranya. Hingga akhirnya aku semakin tak mengerti tentang kebersamaan yang belum tergapai, namun sudah harus selesai. Kamu hadir tiba-tiba, tanpa aba-aba. Kemudian pergi tanpa mengucap apa-apa. Paling tidak, beri aku pemberitahuan, supaya aku tahu hatimu telah pindah haluan. Paling tidak, beri aku tamparan, supaya aku tahu bahwa kita sudah tak lagi miliki harapan.
Hari ini adalah saksi dari ratusan hari perjalanan hati menginginimu jadi penghuni. Ingin rasanya meleraikan pikirku tentang ketidakmungkinan yang mengada-ada dalam kepala. Tapi korneaku bekerja terlalu baik, mata menangkap kamu dan dia bercengkrama dengan mesra. Mata yang biasa beradu pandang hanya denganku kini dengan nakalnya kau gunakan untuk hanya memandangnya, ya berdua dengannya. Aku memang seharusnya tidak berhak untuk jatuh sesakit ini tapi sakitku lebih perih dari serangkai aksara ini. Aku tidak apa-apa dengan retaknya hati yang terlalu tiba-tiba. Tapi mengapa harus lahir beberapa bulan lalu yang begitu manis? Itukah tujuanmu menyakitiku dengan manis?
Ingin rasanya lari sejauh mungkin, menghindar dari pemandangan di depanku. Dan terjun dalam lautan airmata sebebas-bebasnya. Selepas-lepasnya.
Apa ini yang seharusnya terjadi padaku? Yang seperti ini? Mencintai tak tahu berhenti, tapi selalu ditinggal ketika rasanya hampir memiliki. Menjadi yang pintar mengobati pun percuma, jika aku kelak gagal di cinta yang lain lagi. Tapi aku tak mau yang lain. Sebab yang lain tentu bukan kamu.
Apa ini maksud daripada semesta? Memberikan semacam firasat, supaya aku mampu melepasmu yang bukan lagi untuk sesaat? Apa ini alasan di balik segala kedekatan? Supaya aku menyadari bahwa yang sudah lama akrab, belum tentu bagian dari sebuah jawab?Â
Bahagiakah kamu bersamanya? Sebab, sepertinya sudah tak perlu lagi kuminta, agar kamu mendapat apa yang sudah kamu punya. Benar atau pun tidak, mulailah jalani hari-hari barumu dengannya. Biar hati kecil mulai terbiasa untuk melepas dengan rela. Biar tak perlu kucari-cari apa yang telah tiada.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”