Umur 21 tahun untuk masa kini mungkin waktu yang terlalu muda untuk memulai bahtera rumah tangga. Keinginan untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, meraih impian-impian sudah pasti menjadi keinginan kita semua. Tapi memang terkadang takdir tidak selalu sesuai dengan alur cerita yang kita inginkan. Ketika orang di luar sana terlihat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, ada yang harus menelan ludah dan mengalah demi kebaikan semua.
Kembali ke tahun 1980-an, saat itu umurnya baru 21 tahun ketika ia memutuskan untuk menikah dengan sang suami, yang saat itu baru mulai bekerja. Seperti yang lain seumurnya, ia pun ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Tapi karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan, ditambah ia merupakan anak pertama dari 5 bersaudara, ia merasa harus mengalah agar adik-adiknya yang lain bisa bersekolah. Ia pun memutuskan untuk menikah demi mengurangi beban keluarganya.
Menikah di usia muda, ia memulai semuanya benar-benar dari tidak punya apa-apa. Mengikuti suami ke tempat yang jauh dan terpencil, tinggal di rumah gubuk, ular lah yang menjadi tamu pertamanya. Tepung terigu, telur, dan air adalah bahan yang sangat berharga dan mahal baginya. Dalam bayangnya, ia pikir dengan menikah akan membuat kehidupannya menjadi lebih baik, setidaknya bisa makan enak tanpa harus mengalah memikirkan adik-adiknya, tapi ternyata perjalanan hidup yang sebenarnya baru saja dimulai.
Anak pertama dari seorang ibu yang baru berusia 16 tahun ketika melahirkannya, ia mendapatkan perhatian yang minim dari wanita yang melahirkannya. Ayahnya bekerja jauh dari rumah dan pulang beberapa bulan sekali, membuat waktu yang bisa dihabiskan bersama terbatas. Belum lagi ketika adiknya terus bertambah, dari umur masih kecil ia harus membantu keluarga dalam pekerjaan rumah dan membantu menjaga adiknya. Waktu bermain bersama teman menjadi waktu istirahat baginya, tapi tetap harus sembari membawa adik-adiknya. Beranjak remaja, ia harus tinggal bersama saudara yang berjanji akan membiayai kuliahnya. Tapi pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Alasannya? Karena merasa sedih setiap kali ia makan enak, tidur nyenyak di kamar yang mewah, ia selalu teringat keluarganya di rumah yang hidup seadanya.
Hidupnya selalu penuh cerita. Pindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Mengalami keguguran dua kali berturut-turut, mengahadapi maut. Memutar otak untuk bisa memberikan nutrisi yang baik bagi anak-anaknya, memberikan tempat berlindung yang nyaman, meskipun serba keterbatasan. Berusaha membesarkan ketiga anak tanpa bantuan siapapun, membantu suami menyelesaikan pendidikannya, menjadi ibu dan istri yang dibutuhkan oleh mereka, semua ia lakukan dengan baik. Selama itupun, ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Dalam pikirannya, yang terpenting keluarganya sehat dan aman.
Wanita itu kupanggil dengan sebutan ibu. Ialah yang mengandungku, melahirkanku, merawatku dan menjagaku hinggi kini. Memastikan aku hidup dengan nyaman tanpa kekurangan. Memastikan aku hangat di malam hari dan sejuk di siang hari. Memastikan selalu ada makanan yang tersedia setiap saat. Selalu memberikan pelukan hangat dan senyuman manis, agar anak-anaknya merasa nyaman dan bahagia.
Terlepas dari segala kesulitan yang ia hadapi dari kecil, ibu tidak pernah sekalipun ingin melihat anak-anaknya kesulitan. Ketika ada anaknya yang sedih, maka ibu merasa sedih dua kali lipat. Ketika anak-anaknya terlihat sedang dalam tekanan, ibu akan memberikan pelukan hangat dan menyediakan berbagai macam makanan sebagai bentuk love languagenya kepada kami. Padahal hidup ibu dari dulu tidak pernah mudah, tapi ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya.
Kebohongan yang paling sering ibu katakan adalah bahwa ibu baik-baik saja. Ketika ada makanan mahal yang jumlahnya sedikit, ibu akan bilang kalau ibu tidak suka itu, padahal sebenarnya itu makanan kesukaan ibu yang sudah ibu inginkan sejak lama.
Ibu selalu terlihat dan ingin terlihat baik-baik saja dihadapan anak-anaknya, bersedia mendengar berbagai cerita keseharian anak-anaknya. Tapi sebenarnya aku tahu, saat malam tiba, ketika semua lampu mati, dalam keadaan sunyi, air mata ibu mengalir deras.
Ibuku selalu memberikan yang terbaik kepada sekelilingnya, tapi masih saja ada yang memfitnahnya, menyebarkan berita yang tidak benar tentangnya, menjauhinya, memusuhinya, dan meninggalkannya ketika keluarga kecil kami terjatuh. Padahal dari kecil ibuku sering mengalah. Ibuku selalu menyediakan yang terbaik setiap kali ada yang berkunjung ke rumah kami meskipun dalam keadaan tidak punya uang sekalipun. Ibuku selalu membantu mereka yang membutuhkan bantuan, selalu hadir ketika dibutuhkan, tapi ketika ibuku membutuhkan mereka, tidak ada satupun yang datang. Begitu dalamnya luka ibu, tapi ibu tetap berdiri tegak hingga kini. Bahkan ketika mereka datang tiba-tiba tanpa diawali kata maaf atau sapa, ibu tetap membuka lebar pintu rumah. Itulah ibuku, yang tidak pernah mementingkan dirinya sendiri dan selalu penuh kasih sayang.
Kini ibu semakin tua, tubuh ibu semakin mengecil. Aku sedih melihat ibu masih harus mengahadapi kesulitan, luka ibu masih belum sembuh. Meskipun kini ibu belum bisa hidup dengan nyaman, meskipun kini masih sulit, aku dan kakak-kakakku berjanji, kami akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk ibu dan ayah. Semua hal indah yang belum pernah ibu dapatkan, akan kami berikan kepadamu. Maka dari itu, ibu dan ayah harus sehat selalu, ya. Izinkan kami anak-anakmu untuk membahagiakanmu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”