Senja itu tidak seperti biasanya, kali ini tampak lebih gelap dan mendung. Langit pun terlihat menguning pekat seakan tidak bersemangat menyambut malam. Tetapi kau masih saja duduk di sana, seakan terpaku pada debur ombak. Tak kau pedulikan lagi langit yang semakin gelap, pandanganmu tetap ke depan menatap kosong luasnya lautan. Tak terbaca olehku apa yang sedang kau pikirkan, hanya saja wajah seperti itu pernah terlihat sebelumnya.
Ditemani bintang dari kejauhan, kau terlihat nyaman dengan kesendirianmu. Tak mampu aku menembus pintu itu, karena masih kuingat jelas cerita terakhirmu padaku, tentang cinta tak berbalas yang telah menahun kau bawa dalam doamu.
Lalu aku?
Aku tak ingin mengganggu batasan itu, sama halnya dengan cinta yang kau ceritakan. Aku pun hanya mampu berdoa untuk kebahagiaanmu .
Tidak terlalu menyedihkan, aku adalah seorang pemimpi yang menyukai imajinasi. Jalan berkerikil sudah biasa ku lalui, apalagi sekedar kisah cinta seperti ini.
Sengaja tak kusapa sunyi itu, tak mengambil kesempatan dari rasa kehilangan. Karena mendapati cinta dengan keserakahan bukanlah menjadi sebuah tujuan. Percuma jika kelak aku bersamamu, tapi tak aku lihat kebahagiaan di wajah itu. Walau dingin terasa menusuk sampai ke tulang, namun aku masih sanggup berdiri lama untuk sebuah nama. Tak peduli jika ini menyakiti diri sendiri, karena ini tidak pernah mampu juga untuk berhenti.
Samar-samar kulihat raga itu mulai beranjak, perlahan melangkahkan kaki dan terlihat semakin mendekat. Lalu senyum tipis datar ia lemparkan dari kejauhan, ternyata ia telah mendapati keberadaanku sejak tadi. Terasa hangat, ketika ia memberikanku jabat tangannya seakan mengajakku untuk bangkit dari dudukku ini. Genggaman yang pernah aku rasakan sebelumnya, namun kini menjadi sedikit canggung dan membuatku bahagia, sepertinya berbeda dengan yang kau rasakan.
Kulihat wajahnya yang sendu itu, tampak basah di kedua sudut matanya. Ini membuatku sangat marah tapi sepatah kata pun tak berani aku tanyakan penyebabnya. Dalam diam, kita melangkahkan kaki menyusuri setapak jalan penuh kenangan. Masih kau genggam erat tanganku ini, seakan ada beban yang ingin kau bagi dan ceritakan.
Lalu untuk apa diam?
Bukankah kau tahu bahwa aku seorang pendengar yang baik?
Bukankah dahulu kau biasa berbagi denganku?
Ini tak lagi sama karena mungkin kau telah menyadari perasaanku. Jika benar, lalu apakah aku salah
Waktu berlalu begitu cepat, aku menyadari ketidaknyamananmu itu. Kuputuskan pergi menyusuri jalan kesendirianku. Menjauhi apapun yang bisa mengingatkanku padamu. Tapi sebelum ini benar-benar menghilang bersama harapanku, kutitipkan separuh hatiku untukmu. Jika tak bisa kau jaga sebagai cintamu, maka jaga lah sebagai hati seorang sahabat yang ia percayakan padamu.
Kini, entah berapa jauh jarak antara kau dan aku berada
Menahun tak lagi kupijaki tanah itu
Tak lagi kucari atau kudengar kabar tentangmu
Melanglang buana bersama kesendirianku
Akhirnya aku pun terbiasa dan melupakanmu
Kau tau? Awalnya ini seperti neraka bagiku, tapi tersadar bahwa ada hal yang lebih penting untuk aku perjuangkan. Bahwa cinta bagaikan pedang tajam yang membutuhkan sarung, jika tidak menemui yang tepat ia hanya akan melukai.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.