Tidak Ada Seleksi Alam Atas Kebahagiaan, Maka Bulatkan Tekad untuk Memutuskan Sebuah Pilihan

Tekad memutuskan pilihan bahagia

Kesadaran bahwa kita akan menuju ke masa yang sangat berat bukanlah ketakutan yang terjadi dalam semalam. Kita mungkin terlalu menggelembungkan harapan yang niraksi, sehingga rasanya hari demi hari semakin sulit untuk dilalui. Kita akan dihadapkan pada situasi di mana kita perlu membuat pilihan setiap hari. Bahkan memutuskan untuk tidak melakukan apa pun adalah pilihan, meskipun bukan yang paling produktif.

Advertisement

Dunia memberi gambaran bahwa hidup tak ayal seperti berlomba. Meski tidak melulu tentang siapa yang menang, namun selalu berkonotasi tentang siapa yang mampu melakukan sesuatu lebih dulu. Sebuah kenyataan yang memekik bahwa ternyata kita tidak bisa sepenuhnya lepas dari apapun yang ada di dunia -termasuk segala perlombaan di dalamnya-, bukan?


Namun, ada alasan yang bahkan lebih mendasar lagi mengenai "melakukan sesuatu lebih dulu", yaitu "seberapa penting kita melakukan semua itu?"


Sekarang pikiran kita berkecamuk dan mungkin jalan paling membingungkan yang akan kita temui adalah persimpangan. Kita tidak benar-benar tahu ke mana jalan akan menuntun, bergulat dengan permasalahan rumit tentang pilihan mana yang paling baik untuk dijalani; uang, pasangan, sahabat, pendidikan, karir, kegemaran, dsb. Uang memang membawa kebahagiaan, namun hanya sampai titik tertentu, dan selepas titik itu, uang tidak punya banyak makna. Kita juga paham betul banyak sekali hal berharga yang tak bisa kita simpan, seperti waktu dan kesempatan, lalu mengapa sedemikian keras untuk mencapai sesuatu yang lenyap nyaris secepat munculnya? Kita bisa memilih pasangan, teman, dan tetangga, namun mereka juga bisa memilih untuk meninggalkan kita. Kita meyakini premis bahwa pernikahan adalah pencipta kebahagiaan, bagaimana jika kebahagiaanlah yang menyebabkan pernikahan?. Kita bakalan kesulitan menelan fakta bahwa satu-satunya batas yang ada adalah ketidak tahuan kita sendiri.

Advertisement

Untuk menciptakan sebuah keputusan atas pilihan, kita perlu bertanya pada diri sendiri tentang apa yang menjadi tujuan dalam hidup dan mengetahui segala ketidaktahuan.


Nietzsche bilang jika kita punya "mengapa" untuk hidup, kita bisa menahan nyaris semua "bagaimana" yang seperti apapun.


Advertisement

Mulailah untuk berhenti menempelkan harapan kita ke kondisi material orang lain karena kita perlu melakukan analisis logis agar dapat menemukan nilai dan tujuan yang ingin kita raih. Sebuah ilustrasi mengenai hal ini yaitu, seseorang yang sekarat kehausan di padang pasir akan rela mengeluarkan berjuta rupiah hanya untuk segelas air, namun bagi dia yang tengah santai duduk di ruang keluarga sembari melahap roti isi daging apalah arti segelas air? Tentu, air adalah air, tetapi nilainya sangat bervariasi tergantung pada apa yang kita butuhkan. ini tentang menilai apa yang berharga bagi kita.

Dalam hal ini kita perlu memutuskan sebuah pilihan sendiri. Mempertimbangkan pendapat orang lain memang dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan tentang situasi yang kita alami, namun kita tak bisa mengabaikan fakta bahwa pendapat seseorang berasal dari nilai yang mereka dapatkan, dan itu belum tentu relevan dengan apa yang sedang kita rasakan karena penilaian seseorang terhadap sesuatu begantung pada apa yang mereka butuhkan. Selanjutnya, kita tidak cukup hanya mengetahui tujuan namun perlu untuk memperjelasnya, apa yang kita inginkan dari keputusan yang akan diambil?

Kita juga perlu mewaspadai tindakan membandingkan yang salah, untuk menilai seberapa berharganya sesuatu bagi kita, satu-satunya perbandingan yang dapat kita lakukan adalah bagaimana hal itu terkait dengan tujuan utama kita.

Lalu, keputusan seperti apa yang perlu kita buat?

Beberapa hal menjadi pertimbangan penting sebelum menentukan pilihan, pertama-tama kita perlu memahami bahwa keputusan kita memengaruhi lebih dari sekadar diri kita sendiri, tetapi memengaruhi orang-orang di sekitar kita juga. Apa yang kita putuskan akan memengaruhi tindakan, perilaku dan pendapat orang lain.

Jadi, mengambil sebuah pilihan bukan hanya tentang apa yang akan kita dapatkan, namun juga tentang dampak apa yang akan terjadi minimal untuk orang terdekat kita. Kita adalah buku terbuka yang dibaca oleh seseorang, terlepas dari bagaimana orang lain mempersepsikan, kita memiliki kekuatan untuk memengaruhi mereka dengan apa yang kita tulis, keputusan apa yang kita buat.

Pertimbangan lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengukur kadar penting atau tidak nya keputusan tersebut untuk diambil, tentu disesuaikan dengan pokok tujuan. yang sering terjadi justru kita menghabiskan waktu untuk mengambil keputusan bukan berdasarkan seberapa penting mereka, tetapi pada seberapa sulit mereka.Ini adalah dua konsep yang sangat berbeda. Keputusan sulit belum tentu begitu penting terutama bagi diri sendiri. Kita perlu menghemat energi demi keputusan yang lebih penting – keputusan dengan imbalan yang sangat berbeda.

Kita mungkin tidak akan selalu bertemu dengan keputusan baik, namun satu-satunya hal yang kita miliki dan kuasai adalah keputusan yang akan kita buat, bagaimana akan bertindak dan bereaksi terhadap situasi yang berbeda.

Karena hidup tidak menawarkan jaminan. Kita tidak akan pernah tahu bahwa keputusan akan salah atau benar sampai kita membuatnya, kita juga mungkin banyak mengambil risiko. Ini jelas lebih baik daripada menjaga diri kita dalam kesulitan. Meskipun benar bahwa satu belokan yang salah bisa membuat tersesat, bisa juga belokan seperti itu menjadi peluang untuk petualangan, apalagi membuka lebih banyak jalan. Ini semua masalah perspektif.

Kita memiliki pilihan antara menjadi seorang musafir yang hilang atau wisatawan yang kebetulan hidup. Tetapi berhati-hatilah agar tidak membuat keputusan sembarangan. Mengambil risiko bukanlah tentang menjadi ceroboh dan bodoh.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." ― Pramoedya Ananta Toer

Editor

Not that millennial in digital era.