Alasan kamu nikah apa sih? Atau apa alasan kamu pengen nikah? Hidup dengan pasangan yang kamu cintai? Tuntutan orang tua? Keburu tua? Ngikutin norma agama, norma sosial?
Lalu menurut kamu, bagaimana seseorang dikatakan siap untuk menikah? Berkecukupan secara materi? Sudah cukup umur? Siap secara mental? Mental yang seperti apa?
Sangat wajar ketika seseorang bersemangat dalam menapaki lembaran baru sebuah kehidupan. Ada semacam secercah keingintahuan tentang bagaimana kehidupan seusai terucap janji sakral. Sebagian memang belum memiliki gambaran, sehingga yang tidak ambil pusing dengan momok “perpisahan” yang banyak terjadi seperti yang dipertontonkan di televisi. Biarlah semua berjalan, dan lihat saja bagaimana harus menghadapinya.
Namun ada pula yang memiliki pemahaman, perjalanan pernikahan tidak pernah selalu mudah. Hingga rasa gugup menjelang peristiwa itu menjadi stressor yang harus dihadapi dengan bijak. Dan memang benar adanya, jika ditanyakan tentang kesiapan mungkin jawabannya tidak akan pernah benar-benar siap.
Memetik hikmah, memahami suatu pelajaran kehidupan benar-benar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hampir sebelas tahun pernikahan, dan baru-baru ini saja saya tersadar satu hal yang sangat krusial tentang kesiapan menghadapi pernikahan. Saya anggap ini keberuntungan, karena jika saya tau ini dari semenjak belum menikah, saya tidak yakin saat itu bersedia untuk menikah dengan pasangan saya.
Hal yang paling harus kamu pahami dan diperlukan kebijakan dalam menyikapinya ketika kamu memutuskan untuk menikah adalah kesiapan kamu dalam bertanggungjawab atas kehidupan orang lain.
Hal ini berlaku untuk kamu cowok atau cewek. Bertanggung jawab atas kehidupan orang lain bukan hanya berarti kamu menghidupi mereka hanya secara materiil. Tapi juga tentang bagaimana kalian menjalaninya bersama dengan tanggungjawab ganda, atas pribadi dan pasanganmu.
Karena jika dijabarkan kehidupan pasca pernikahan memiliki proporsi yang kompleks. Masing-masing dari kita masih harus bertanggungjawab penuh atas diri sendiri, namun pula menempatkan diri kita disatu titik yang mengharuskan kita sadar atas kewajiban yang melekat. Sehingga tanpa acuan tertulis memiliki kesadaran penuh bahwa kebebasan kini menjadi keterbatasan.
Pada kasus menjadi suami misalnya. Tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya kewajiban melekat pada seorang laki-laki atau suami adalah mendidik istrinya. Mendidik agar kehidupan bahtera rumah tangga bisa seiring sejalan dengan keyakinan yang dianggapnya sesuai atau nilai-nilai yang harus dipegang teguh oleh seorang laki-laki dalam kehidupannya. Karena bisa saja dengan latar belakang yang berbeda, suami dan istri bisa memiliki pemahaman atau panutan nilai yang berbeda.
Lalu istri? Iya, secara regulasi istri harus “manut” kepada suami selaku imam mereka dengan catatan sejauh tidak menyalahi norma legalitas kehidupan. Tapi benarkah istri akan dengan mudah menggeser nilai yang selama ini mereka pahami dan diperjuangkan. Mungkin nilai itu sama-sama baik. Sama-sama ideal untuk diperjuangkan. Tapi satu yang akan menjadi penghalang besar untuk ini, ialah ego.
Ego akan dengan segala upaya menghalagi kita memperjuangkan cita-cita bahtera rumah tangga yang seiring sejalan. Ego kelak akan menjadi menjadi batu sandungan, di waktu yang lain menjadi lubang di tengah jalan, terkadang ia semena-mena menjadi trafic light yang tidak memiliki keteraturan waktu menyalakan lampu merah, kuning atau hijau. Ego akan dengan senang hati membelai-belai kita dengan mengatakan “menyerahlah, kamu tidak semestinya bertanggung jawab atas kehidupannya”.
Kemudian saat Tuhan memberi amanah sesosok manusia kecil di tengah bahtera yang sedang pelan-pelan kita jalankan, muncul satu tanggungjawab yang tidak lebih kecil dari tanggung jawab kita atas pasangan.
Untung saja Tuhan mentakdirkan manusia terlahir dengan bentuk yang teramat lucu. Sehingga kelucuan mereka terkadang menyirnakan ingatan kita atas beban besar tentang kewajiban atas kehidupan sesosok manusia yang bernama anak kita.
Jadi, yah buat saya hal yang utama dipahami seseorang sebelum menikah adalah yang saya sebutkan tadi siap dalam bertanggungjawab atas kehidupan seseorang. Tapi jangan khawatir, menjalani pernikahan itu ibarat kita mencari kepuasan. Jika tidak menyerah kamu akan merasa puas dengan pencapaiannya. Dan percayalah kamu akan menjalani kehidupan yang akan membuat kamu belajar lebih banyak, menghadapi hal baru yang lebih banyak. So, are you ready for it?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”