Beberapa hari yang lalu, saya mengalami peristiwa menggelitik yang nampaknya terlalu sayang untuk tidak diceritakan. Saya kebetulan berjodoh untuk bekerja di instansi swasta yang mengijinkan para pegawainya mengenakan baju bebas dan berdandan. Hingga suatu ketika, kantor saya mengadakan suatu kegiatan pengambilan video untuk keperluan promosi program. Sebagai salah satu pegawai yang diminta untuk jadi talent, saya merasa saya perlu dandan. Saya biasanya juga berdandan, karena saya senang berdandan.
Lalu tetiba, saat saya sedang di toilet dan menegaskan kembali make up di wajah saya, datang satu senior saya yang selepas gosok gigi berkata “Kamu dandan buat siapa sih?”
Saya merasa konyol. Senior saya ini orangnya baik. Baik banget. Saya tidak tersinggung pun marah atas pernyataanya. Saya jatuhnya malah pengen ketawa campur heran. Kenapa sih dandan harus dikait-kaitkan dengan ‘menggoda’ orang?
Saya kemudian bilang, “Lah, aku dandan karena aku suka melihat aku (dalam keadaan) dandan mbak. Aku mah dandan karena aku suka keliatan cantik.”
Saya merasa gemas dengan stigma ‘dandan untuk menarik lawan jenis’. Karena sebenarnya alasan saya dandan tidak melulu untuk begitu. Memang benar, tujuan dandan adalah agar wajah kelihatan lebih cantik dan mungkin nyambi menarik perhatian lelaki yang jadi incaran. Masalahnya, kita tidak bisa memukulrata wanita yang ber-make up hanya untuk menyenangkan kaum adam.
Saya, secara pribadi, tidak menyangkal kalau terkadang, saya berdandan dengan nawaitu menarik perhatian orang yang saya sayang. Saya sadar diri, kok. Sebagai wanita, saya juga senang saat saya dipuji dengan kata ‘cantik’, ‘lipstik kamu bagus’, atau kata-kata sederhana semacam ‘kamu wangi ya’. Jujur saja, semua orang suka dipuji. Apalagi wanita, yang hakikatnya menyukai keindahan dan suka tampil indah. Yang kadang lucu adalah, sering kali ada orang yang saat kita dandan ribet begini-begitu, mereka langsung menghakimi bahwa kita dandan hanya semata-mata untuk tampil genit, atau menggoda birahi lelaki.
Padahal dandan, bagi saya pribadi, adalah tentang menghargai diri. Menghargai wajah makanya dirawat. Saya memoles bedak karena sadar bahwa nature kulit saya adalah berminyak. Saya memoles bibir dengan gincu karena saya paham bahwa saya kerja dengan durasi yang lama, yang bikin bibir pucet, yang kalau pucet sering dipandang ‘gak fresh’, yang kalau wajah keliatan like a mess maka dianggap gak professional. Saya teratur menyisir rambut bukan karena saya kemayu tapi karena sadar bahwa saya tidak nyaman melihat rambut saya berantakan.
Begitu pula saat saya menghabiskan waktu yang lama untuk memilih baju yang akan saya kenakan. Saya bingung karena saya ingin nyaman dengan diri saya. Saya ingin bahagia memakai jenis dan bahan penutup tubuh yang akan melindungi harga diri saya. Saya ingin menujukkan karakter saya via busana dan bukannya bersikap ribet. Saya sibuk mengurus badan saya karena saya menghargai apa yang saya punya. Yang kalau kulit tak sengaja terbakar panggangan sate lantas rutin mengoles minyak zaitun. Yang kalau jerawat tetiba muncul di wajah, maka saya langsung meriset pola makan dan jam tidur saya. Yang saya sadar saya terlahir dengan bulu alis yang samar, maka saya sibuk melihat tutorial Youtube berjudul ‘How to draw your eyebrow.’
Saya ribet seperti itu bukan karena saya tidak menghargai pemberian Tuhan. Justru karena saya menghargai pemberian Tuhan-lah maka saya melakukan semua itu. Saya repot merias diri karena saya ingin menampilkan versi terbaik ciptaan Tuhan, merawat yang sudah diberi, dan menunjukkan pada semua orang bahwa saya orang tua saya sukses mendidik putrinya agar menjadi manusia yang bisa membawa diri. Kadang bingung, apa sih salahnya berdandan? Takut dijudge fake? Takut dinilai tak tampil apa adanya? Helow, kalau bisa tampil lebih cantik, kenapa enggak? Manusia hakikatnya kan selalu kurang. Masak iya mau lebih cantik aja, pake acara dilarang? Mbok yao ngurus masalah yang lebih urgent, menghukum mereka yang korup dana bantuan, misal?
Hm.
Ibu saya, beliau suka berdandan dan mengenakan pakaian yang indah. Tak mahal. Namun membuat ibu saya tambah cantik dan bahagia. Setiap akan pergi pesta nikahan, ibu saya pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk berdandan. Terkadang bapak saya bosan menunggu dan melayangakan kalimat protes, “Dandan kok lama banget.” Lantas ibu dengan elegannya berucap, “Nanti kamu malu, sesandingan (bareng) sama istri yang gak cantik?”
Skak mat! Bapak saya terdiam.
Saya mendengar tuturan ibu sambil mengiyakan dalam hati. Ibu saya benar. Nanti seandainya ibu saya tampil semena-mena, yang kalau jerawatan gak dirawat, yang kemungkinan berkeringat tak dicegah dengan memakai deodoran, kulit berminyak yang tak dibedaki, atau bibir pucat yang tidak diberi pemanis warna merah, mungkin yang malu nantinya bukan cuma ibu saya saja, tapi juga ayah saya. Ibu malu karena tak bisa merawat diri, dan bapak saya yang malu karena tidak bisa mengajari ibu saya untuk lebih menghormati pemilik nikahan dengan tampil sekenanya dan berantakan.
Berkaca dari ibu saya, saya jadi percaya bahwa setiap wanita memang harus berdandan. Berdandan bukan harus menor yang bikin orang males, atau mahal yang bikin orang ngutang sana-sini. Berdandan yang sewajaranya aja. Yang biasa, tapi bikin enak dan bahagia.
Karena berdandan bagi saya sebagai wanita adalah bentuk apresiasi. Entah apresiasi diri sendiri yang dilahirkan sebegini sempurnanya, pembukti kepada orang tua bahwa mereka sudah sukses mendidik saya untuk tahu diri, atau apresiasi saya sebagai makluk sosial yang tahu bagaimana menempatkan diri. Namun di atas itu semua, saya berdandan karena saya, pada dasarnya, suka kelihatan cantik. Saya suka memandang diri saya yang indah sebagai wanita, dan bukan hanya tentang menggoda lelaki saja. Lagipula kata khalayak, cantik adalah perkara yang relatif. Cantik itu tergantung sudut pandang yang memandang. Bisa saja di orang A kita cantik. Namun di persepsi orang B, kita biasa. Namun terlepas dari pendapat ini itu, alangkah bijak kalau kita terlebih dahulu mencintai dan menghargai cantiknya versi sendiri. Tak usah lah repot-repot membandingkan. Hidup ini mengejar bahagia, bukan pengakuan. Kan begitu, nyai?
Ya intinya, saya dandan karena saya suka keliatan cantik. Udah gitu aja.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”