Masih di sudut yang sama, dengan ruas dan siku yang tak berubah. Aku dengan secangkir teh hangatku, kau dengan segelas kopi panasmu, di dua ruang yang berbeda. Ku akui kita egois, tidak memberikan ruang sebentar untuk berdiam diri. Berdiam diri dari segala hingar bingar dunia, yang makin memecah kokohnya kaca yang kita bangun bersama semula. Tidak memberikan hati kita istirahat, juga cinta. Bunga yang dulu ada perlahan mundur beraturan, tergantikan ruang hampa yang makin sedikit makin menganga.
Dulu aku berpikir dengan sudut pandang naif, bahwa dengan melabuhkan hatiku kepadamu adalah sebuah hadiah terbesar dari Sang Ilahi yang tiada henti ku syukuri. Dulu aku mengira kita adalah dua insan terhebat dan terdambakan oleh semua pasang mata. Aku salah terka.
Aku terlalu hanyut dalam retorika yang dulu belum terbukti kevalidasiannya. Segala bulir getar itu makin berontak dan meracau dengan sendirinya, meminta untuk dibebaskan dari tumpukan amarah, air mata, kecewa dan luka yang membusuk perlahan. Sebuah rumah, dan tangga. Dibangun untuk dipertahankan, dan seiring berjalannya sang waktu, usaha untuk bertahan itu makin pahit terasa.
Duhai lenteraku yang temaram, sadarkah kamu akan lubang yang menganga di dalam rumah kita? Jika tidak segera kita tambal, akan ada banyak jenis “serangga mematikan” yang siap menempati lubang tersebut; sekaligus melahap kita bulat-bulat. Kau diam dengan segala risaumu, kenapa tak kau coba utarakan kepadaku? Bukankah aku satu-satunya “rekan hidup” yang telah kau pilih dulu di hadapan bapak-ibuku? Lalu aku diam dengan sejuta tanda tanyaku. Jadilah kita bongkahan es kutub yang luar biasa keras dan dingin, yang hanya terik matahari yang dapat melelehkan bulir yang ada.
Duhai mawarku yang melayu di ujung waktu, bisakah kita sempatkan diri untuk bertemu? Untuk sekedar bercengkrama kabar, serta dosa-nista kita di hari itu. Jangan kita biarkan ego kita menguasai bak benalu yang tak tahu malu.
Duhai ruang gugusan cintaku, apakah kau merasa yang sama denganku? Bahwa sepertinya rusuk-rusuk kita tengah merenggang, dan butuh rantai untuk kembali saling menguatkan.
***
Masih di lagu yang sama, dengan ketukan dan rima yang tak seberapa. Aku masih dengan kesibukanku, dan kau masih dengan segudang aktivitasmu. Kau pergi pukul delapan, aku berangkat subuh sebelum kau sempat mempertanyakan. Dan kita kembali bertemu di pertengahan malam, ketika sisa-sisa rasa telah sukses menjadi rongsokan. Aku lelah, kaupun letih, dan hanya ada denting jam bertabrakan dan berbunyi. Nafkah lahir kita berdua mati-matian cari, dengan mengorbankan nafkah batin yang sudah lama pergi sendiri.
Manusia hanyalah manusia. Kita bisa saja memiliki tubuhnya, namun belum tentu dengan jiwa dan cintanya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
�